Anak Badung (Completed)

Pacar Anakku (Completed)

Kisah Petualangan Citra (Completed)













































Kisah Citra part 45 | Sepulang Dari Rumah Sakit B [TamaT] 


A Y U


AYU​
Written by NTR_Hinellee​

Bagi orang lain kehidupanku adalah dambaan setiap wanita. Tanpa mereka ketahui sebagai ibu rumah tangga, hari-hariku penuh dengan warna monoton dan mati rasa.

Separuh dariku mengatakan aku mencintainya, separuh lagi berkata dia bukanlah orang yang tepat untukku.

Namaku Ayu.
Dan ini adalah kisah kami.


PRAKATA PENULIS
Cerita ini adalah karya fiksi. Semua karakter, tempat, dan peristiwa yang termuat di dalamnya bukanlah tokoh, lokasi, dan kejadian nyata. Gambaran hanyalah ilustrasi semata, bukan mewakili sifat individu yang sebenarnya.

Terima kasih dan selamat menikmati.

DAFTAR ISI (Masih Dalam Proses Penulisan)









Nafsu Birahi: Wanita-Wanita Idaman Bagian.7

 


PEMBERHENTIAN KEDUA​

"Aku nggak nyangka bisa melakukannya, Mas" setelah beberapa waktu, aku tak tahu berapa lama suasana hening, Dokter Ara membuka suara. Nafasnya sudah mulai teratur.

Dokter Ara bangkit. Dengan wajah basah kuyup, aku menerima ciumannya yang nampak gemas.

"Tapi jadi basah semua, maaf ya" ia memasang wajah menggemaskan. Kubalas dengan senyum sedikit sinis. Tak terima, dilahap lagi bibirku.

Kami berguling-guling mencari bagian ranjang yang tak terkena cairan vaginanya. Ia masih memakai kemeja yang tadi, aku sudah telanjang bulat. Ia tahu, aku belum orgasme, dan yang aku suka, ia orang yang sangat fair. Tangannya sudah pada posisinya, membelai, menyusuri tiap bagian si johny. Nafsunya seperti tak pernah habis. Matahari mulai hilang, langit berangsur gelap. Kami tak peduli, yang ada di pikiran kami hanya kepuasan dan kepuasan.

Dokter Ara sudah pindah posisi. Kini ia siap mengerjai si johny lagi. Kulirik, ia meludahi payudara bulat miliknya. Sejurus kemudian, si johny sudah berada diantaranya. Ah, ada yg baru lagi. Ia pintar memuaskan laki-laki memang. Dimintanya aku duduk, dan ia mulai beraksi. Dijepitnya si johny, ia mulai naik-turun. Ini sih hampir tak ada bedanya, rasanya seperti gesekan vagina dengan bentuk berbeda. Payudaranya yg besar jelas ikut andil. Penisku seperti dijepit dua gunung namun kenyal dan memabukkan. Aku merem melek, ia tak peduli, terus saja memainkan penisku. Adegan ini tak berlangsung lama, kutarik tubuhnya berdiri, aku sudah tak tahan. Kucium bibirnya, tak lupa payudara bulat itu juga kumainkan. Satu tanganku lainnya memeriksa vaginanya, dan tetap basah. Aku rasa ia siap kapanpun.

Kami seperti sudah saling paham keinginan masing-masing. Ia posisikan diri menghadap tembok, menungging. Gila. Aku belajar posisi baru lagi. Belum pernah aku bercinta dengan posisi seperti ini. Mari kita coba saja.

Kuelus bokong mulus itu dan sedikit memainkan vaginaya dengan jari tengahku. Dokter Ara mendesah, menggoyangkan pinggulnya keenakan. Tanganku yang lain jelas mendarat ke payudaranya. Mereka bekerja sama memanaskan mesin, demi kelancaran si johny. Tak tahan, Dokter Ara mencari-cari si johny. Tertangkap, dimasukkannya pelan-pelan menuju liang surganya. Sedikit kesulitan, kami mencari posisi yang pas. Terasa basah sekali vaginanya, kugesek-gesek, ia meringis. Perlahan-lahan, kumasukkan penisku, pelan, pelan, tekan.

"OOOOHHHHHHH" Dokter Ara melenguh, penisku sudah amblas di vaginanya.

Kami masih diam. Menyesuaikan penisku di vaginanya. Dengan posisi ini, vagina Dokter Ara lebih terasa jepitannya. Aku tak yakin bisa bertahan lama. Ini akan menjadi sensasi baru.

Mulai kuayun penisku, demikian juga dengan Dokter Ara. Ia tak mau kalah. Aku memegangi bokongnya. Sambil terus mengayun. Kecepatan konstan.

"Masss ohhhh" ia mulai berisik seperti biasa.

"Kenapa jadi lebih sempit gini, Dok" kupancing ia dengan pertanyaan nakal.

"Ahh. Emang gini ohh kalau posisi ini aaahhh" iseng kenaikkan tempoku ketika ia berbicara.

Tak kujawab, kecepatan kunaikkan. Ia mulai tak bisa mengontrol diri. Aku heran juga kenapa masih bertahan. Sambil kumainkan payudaranya, kutarik tubuh Dokter Ara sedikit naik, ia tak lagi menungging. Kugenjot terus. Ia mulai berteriak.

"Oohhhhhh enak massss"

"Ohhh mainin pentilku mainin ohhhh ssshhh"

"Iya gitu aaaah massss ohhh"

"Awwww tanganmu ohhhhh massss"

Aku sengaja memainkan klitorisnya. Si johny tetap memompa, klitorisnya dalam penguasaan jari-jariku. Ia nampak kesulitan menahan tubuhnya. Terlalu nikmat mungkin. Vaginanya sudah tak karuan bentuknya.

"OOOOHHHHHHHHHHHH" vaginanya menyembur lagi. Ia squirt lagi.

Penisku terlepas. Kami ngos-ngosan. Tak lama, kumasukkan lagi penisku. Kugenjot lagi. Tempo kunaikkan. Ia masih dalam posisinya. Lebih cepat. Lebih cepat. Dan serrrrr. Lagi. Begitu terus kami ulangi. Lepas. Masuk lagi. Genjot lagi. Sembur lagi. Lantai sudah ikut banjir, seperti vaginanya. Begitu terus. Kami mengulanginya hingga 5 kali dan aku makin tak kuat menahan orgasme. Kugenjot lebih cepat. Tubuhku membungkuk, mencari-cari bibirnya. Kami berciuman meski agak kesulitan. Aku tak peduli ia squirt lagi atau tidak, aku harus segera mengeluarkan spermaku. Benar-benar kecepatan tinggi, posisi tubuh kami juga tak karuan.

"Oohhh Bu Dokter aahh" aku mulai mengerang

"Terus masss ohhhhh jangan dilepas"

"Kamu binal Ohhhh shhhh"

"Terus mass shhh aku mau pejuhmu ohhhh aku mau kontolmu ohhhh"

Aku tak mampu berbicara lagi. Fokus. Genjot. Genjot. Genjot. Ada yang ingin keluar sepertinya.

"Bu Dokter ohhhh Dokk aaah aahhh OOHHHHHHHHHHHH" kuhentakkan penisku. Aku tak peduli apakah ia nyaman atau tidak. Nafsu sudah tak karuan lagi. Pandanganku gelap. Aku goyah. Semoga saja tubuh ini tak ambruk.

"Masssssss Ohhhhhhhh" samar-samar kudengar ia juga berteriak. Mungkin ia orgasme juga, aku tak tahu.

Kami limbung. Entah bagaimana caranya, kami ambruk di sofa. Masih dalam posisi tadi, aku menindih Dokter Ara dengan ia membelakangiku. Penisku sudah lepas dari sangkarnya. Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi.

Nampaknya kami tertidur setelah pertempuran yang melelahkan tadi. Aku membuka mata dengan sangat berat. Posisi kami sudah berubah. Masih membelakangiku, tapi ia tak kutindih lagi. Tubuh kami masih lekat, menelungkup. Setengah sadar, kukecup tengkuknya. Aku tak tahu ia sudah bangun atau belum.

"Mas, aku laper" ah ia sudah bangun ternyata.

"Jam berapa ini?" aku berusaha memulihkan kesadaran.

"Nggak tahu," ya memang tak ada alat penunjuk waktu di sekitar kami, dan terlalu malas untuk mengambil hape kami masing-masing.

"Lengket banget ya Dok" aku sengaja memancing candaan.

"Uh banget. Nggak tahu tuh kondisi kamar kayak gimana. Gara-gara kamu nih," ia mencubit lenganku.

"Aku? Siapa tadi yg bikin banjir?" aku menggodanya.

"Kamu! Kamu yang bikin aku banjir," ia kembali mencubitku.

Kami tertawa. Puas sekali rasanya. Ada pengalaman baru. Ada kenikmatan baru. Kami melampaui batas diri masing-masing. Aku tak menyangka bisa membuatnya squirt dan bertahan cukup lama dalam persetubuhan tadi. Ia pun begitu. Ternyata, selama ini ia penasaran dengan squirt dan selalu gagal saat mencoba. Baik sendiri maupun dengan laki-laki. Dan ia mendapatkannya dariku. Satu hal lagi yang dapat kubanggakan perihal kemampuan seksku. Membuat wanita squirt. Tapi kemampuan masih perlu uji coba lebih lanjut. Harus dibuktikan dengan wanita-wanita lain juga Hehehe.

Kami memutuskan keluar mencari makan. Tentu setelah mandi. Bayangkan, entah cairan apa saja yang ada di tubuh kami. Mulai dari keringat, air liur, hingga cairan vagina Dokter Ara. Dan memberi kesempatan kepada housekeeping apartmen untuk membersihkan kamar kami. Aku tak peduli apa yang ada di pikirannya. Pasti mereka juga paham.

Kembali ke hotel, kami memutuskan untuk tidur. Rasanya tak ada tenaga lagi untuk bercinta setelah habis-habisan petang tadi. Setelah dikalkulasi, 2 jam lamanya kami bercinta. Saling memuaskan, saling mencari kenikmatan. Selalu ada pengalaman baru ketika bersetubuh dengan Dokter Ara. Hari ini aku belajar membuatnya squirt, dan ini juga pengalaman pertama baginya. Kami juga mencoba posisi doggy style, yang ternyata cukup nikmat meski amat melelahkan. Apalagi dilakukan dengan setengah berdiri. Petualangan bersama Dokter Ara benar-benar menakjubkan.

Aku tak akan menceritakan lagi detil persetubuhan kami selama 2 hari kemudian. Kami justru hanya bercinta 2 kali setelahnya. Dengan variasi gaya yang sudah kami coba sebelumnya. Tidak ada yang baru, tapi kenikmatannya tetap luar biasa. Kami lebih banyak jalan-jalan menikmati Kota S dan bermesraan di kamar. Berbincang tentang apapun, kami mengenal diri masing-masing lebih dekat. Aku akhirnya tahu bahwa sebenarnya ia puas-puas saja dengan permainan seks suaminya. Namun ia memang tipe wanita petualang yang selalu ingin merasakan sensasi lain dalam bercinta. Suaminya juga mengakui betapa besar nafsu yang dimilikinya hingga seringkali kewalahan melayani. Aku rasa aku juga begitu jika jadi suaminya. Ia tak tahu apakah suaminya curiga atau tidak selama mereka berjauhan bagaimana Dokter Ara memenuhi kebutuhan biologisnya. Rutin seminggu dua kali mereka melakukan video call yang tentunya ada agenda saling memuaskan di dalamnya. Kata Dokter Ara, sebenarnya ia tak terlalu suka, tapi ini dilakukan untuk meminimalisir kecurigaan suaminya karena sang suami paham besarnya nafsu yang ia miliki. Hubungan yang aneh. Dan inilah pelampiasannya. Ia selalu mencari laki-laki lain untuk memuaskannya. Sayangnya aku belum berhasil mengorek lebih dalam siapa saja lelaki yang pernah menidurinya. Ia nampak ingin menyimpan rapat-rapat masalah itu. Kuhargai. Toh, aku telah mendapatkan tubuhnya, yang ternyata menakjubkan.

Hari Minggu kami kembali ke rumah. Kami berpisah di terminal bus di kota P. Ia menaiki mobilnya, sedangkan aku lanjut dengan bus yang lain. Setiap perpisahan aku selalu pasrah tentang pertemuan kami selanjutnya. Kalaupun tak pernah terjadi, pengalaman yang kudapatkan sudah luar biasa. Tapi tentu tetap berharap semua ini bisa terulang.

Kehidupanku terus berjalan. Begitu pun dengan Dokter Ara. Sesekali kami berkirim pesan tapi tidak terlalu intens. Hampir dua minggu setelah peristiwa di Kota S, aku kembali dikirim untuk dinas luar ke Kota J. Aku memang selalu kebagian tugas luar kota sendirian. Tapi sayangnya aku tak bisa mengajak Dokter Ara turut serta. Tiba di Kota J pagi hari, kegiatanku dipenuhi oleh pekerjaan sehari penuh. Aku belum tahu akan bermalam di mana. Sendiri ini, mau tidur di mana pun juga tak masalah. Siapa tahu juga dapat rezeki nomplok penginapan gratis beserta selimutnya. Namanya juga harapan. Aku tersenyum sendiri saat berpikir itu. Kotor juga pikiranku. Gara-gara keberhasilan menaklukkan Dokter Ara kini pikiranku seringkali mengarah ke urusan selangkangan. Ah kita lihat saja nanti.

Sore menjelang petang, akhirnya kegiatan usai juga. Kami bubar menuju penginapan masing-masing. Aku memutuskan turun juga, ruangan kami ada di lantai 4. Keluar dari lift, aku melihat sosok yang lumayan familiar. Jelas itu adalah wanita. Kalau laki-laki buat apa kuceritakan disini. Wanita yang cukup tinggi, kurus dan potongan rambut agak pendek. Sepertinya aku tidak salah. Ia salah satu rekan kerjaku di kantor, meski beda bagian.

"Loh Mas Awang, hayo ngapain disini?" ia menyapa lebih dulu. Kami memang cukup akrab, dan sering saling menggoda. Orangnya memang supel dan mudah akrab dengan siapapun. Sayangnya Ia bersikap seperti ini bukan hanya denganku saja.

"Ya jelas ngikutin kamu lah. Kan kasihan kamu nggak ada yang jagain," tenang, percakapan seperti ini biasa kami lakukan kalau sedang di kantor.

"Uwuwuw. Sok sweet," ia memasang wajah menggemaskan, lalu memukul lenganku.

Kami tertawa bersamaan. Nampak beberapa orang memandang aneh percakapan kami. Kalau orang yang belum tau dia, pasti berpikir aneh. Tapi aku, dan orang-orang di kantor sudah biasa dengan kelakuannya.

Namanya Tiwi, tidak usah kusebutkan nama lengkapnya. Gadis Bali yang tidak asli Bali ini memang cukup menyenangkan. Selain ramah, ia juga tidak canggung berkomunikasi dengan lawan jenis atau orang baru. Aku yang terhitung baru kenal juga cepat sekali akrab. Bahkan sudah sering saling menggoda. Usianya mungkin 2 tahun dibawahku, kami masuk hampir bersamaan di kantor dengan jalur penerimaan yang berbeda.

"Sampai kapan Wi disini?" kucoba basa-basi membuka pembicaraan lain.

"Kamis sih, tapi Jumat rencananya ambil dispen Hahaha. Kamu gimana?" jawabnya diselingi dengan tawa yang cukup renyah.

"Sama dong. Males banget kan kalau jumat harus masuk?" aku memang berencana begitu.

"Banget. Biarin lah kerjaan di kantor. Kan bisa dilanjut senin" ia kembali tertawa.

Ia memang baru saja di pindah ke bagian lain yang membuatnya kesulitan. Beberapa kali ia bilang jika kesulitan mengikuti ritme pekerjaan di tempat baru tersebut. Sampai-sampai wajahnya nampak stres dan kusut.

"Betul itu. Perlu refreshing kamu. Lihat itu wajah udah kayak cucian nggak kering," kugoda lagi Tiwi.

Ia memasang wajah sebal. Sejurus kemudian ia memukul lenganku lagi.

"Terus ledek terus. Gara-gara pindah bagian ini," ia nampak kesal sekali.

"Sudah-sudah. Nanti tak ajak jalan-jalan ke ragunan deh" kugoda lagi. Ia memang menggemaskan untuk digoda.

Wajahnya kian kesal. Ia memasang tampang marah padaku. Tentu itu bercanda, kami cukup sering melakukannya.

"Kamu sendirian? Nginep dimana?" kualihkan topik untuk mencairkan suasana.

"Iya nih Mas. Aku nginep di hotel F. Temenku pada nggak bisa semua ditumpangi, padahal biar hemat ongkos hehehe. Kamu nginep dimana?" aku bingung jawab apa, aku tak ingin menjawab kalau belum mencari tempat menginap.

"Loh kok sama. Mau ke hotel kapan?" insting bajinganku nampaknya mulai terlatih. Padahal aku belum pesan, entahlah kalau ternyata disana penuh. Dipikir nanti saja.

"Abis ini sih Mas. Aku udah dari kemarin kan nginep sana. Kamu baru hari ini?" ia nampak tak curiga.

"Iya. Baru datang tadi pagi juga. Mau kesana bareng? Tapi aku ke toilet dulu ya," aku mencari alasan untuk segera memeriksa apakah masih ada kamar yang tersedia dian hotel F.

"Boleh. Lumayan ada temannya. Ya sudah cepetan lo ya," lagi-lagi ia tak menaruh curiga.

"Siap boss!" aku bergegas ke toilet.

Kuperiksa aplikasi pemesanan hotel segera. Dan Voila! Rezeki memang tak kemana. Meski sepertinya harga kamar sedikit naik tapi tak apa demi satu hotel sama Tiwi. Dan menghindari malu juga sih.

Kuhampiri lagi Tiwi di lobi. Aku sudah menyelesikan pemesanan. Hidupku lebih tenang dan siap sepik-sepik si Tiwi lagi. Siapa tahu iseng-iseng berhadiah kan.

"Kesana naik apa nih?" kubuka pembicaraan.

"Taksi online aja kali yak?" ia menawarkan

"Ya sudah tak pesankan dulu," aku berlagak jadi pahlawan dong. Namanya juga laki-laki.

Tak berapa lama mobil pesanan kami datang. Setelah berpamitan dengan beberapa rekan yang tersisa, kami menaiki mobil dan menuju hotel F. Aku sih berharap ada sesuatu yang terjadi, tapi pasrah saja lah. Kalau pun tidak ada apa-apa, ya disyukuri saja.

Sampai di hotel F, proses cek in kami lakukan bergantian. Namanya rezeki memang tak kemana. Mungkin resepsionis hotel tahu isi hatiku dan memahaminya. Ia memberikan kamar di lantai yang sama pada kami berdua. Ingin kupeluk rasanya mbak-mbak resepsionis itu. Apalagi ia cantik juga.

Dengan langkah gontai kami menuju kamar. Menaiki lift yang sama, menyusuri lorong yang sama.

"Mas nanti kalau mau makan bareng dong, yayaya?" Tiwi membuka pembicaraan dengan wajah yang menggemaskan.

"Iya Tiwi cantik. Nanti agak maleman aja ya. Aku mau tidur dulu haha" kurang rasanya kalau tak menggoda gadis ini.

"Dih. Awas kamu nanti nggak bangun-bangun. Tak gedor-gedor pintumu!" wajahnya galak sekali kalau begini.

Kujulurkan lidahku, kutinggal ia memasuki kamar. Kamar kami berdekatan, hanya berjarak 2 kamar. Ada perasaan gembira, ada perasaan bingung juga. Memikirkan bagaimana caranya mendapatkan sesuatu dari Tiwi, si gadis Bali. Ah dipikir nanti saja. Aku mau tidur dulu.

Aku terbangun dengan mata yang berat sekali. Kuperiksa hape ternyata sudah jam 19.30. Wah ada beberapa pesan dari Tiwi dan 2 kali panggilan tak terjawab. Ku telepon balik Tiwi.

"Haloo. Sori ya mbak baru bangun nih," dengan nada memohon kuucapkan maaf dulu sebagai awalan.

"Woh dasar kebo. Dari tadi ditelpon juga. Aku laper nih. Jadi makan di luar nggak?" ia menjawab dengan sedikit kesal.

"Aku mandi dulu 5 menit. Abis itu caw,"

"Cepetaaaan"

Kututup telepon. Cepat-cepat aku mandi, ganti baju, pakai parfum seperlunya, dan menuju kamar Tiwi. Kuketuk pintunya. Tak ada jawaban. Sekali lagi kuketuk.

"Iya bentar Mas," suaranya terdengar keras dari sini.

"Mau makan dimana kita?" aku sedikit gelagapan, di depan mataku ia memakai tank top dibungkus cardigan tipis dan celana longgar selutut. Ia nampak modis sedangkan aku ala kadarnya. Dengan cepat kusembunyikan kekagetanku.

"Mas Awang ngebir nggak?" ternyata belum selesai kejutannya.

Rezeki apa lagi ini. Ada wanita cantik yang biasa kugoda di kantor, bercanda sekenanya, kini mengajakku untuk minum bir. Aku memang bukan peminum, tapi kalau ajakan datang dari wanita seperti Tiwi, apakah ada alasan yang tepat untuk menolak?

"Sebenarnya nggak sih, tapi karena kamu yang ngajak, ya ayo berangkat!" tetap kita harus jual mahal.

"Ah alesan. Yuk ah cabut!"

Sepertinya petulangan sesi berikutnya sudah dimulai nih. Kencangkan ikat pinggang, siapkan jurus terbaik.



Nafsu Birahi: Wanita-Wanita Idaman Bagian.6

 


BASAH KUYUP
Deeerrtt..... Deeeerttt.... Deeeeerrrt....

Hapeku bergetar, ada panggilan masuk sepertinya. Padahal aku sedang menikmati pemandangan sore di jalanan Kota S. Ogah-ogahan, kuhampiri hapeku, ternyata Dokter Ara. Berarti ia sudah sendirian. Semoga saja.

"Kamu kok jahat sih?" suara manjanya keluar. Aku merinding.

"Kenapa sih Bu Dokter?" aku pura-pura tak tahu.

"Pakai pura-pura segala. Kamu apain tadi Pak Tio sampai dia cepet-cepet mau pulang ini tadi?" ia tertawa. Renyah sekali.

Aku tertawa juga. Puas. Aku berhasil mengirim Pak Tio kembali ke istrinya. Sungguh mulia tindakanku. Menyelamatkan ia dari jerat selingkuh. Aku benar-benar anak baik.

"Loh nggak sengaja ketemu tadi, ya kuajak ngobrol lah. Aku kan anak baik," aku menggodanya. Dan tetap tertawa.

"Sudah ah. Aku mau beres-beres dulu. Habis itu kesitu. Dilanjut nanti saja cerita Pak Tionya," ia menutup telepon.

Ah. Akhirnya Dokter Ara jadi milikku 2 hari ini. Kasian juga Pak Tio. Maafkan saya ya Pak. Cuma dua hari ini kok. Senin Bu Dokter sudah jadi milik Bapak lagi.

Aku menjatuhkan diri di ranjang. Tenang. Lega sekali rasanya semua berjalan baik. Tak kuduga hanya dalam waktu satu jam dari perpisahan kami di depan pintu kamar tadi, Pak Tio memutuskan pulang. Aku tak tahu bagaimana pembicaraan mereka. Semoga saja ia tak curiga. Dan hubunganku dengan Dokter Ara tetap baik-baik saja.

Tok. Tok. Tok.

Ini pasti dokter *******. Aku tinggal memakai boxer dan kaos saja. Siapa tahu tiba-tiba ada yang menyerangku secara tiba-tiba. Persiapan harus selalu maksimal.

Kubuka pintu. Sesosok wanita berambut panjang berwarna pirang, memakai atasan kemeja longgar panjang, sepertinya tak memakai bh, dan hanya ada celana dalam di bagian bawah. Ini sih pemandangan sore yang menakjubkan. Pemandangan di luar jendela jelas tak ada apa-apanya. Kuraih tas jinjing di tangannya, tubuhnya dalam rangkulanku, kutuntun masuk. Pintu tertutup dengan sendirinya.

Kami tertawa. Keras sekali. Ia beberapa kali menepuk dadaku. Tak habis pikir, akan ada kejadian lucu sekali sore ini. Kami masih tak bisa berhenti tertawa. Hidup selalu penuh kejutan.

"Awalnya aku sudah pesimis, Mas. Kemungkinan terburuk ya kita nggak jadi ketemu minggu ini, pasrah lah aku," ia membuka percakapan, jelas saja menceritakan kejadian di kamar 1636 beberapa saat lalu. Kami duduk di sofa, memandang jalanan sore yang padat.

"Terus?" aku tersenyum, memberikan kesempatan padanya untuk menuntaskan cerita.

"Eh tiba-tiba dia masuk dengan wajah yang aneh. Langsung bilang kalau ia pulang habis itu karena tiba-tiba anaknya telepon katanya. Aneh kan. Aku penasaran dong," ia mulai nerocos tak terkontrol.

"Alasannya dibuat-buat ya. Tapi apa hubungannya coba ketemu aku dengan langsung pulang, kan bisa saja tetap di kamar, aku juga nggak bakal tahu," aku penasaran juga dengan alasan kepergian Pak Tio.

"Mana aku tahu. Setelah itu dia cuma cerita kalau di lift ketemu kamu, katanya kamu nginep di kamar ini. Aku hampir saja ketawa. Kalau keceplosan gimana coba," ia tertawa sungguhan setelah bilang seperti itu.

"Laki-laki yang aneh. Anggaplah ini hari keberuntungan kita. Dinikmati saja kalau begitu," aku mengecup keningnya. Ia mengeratkan pelukan. Ada yang mengganjal.

Kuhilangkan pikiran mesumku. Meski sebenarnya aku sangat bernafsu, apalagi dengan pakaiannya seperti ini. Tak ingin kujatuhkan harga diri dengan terlihat menggebu-gebu untuk menikmati tubuhnya. Semua harus kulakukan dengan elegan. Aku harus berbeda.

Kami tak bersuara hingga beberapa menit kemudian. Hanya berpelukan. Anehnya si johny juga tak cepat menegang. Makin pintar ia. Kami menikmati pertemuan ini, setelah 3 minggu menunggu kesempatan. Peristiwa di Kota J benar-benar mengubah hubungan kami. Lebih dekat, lebih intim, saling menjelajahi kedalam masing-masing. Aku tak tahu bagaimana jika nantinya akan muncul perasaan selain nafsu. Kuikuti saja perjalanan hubungan ini. Terpenting, hubungan kami aman, tak membahayakan keselamatan kami masing-masing. Kami sama-sama tahu itu.

Sore yang syahdu. Tubuh kami tetap menyatu memandang riuh jalanan. Ada kenyamanan dari pelukan ini. Entah kenapa, aku selalu nyaman menjalin huhungan dengan wanita yany lebih tua. Mereka tak pernah merengek, mereka tahu kondisinya. Seperti hubunganku dengan Dokter Ara, meski baru berlangsung 1 bulan, terhitung sejak kami intens berkomunikasi, tak perlu penjelasan macam-macam, ia tahu posisinya. Aku pun begitu. Aku tak pernah menanyakan bagaimana suaminya. Aku juga tak pernah ingin tahu bagaimana anak dan keluarganya di rumah. Semua mengalir bak sungai tenang. Aku menikmati tiap prosesnya, mudah-mudahan ia pun begitu.

Tiba-tiba terlintas pikiran nakal di kepalaku. Selama ini, aku tak pernah menanyakan bagaimana hubungan seks Dokter Ara dan Pak Tio. Dia hanya pernah bilang jika Pak Tio tak dapat memuaskannya. Aku ingin tahu lebih dalam. Tak apalah. Siapa tahu ini bisa menambah bumbu di hubungan kami. Biasanya, segala yang berawal dari cemburu akan berlangsung panas. Hubunganku dengan Dokter Ara tak boleh membosankan.

"Bu Dokter sayang, aku boleh nanya sesuatu nggak?" aku membuka pembicaraan. Tubuh kami tetap berpelukan. Kubelai punggunggnya, ia membelai dadaku.

"Tanya apa sih, Mas?" suara khasnya membangkitkan gairahku.

"Dua malam ini bagaimana? Sudah keluar berapa kali?" aku menggodanya. Kalimat terakhir kubisikkan tepat di telinga.

Ia mencubit lenganku. Aku meringis. Ia merapatkan pelukan.

"Kamu sengaja nggodain aku ya" ia mengulangi cubitannya. Lumayan.

"Loh, aku cuma pengen tahu. Aku ingin memuaskanmu dengan cara yang berbeda dari dia. Kalau ternyata kamu sudah mendapatkan dari dia, kan keinginanku tidak berhasil," kembali kuarahkan suaraku ke telinganya. Tubuhnya berdesir.

Ia diam beberapa saat. Aku menunggu. Mudah-mudahan ia tak tersinggung dan moodnya menjadi hancur.

Ia beranjak. Dilepaskannya pelukan kami, lalu ia mendudukiku. Siapa yang tak nafsu dengan tindakan yang ia lakukan. Apalagi kalian tahu, pakaian yang ia kenakan benar-benar memancing birahi. Tangannya dilingkarkan di leherku. Ia nampak bersiap-siapa berbicara.

"Cuma sekali!" nadanya cukup tinggi, ia pasang wajah murung. Ini akan menjadi pembicaraan yang menarik.

Aku tak menjawab, hanya memasang wahah penasaran. Menunggu ia melanjutkan.

"Padahal dia keluar 5 kali. Lima kali!" wajahnya kian ditekuk.

Aku tersenyum. Aku yakin ia sangat bernafsu. Ia memendam birahi yang tak tersalurkan dengan maksimal.

"Mainnya banyak juga ya," aku memasang wajah menyebalkan.

Ia memukuli dadaku. Nampak kesal sekali ia dengan respon yang kuberikan. Kupeluk tubuhnya. Sedikit tenang. Kami rebah. Ia masih diatasku.

"Kayaknya dia sedang birahi tinggi. Untung aku juga. Jadi meskipun hanya keluar sekali, aku masih melayaninya dengan nafsu," ia mulai nerocos.

"Kamu pasti pura-pura orgasme ya?" kugoda lagi Dokter seksi ini.

"Jelas laaaah. Kalau tidak, dia pasti murung dan merasa bersalah. Kadang malah marah-marah" nadanya kian kesal. Aku makin semangat.

"Kok gitu?" aku terus memancingnya.

"Dia merasa kalau dia harus memuaskanku, padahal kenyataannya kan nggak selalu bisa. Dari pada ia marah-marah, kan lebih baik kupalsukan saja. Harusnya kan dia sadar kondisiku dan kemampuannya. Dasar laki-laki egois!" ia nampak makin kesal.

Kubelai punggungnya. Lalu rambutnya. Kami tak saling memandang. Kukecup tengkuknya. Ia nampak berdesir. Sekali lagi. Sengaja kumainkan nafsunya. Aku ingin mendapatkan sisi binalnya lagi. Dengan cara yang berbeda.

Tiba-tiba, Dokter Ara beranjak. Ia gulingkan tubuhnya, menelungkup membelakangiku. Reflek, kupeluk tubuhnya. Kami kembali lekat. Nafsunya mulai naik nampaknya. Kukecup lagi tengkuknya, lalu kujilati belakang telinganya.

"Terus, pakai gaya apa saja kemarin?" aku meneruskan pertanyaanku.

Ia melenguh. Diam beberapa saat. Aku masih menunggu jawaban. Mudah-mudahan saja ia tak tersinggung.

"Hmmm. Lebih banyak konvensional sih. Aku nggak mau gaya aneh-aneh, wong hasilnya sama saja," jawabannya kurang memuaskanku.

"Maksudnya?" kupancing lagi.

"CEPET KELUAR!" Ia berbalik, memagut bibirku.

Dokter Ara tak tahan juga. Kami berciuman lagi. Kali ini cukup panas. Nampaknya ia terbawa suasana percakapan kami barusan. Lidahnya lebih lincah. Menjelajah seluruh permukaan mulutku. Sesekali, lidah kami bertemu. Lalu lepas. Disapunya bibirku, kami tak tahu lagi berapa air liur yang tertukar.

Kami terus memagut. Di luar sana, matahari mulai jatuh. Langit kemerahan, suara klakson tetap bersahutan. Sore yang indah, jendela belum kami tutup. Ada pancaran cahaya sore yang menyerang tubuh kami. Entahlah, apakah pergumulan kami bisa dilihat oleh orang-orang di luar sana. Aku hanya peduli pada tubuh di pelukanku. Ia yang selalu menggairahkan. Sudah tiga minggu tak kujamah. Dan kini ia sepenuhnya milikku.

Ciuman kami terlepas. Kami berpandangan, tajam sekali. Nafas masih tak beraturan. Rambut mulai acak-acakan. Jangan tanya bagaimana birahi kami, pasti sudah memuncak. Kami tersenyum, ia mendekat. Kami berpelukan.

"Selama ini kebanyakan aku orgasme dengan posisi aku di atas. Kamu harus bisa melakukannya di semua posisi," ia tiba-tiba membisikiku kalimat yang cukup intimidatif.

"Apapun akan kulakukan untuk memuaskanmu, Bu Dokter sayang," kuterima tantangan itu.

Soal hasil dipikir nanti saja. Ia butuh keyakinan itu. Dan pertemuan sebelumnya, aku berhasil membuatnya kelojotan. Dia masih penasaran, aku pun sama. Kami sama-sama menginginkan kenikmatan itu.

Kami kembali berciuman. Kali ini lebih lembut. Tanganku sudah bergerilya kesana kemari tak beraturan. Kami nampak sama-sama menahan birahi. Apalagi, 2 hari ini nafsunya tak tersalurkan dengan baik. Semua pasti menumpuk, menunggu penyelesaian. Aku memutuskan membiarkannya memegang kendali.

Dokter Ara nampak tergesa-gesa di pergumulan kali ini. Tanpa terasa, ia sudah berhasil membuka ikat pinggang dan resleting celanaku. Jangan tanya tangannya berada dimana. 5 jari sudah nyaman di batang yang tegak di bawah sana. Aku kecolongan. Tapi kubiarkan, aku memberikan kesempatan penuh kepadanya.

"Kontol ini yang bikin aku kangen" bicaranya memang ngawur kalau sudah birahi.

Aku diam. Kusenyumi wanita cantik di pelukanku ini. Mulut kami sudah tak lekat, ia menelusuri leherku, dan tentu memainkan si johny di bawah sana. Tak puas, ia berdiri, dengan tatapan nakal, ia lolosi celana yang kupakai. Si johny kini bebas. Mengacung menunjukkan keperkasaannya. Ia nampak angkuh. Dengan tetap memandangku, Dokter Ara menurunkan kepalanya. Tentu kalian tahu kemana ia akan mendarat.

Si johny yang tak disentuh wanita selama 3 minggu nampak kegirangan. Dokter Ara tahu itu. Jemari lentiknya mulai bekerja. Digenggamnya si johny, dimainkan dengan penuh kasih sayang. Aku tau ia bernafsu, tapi hebatnya semua dalam kontrol. Aku harus belajar banyak dari wanita ini.

Ditengah gerakan jemarinya, mulutnya mulai turun gunung. Basah. Ia menelan seluruh bagian dari si johny. Gerakan ini tak kuduga. Biasanya, ia akan memainkan lidahnya terlebih dahulu. Tapi tak apa, kenikmatan itu memang perlu variasi. Dan Dokter Ara tahu benar itu. Aku tak tahu lagi bagaimana harus mengungkapkan kenikmatan ini. Kalian tentu tahu bagaimana aku dibuat kelojotan dengan teknik oralnya. Dan hari ini, ia ulangi lagi. Satu-satunya orang yang bisa membuatku orgasme hanya dengan oral seks adalah Dokter Ara, aku mengakui kemampuannya yang satu ini.

"Shhhh Dokkkk" aku hanya bisa merem melek menikmati pekerjaannya sambil memainkan rambutnya.

Dokter Ara memandangku. Dengan mulut tersumpal si johny, ia masih berusaha tersenyum. Tanganya bermain dian buah zakarku, ngilu-ngilu sedap. Aku tak tahu bagaimana perasaannya tapi aku sadar, aku harus melakukan sesuatu. Ditengah aksinya, kutarik tubuhnya. Ia nampak protes. Kubiarkan. Aku membawanya ke ranjang. Telentang, kutarik tubuhnya diatasku, kepalanya menghadap si johny, dan aku siap menjelajahi vaginanya. Kami siap bertempur.

Celana dalam masih membungkus vaginanya. Tidak kulepas, kusibakkan saja benda segitiga itu, kumainkan bukit lebat itu dari samping. Dokter Ara masih tak menghiraukan permainanku. Ia fokus padasi johny. Sebenarnya aku tak tahan dengan permainan oralnya, tapi demi harga diri pertahanan harus dikuatkan semaksimal mungkin. Aku mengalihkannya dengan terus memainkan vagina Dokter Ara. Kini jari tengahku mulai bertugas. Memasuki goa yang gelap, aku mulai dengan menggosok bagian luarnya. Basah. Lembab. Namun aromanya memabukkan. Sejak tiga minggu lalu, ini menjadi salah satu tempat favoritku.

"Uhhh Massss. Kok jadi aku yang keenakan shhhh" ia mulai tak kuat menerima seranganku

Tanpa bicara, jari dan mulutku terus bekerja. Dokter Ara nampak menghentikan aktivitasnya pada si johny. Ia mulai kelojotan. Tubuhnya mulai bergerak tak karuan. Aku sama sekali tak menghentikan seranganku, justru temponya kutambah. Gerakan jariku kupercepat. Lebih cepat. Kuganti dengan lidah. Kini lidahku berpetualang memutari vaginanya. Kanan. Kiri. Putar. Sedot. Ah. Rasanya aneh tapi menggairahkan.

"Aaauuuuuww" gestur Dokter Ara ingin mengangkat tubuhnya, namun kutahan.

Kutambahkan serangan dengan kembali menugaskan jari-jariku. Kini jari tengah bekerja dibantu jempol. Mereka pada perannya masing-masing. Jari tengah menjelajah ke dalam, jempol bagian luar, memainkan klitoris bu dokter.

"Masss Ohhhh ampun Mass Ahhhh" Dokter Ara mulai sedikit berteriak.

Aku tak peduli. Jika terdengar oleh orang di luar kamar, anggap itu sebagai bonus dari kami.

"Kamu ini ohhh Masssss hmmmm" ia tiba-tiba melahap si johny, aku sedikit terkejut.

Ia berusaha mengalihkan kenikmatannya pada penisku. Ia nampak melancarkab serangan balik. Aku tak mau kalah. Kunaikkan temponya lagi. Makin cepat kugosok klitorisnya, dibantu dengan lidahku. Rasakan kau!

Dokter Ara ingin teriak, mulutnya tersumpal penisku. Teriakannya tertahan. Tubuhnya bergerak tak tentu arah. Ia menggenggam si johny, lumayan juga rasanya. Tapi tak kuhiraukan. Gosok terus. Jilat terus. Tekan terus. Begitu terus menerus. Kami seperti musuh yang sedang berperang. Ini puncak. Senjata kami keluarkan semua. Habis-habisan. Aku tetap pada aksiku. Dokter Ara tak mau kalah. Makin cepat. Makin cepat. Aku hampir tersedak. Ia pun sepertinya sama. Makin cepat. Tubuh Dokter Ara menegang. Ia angkat tubuhnya. Terlepas penisku dari mulutnya.

"AAAAAHHHHHH SHIT OHHHHHHH" ada cairan yang keluar banyak sekali dari vaginanya. Deras, menyembur ke wajahku. Aku tak punya waktu untuk menghindar. Basah kuyup. Wajahku tak karuan bentuknya. Beberapa ada yg masuk ke mulutku. Cairan apa ini. Gila. Baru kali ini aku mendapatkannya dari wanita.

Ah. Aku hampir tak bisa nafas. Bu Dokter segera ambruk di sebelahku. Ia ngos-ngosan. Aku juga. Dan basah kuyup.


Nafsu Birahi: Wanita-Wanita Idaman Bagian.5

 


KEJUTAN​

Permulaan kisah yang luar biasa dengan Dokter Ara harus disudahi. Pagi itu, sekitar pukul 6, kami keluar hotel. Berbeda dengan sebelum peristiwa kemarin, kali ini kami lebih mesra. Seks membuat segalanya menjadi menakjubkan. Sepanjang perjalanan, mata kami sering bertemu. Berkali-kali tangan kami berpegangan. Kami seperti anak muda yang baru saja berpacaran. Aku hanya berdoa semoga hubungan ini tetap aman dan baik-baik saja. Tak berharap banyak, jikalau harus berakhir suatu saat, berarti memang itulah saatnya. Suatu hari, ia harus kembali ke keluarganya. Begitu pun aku, hidupku harus terus berjalan.

Seperti kemarin, ia menurunkanku di titik yang sama. Kukecup bibir, kami berciuman cukup lama. Dalam. Saling menenangkan.

"Kita harus cari waktu lagi ya," ia berkata dengan wajah penuh harap

"Mudah-mudahan ya Bu Dokter," aku mengecup keningnya, keluar dari mobil. Ia berlalu, melambaikan tangan.

Pengalaman dengan Dokter Ara memberiku sedikit keberanian. Kusampaikan sebelumnya bahwa aku memiliki kelemahan dalam menghadapi wanita. Kini aku membuktikannya jika ternyata aku bisa. Meski harus diakui, aku menghadapi wanita yang lebih agresif. Maka dari itu, aku merasa kemampuan ini harus diuji lagi. Harus ada wanita-wanita dengan tipe berbeda yang kutaklukkan. Aku siap. Siapa tahu di depan ternyata lebih menyenangkan. Dan menantang.

Keesokan hari, di kantor tak ada sesuatu yang berarti. Kecuali siang itu, lagi-lagi, Dokter Ara menggodaku. Kami sudah sepakat kemarin kalau hubungan kami di kantor akan seperti biasa. Seolah-olah peristiwa menggairahkan kemarin tak pernah terjadi. Bisa-bisa aku dicurigai orang se-kantor kalau sering main-main ke klinik. Tapi, karena memang dasarnya dokter ini nakal, ia mengirimiku pesan erotis siang itu.

"Masss, aku sendirian loh di klinik. Sekarang masih jam 12 lagi," ia memancingku. Sialan.

"Bu Dokter nakal ya," kubalas singkat.

"Yakin nggak mau kesini? Keburu jam istirahat habis loh" ia terus menggodaku.

Begitu terus. Ia menggoda, aku berusaha bertahan sekuat mungkin menahan nafsu. Sial. Sial. Dokter nakal. Awas saja, kuhajar kau lain kali. Untung aku masih bisa menjaga kesadaranku untuk tak menemuinya di klinik. Godaan siang ini benar-benar berat. Dan ternyata, kelakuan nakalnya tak hanya berhenti di hari itu. Seminggu berikutnya ia terus menggodaku. Kali lain, kubalas godaanya dengan kalimat-kalimat yang lebih erotis. Jika tak tahan, ia akan mengirimiku foto wajahnya yang terlihat bernafsu. Dasar dokter binal. Tapi entah mengapa, kami tetap sadar memegang janji untuk tak berbuat apapun di kantor.

Hingga dua minggu setelahnya, tak ada kesempatan bagi kami untuk bertemu. Ditambah sejak 3 hari lalu Dokter Ara menyampaikan kalau ia sedang menstruasi. Bisa dipastikan, akhir pekan ini kami gagal berjumpa lagi. Rasanya memang pertemuan kami harus dikelola dengan baik agar gairah itu tetap menggebu. Tidak terlampau sering, juga tidak terlampau lama. Kami sama-sama menginginkannya.

Lalu bagaimana hubungannya dengan Mas Iwan atau Pak Tio? Dengan Mas Iwan jelas bubar. Ia tak pernah lagi ke klinik dua minggu ini. Nampaknya ia benar-benar ingin lepas dari Dokter Ara. Pak Tio? Tentu ia tetap pada perannya. Sesekali main ke klinik untuk menyenangkan diri, atau sekadar menggoda Bu Dokter seksi. Ia selalu mengabariku sebelum dan sesudah Pak Tio mengunjunginya. Apakah mereka pernah bercinta di klinik? Jawabannya adalah tidak. Pak Tio tahu risikonya. Kalau hanya adegan cium-mencium dan grepe-grepe jelas jadi menu wajib. Untungnya, Pak Tio orang yang mudah dirayu. Cukup dipuji dan disenangkan hatinya, ia akan memberikan segalanya. Aneh memang laki-laki satu itu. Selama itu, keuntungan materi jelas diperoleh Dokter Ara. Ia tak menampik itu, dan menikmatinya. Ia bilang padaku, ini kesempatan yang tak boleh dilewatkan. Karena tak akan selamanya, maka harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dokter ini selain binal, pintar juga, atau licik mungkin.

Pertanyaannya kemudian, kapan jatah kenikmatan diberikan Dokter Ara kepada Pak Tio? Pada pertemuan dua minggu lalu, ia menceritakan padaku kalau sebenarnya mereka tak terlalu sering berhubungan badan. Selain pada akhir pekan, seperti yang kami lakukan kemarin, ia terkadang turut serta ketika Pak Tio dinas luar. Berarti apa yang dibicarakan teman satu ruanganku dulu memang benar. Tak habis pikir, dokter ini sangat menyukai tantangan. Apa dia tak berpikir kalau aksinya dipergoki orang lain, atau bahkan suaminya sendiri. Oh aku lupa, suaminya sedang di Thailand, dan tahun depan baru kembali. Meski tentu ia pulang saat libur panjang datang.

Rabu siang, minggu berikutnya, cuaca sedang panas-panasnya, aku sedang di luar kantor bertemu salah seorang warga sekitar. Nampaknya aku mulai merindukan tubuh Dokter Ara. Tak dapat dipungkiri, tubuhnya bikin ketagihan. Aksinya apalagi. Dan ia berhasil membuatku tahan cukup lama. Aku masih ingin membuktikan kekuatanku, sekedar kemarin atau memang sudah meningkat.

"Besok aku ke Kota S harus ke dinas, jumatnya cuti. Kamu weekend kemana?" masuk pesan di hapeku. Dari si dokter kesayangan. Tahu saja ia kalau aku sedang rindu.

"Ini namanya jodoh. Jumat aku juga dinas ke Kota S. Kamu sendirian?" aku bersorak, si johny nampaknya juga kegirangan.

"Sayangnya nggak. Pak Tio juga kesana hari Kamis-Jumat. Weekend kamu punyaku!" ah sialan manajer itu. Pasti jadwal ini sudah diatur. Mau tak mau kami harus berbagi. Shit. Aku terus mengumpat.

"Duh aku cemburu. Pasti jadwalnya sudah diatur biar seperti ini," aku protes.

"Jelas lah. Kayak kamu nggak tahu si Tio saja," ia menambahkan emoticon sebal. Aku juga sebal. Tapi aku tahu, ia butuh Pak Tio. Kuhargai itu, apalagi aku juga orang baru di kehidupannya.

"Kalian nginap dimana?" aku terus menggali informasi.

"Di Apartemen P. Kamu jangan jauh-jauh. Atau mau disitu juga? Biar aku pesankan," cukup berani juga mereka nginap disana. Lokasinya di tengah kota, dekat dengan kantor kami di Kota S, dan tentu pusat keramaian. Strategi perselingkuhan macam apa ini. Sebagai pemain baru, nampaknya aku harus banyak belajar.

"Gampang deh. Nanti kukabari aku nginap dimana. Masih jumat kan kita ketemu?" aku memasang mode acuh.

"Sudah tak pesankan disana saja. Nanti kukabari, kamu tinggal cek in. Awas kamu nggak mau!" ia mengancam. Sepertinya ia juga sedang rindu dengan si johny. Kita lihat saja nanti.

"Iya deh Bu Dokter cantik," kuputuskan sedikit merayunya.

Entahlah. Kebetulan-kebetulan selalu terjadi dalam hidupku. Jalan selalu terbuka, dan kesempatan datang begitu saja. Aku memang akan dinas luar pada Jumat esok. Seperti kesepakatan kami, aku hanya akan menunggu Dokter Ara mengosongkan waktunya untukku. Kubiarkan ia mengaturnya. Bukan apa-apa, ia memiliki kehidupan yang lebih kompleks. Pekerjaan, keluarga, anak-anaknya, sampai Pak Tio. Selain itu aku tak tahu lagi. Maka aku yang lajang ini cukup menunggu saja, dan kami sudah setuju dengan perjanjian itu. Meski tetap, beberapa kali kugoda ia dengan pesan-pesan erotis. Dan ia pun begitu.

Kami tidak saling menghubungi sejak kamis pagi. Rabu malam, ia hanya menyampaikan jika berangkat ke Kota S menggunakan bersama Pak Tio, mereka bertemu di Kota P. Mobil yang ia kendarai dari rumah ia parkir di salah satu Rumah Sakit disana. Aku tak bertanya lebih lanjut. Kuiyakan saja perkataannya. Mereka lebih ahli dalam dunia ini.

"Tunggu aku yang hubungi ya. Sampai ketemu ya Mas Awang Sayang," ia menutup perbincangan malam itu dengan manis. Aku terkesan.

Kamis malam, aku menyusul ke Kota S. Aku tak bilang lebih dulu pada Dokter Ara. Kurasa dia tak perlu tahu. Aku lebih dulu menginap di salah satu hotel kecil disana. Langganan jika aku dinas ke kota tersebut. Uangku jelas tak cukup jika harus menginap di apartemen P. Aku bukan Pak Tio yang uangnya mengalir bak musim hujan.

Aku tak ingin membayangkan apa yang terjadi di kamar tempat Dokter Ara dan Pak Tio menginap. Mereka jelas sedang bersenang-senang. Bagaimana pun bentuknya. Sial. Mau tak mau, aku kepikiran juga. Hampir 3 minggu setelah peristiwa menakjubkan itu, kami belum mengulangi lagi. Dan kini, aku harus menyadari bahwa di tempat lain, tubuh yang kunikmati beberapa waktu lalu sedang bergumul dengan laki-laki lain. Mereka mungkin sedang asyik masuk dalam birahi. Mereka mungkin sedang melenguh bergantian. Mereka mungkin sedang bergelut mengejar kenikmatan. Sialan. Benar-benar sialan. Aku cemburu ternyata. Bayangkan jika kalian menjadi aku? Jangan bilang kalian tak panas dingin. Kuhajar mulut kalian.

Jumat pagi, sekitar pukul 9, ada yang meneleponku. Dokter Ara. Berdasarkan ceritanya kemarin, harusnya ia sedang sendirian. Pak Tio pasti ke kantor. Aku sedang di dalam ruang rapat. Kubiarkan panggilannya, sampai tiga kali ia mencoba, tak kuhiraukan. Kuputuskan mengirim pesan saja.

"Aku lagi rapat, Bu Dokter. Ada apa?"

"Kamu ih. Pak Tio lagi di kantor, aku bilang pulang besok, dia kayaknya pengen nemeni. Gimana ini?"

Laki-laki bangsat. Aku tak kuat jika harus menahan hasrat ini lebih lama lagi. Apalagi aku akan satu apartemen dengan mereka, ya meski beda kamar.

"Mau gimana lagi. Kamu rencana pulang kapan?" aku mencoba berbesar hati.

"Minggu dong. Aku kangen sama kamu. Tapi kalau begini, pasti dia ngajak aku pulang bareng. Duh. Aku bingung," ia tampak gusar. Aku tak bisa memberikan solusi.

Aku hanya berpikir, alasan apa yang Pak Tio berikan pada istrinya kalau sampai ia menemani Dokter Ara hingga Sabtu. Laki-laki ini ada-ada saja.

"Buat dia pulang nanti dong Bu Dokter. Kan nggak mungkin kita sembunyi-sembunyi. Kalau ketahuan, mati kita," aku tak punya ide jawaban selain ini.

"Ya sudah kupikirkan dulu. Sialan orang itu. Kamu nanti langsung cek in saja ya. Minta kamar selantai sama aku, di lantai 16," perintahnya.

"Siap Bu Dokter sayang," kututup percakan dengan sedikit manis. Aku pasrah dengan strategi yang ia pikir. Aku percaya saja. Ia jelas lebih berpengalaman.

Pukul tiga sore, acaraku sudah selesai. Tanpa menghubungi Dokter Ara, aku langsung menuju Apartemen P. Proses cek in berlangsung singkat. Aku menuju lantai 16 seperti yang ia minta. Aku tak tahu ia di kamar nomor berapa, aku mendapatkan nomor 1640. Apartemen yang bagus. Pantas saja harganya lumayan. Tampak ada kolam renang dan bar di lantai 8. Memasuki lift, aku terhenyak. Kejutan apalagi ini. Aku bingung. Apa yang harus kulakukan. Aku salah tingkah. Oh. Ini harus segera diakhiri, jika tidak, semua akan kacau. Ah. Sial. Kenapa momennya harus tepat begini.

"Loh, Mas Awang nginep disini?" Pak Tio. Iya, aku berjumpa Pak Tio. Ia nampak dari basement. Aku tak tahu kalau kami tadi pulang bersamaan. Aduh, aku masih bingung menempatkan diri. Petualangan bersama Dokter Ara benar-benar penuh kejutan. Dan memacu adrenalin.

"Eh. Iya Pak. Tadi habis ada rapat di kantor. Pak Tio juga?" aku menguasai keadaan pelan-pelan.

Masih lantai 6.

"Iya. Saya dari hari kamis kemarin. Ini rencananya mau cek out, mau ambil barang-barang," Pak Tio tampak tenang sekali. Aku salut dengan ketenangannya. Padahal, aku tahu ia sedang berselingkung disini.

Lantai 9. Ada dua orang masuk ke dalam lift.

"Langsung pulang, Pak?" aku mulai tenang. Kupancing saja terus, siapa tahu bisa membuatnya pulang hari ini. Minimal ia ingat istrinya di rumah sudah menunggu.

Lantai 10. Tiga orang masuk membuat lift sedikit penuh.

"Rencananya gitu. Tadi masih harus ke kantor induk ketemu orang disana," ia mulai berbelit. Aku berhasil memancingnya.

Lantai 12. Dua orang keluar. Seorang petugas apartemen menggantikan.

"Mas Awang dari kapan dinasnya?" ia berusaha mencari topik lain. Mengalihkan pembicaraan. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya. Kami seperti saling menebak. Was-was atas rahasia masing-masing. Aku sedikit lebih tenang, aku memegang kartu truf.

Lantai 14. Seorang masuk lagi mengisi rombongan, wanita yang cukup cantik, dengan pakaian cukup berani. Mata kami semua tertuju padanya.

"Cuma hari ini, Pak. Masih mau main disini, janjian sama teman-teman," aku menjawab dengan tenang. Ia mungkin heran kenapa aku menginap disini. Dengan harga yang lumayan, seorang staf biasa sepertiku rasanya tak mungkin menghabiskan akhir pekan disini. Ia mulai curiga.

Lantai 15. Ini penentuan. Kami jelas turun di lantai yang sama. Aku tak tahu ia di kamar berapa. Bisa saja ada kejutan lain. Aku siap. Adrenalinku makin naik. 3 orang yang tadi masuk di lantai 10 keluar bersamaan.

"Oh. Masih bujang ya, jadi enak mau kumpul teman-teman," ia mulai kehabisan bahan pembicaraan. Penghuni lain di lift ini tampak tak peduli dengan pembicaraan kami. Lift rasanya berjalan lambat sekali.

Lantai 16. Kami sama-sama keluar lift. Ia nampak kaget. Wajahnya menunjukkan itu. Langkahnya ragu-ragu. Ia tersenyum. Aku memasang wajah cuek. Dengan yakin, aku melangkahkan kaki ke arah kiri. Ia pun sama. Gila. Ingin rasanya kondisi ini cepat berlaku. Tapi seru juga.

"Loh di lantai ini juga, Mas? Kamar nomor berapa?" terlanjur basah, kita menyelam sekalian.

"1640, pak. Bapak?" wajahku tampak meyakinkan.

"Saya di 1636," kamar ami ternyata berdekatan. Hanya ada 1 kamar ayng memisahkan. Ia menunjukkan perubahan sikap yang cukup ekstrem. Ia nampak bingung. Ada sedikit ketakutan kedoknya diketahui olehku. Aroma kemenangan tercium mendekat.

Pak Tio pura-pura kesulitan mencari kunci. Dengan meyakinkan, kulewati ia. Kubiarkan ia dalam kebingungannya. Buat apa kunci, wong di dalam ada Dokter Ara. Aku sedikit tersenyum. Lucu juga melihatnya kebingungan. Ingin rasanya kubisiki, "Sudah, tak usah bingung. Saya tau kok Pak," lalu tertawa sekeras mungkin. Tapi, aku tak sejahat itu.

Tak ingin mempermalukannya, aku bergegas membuka pintu kamarku. Kuucapkan salam pada Pak Tio. Kasihan juga ia dalam kondisi ini. Aku masih menghormatinya sebagai senior dan pejabat di kantorku.

"Saya duluan, Pak," aku masuk, menutup pintu perlahan.

Diam sejenak. Kudengar ada suara ketukan pintu, tiga kali, lirih. Pintu terbuka, ditutup, lalu hening. Aku tertawa terbahak-bahak.