Model : Yuliana
Dengan beringas kuangkat tubuh Tania ke atas bagasi belakang kendaraan ini. Wajah binal Tania begitu menggairahkan terlihat di balik kacamata, semakin membuatnya sensual.
Dengan mudah, aku bisa melebarkan tungkainya; kedua telapaknya masih beralaskan sepatu sneakerberwarna kuning yang tampak menyala di kulitnya yang putih.
Ia terus tersenyum, mengembangkan semboyan syahwat yang amat kental tersurat dari helaan napas yang begitu berat.
Aku mulai menyukai pemandangan ini, menzinahi perempuan yang masih mengenakan hijab namun tubuhnya dibiarkan terhina tanpa untaian benang apapun di atasnya.
“Lonte Tania siap dibayar lebih murah dari lonte Annastasia, tuan Papah,” goda Tania, seraya kedua tangannya memilin sendiri puting payudara cokelatnya yang mungil dan indah.
“Gimana kalo gratis,” ujarku seraya mulai menjajah liang sanggama Tania yang begitu mudah ditaklukan.
Sleeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeph!
Satu tikaman kuat dan panjang menjadi mukadimah simfoni berahi wanita ini; diikuti dengan notasi mayor, teruntai penuh syahwat dari lisan indah Tania yang langsung kubungkam dengan bibirku.
Rasa hangat dan ketat liang sanggama Tania langsung terasa begitu menggelitik seluruh saraf pelirku.
Basah sisa perzinahan yang diakhiri dengan letupan benih cintaku di dalam rahimnya bahkan masih begitu kentara di sana.
Menggelontorkan sensasi yang begitu luar biasa.
Cplaaak! Cplaaak! Cplaaaak!
Kuhunuskan jajahan pelirku berulang kali di dalam lubang kencing Tania. Wanita itu merespons begitu cepat dengan menyamakan ritme pinggulku.
“Hmmmmmmmmph! Hmmmmmmmmmph!” Tania menggumam begitu menggairahkan ketika tikaman demi tikaman mengabit seluruh syahwat ini untuk segera dituntaskan.
Cplaaak! Cplaaak! Cplaaaak!
Pinggulku seolah tidak lelah untuk bergerak, menikmati pijatan liang sanggama Tania yang semakin lama semakin terasa begitu kuat, bersorak riang menerima rangsangan pelirku.
Kuputar lagi video perzinahan Annastasia yang langsung meningkatkan syahwatku ke mode afterburner, sekonyong-konyong membuka keran berahi begitu deras.
Sungguh desakan syahwat ini begitu dahsyat bersirkulasi di seluruh tubuhku, mengaliri tiap-tiap tepian dengan kenikmatan yang benar-benar tidak pernah kurasakan sebelumnya.
“Buntingin Taniaaah Paaaaah! Pejuin yang banyaaaaaakh!”
“As you wish, whore!” bisikku di telinganya.
Cplaaak! Cplaaak! Cplaaaak!
Seluruh kelezatan berzinah ini santer terkecap, menjalar di seluruh batang kenikmatanku, dan berakhir dengan rasa geli yang meledak begitu dahsyat di lubang kencingku.
Kuhentakkan begitu kuat pelirku di liang sanggama Tania. Kutuntaskan semua beban syawhat itu di liang sanggama kekasih Dhika ini.
Creeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet!
Creeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet!
Creeeeeeeeeeeeeet!
Creeeeeeeet!
Creeeet!
Creeet!
“Aaaaaaaah!” Tania melenguh seraya hujan glycoprotein makin membasahi liang sanggamanya.
“Teruuush Paaaah! Jangaan mikirin Taniaaaaah!”
“Pakee teruuuuush memek Taniaaah!”
“Taniaaaah lonteeenyaaah Papaaah Alfaaaaah.”
Ia bahkan tidak mempedulikan kenikmatan pada dirinya. Ia bertingkah seperti itu semata agar aku terus berhasrat menzinahinya.
“Puasiiiin peleeer kamuuuuh, sayaaang!”
Ia makin melebarkan tungkainya, membuatku semakin leluasa menyetubuhinya, bahkan Tania menahan paha sintalnya dengan kedua tangannya sendiri.
Berahi itu masih terkonstelasi begitu pekat, memenuhi asaku dengan nafsu binatang yang seolah tiada pernah bisa terbendung tatkala tubuh sintal Tania langsung memagut erat ragaku.
Mentranslasikan seluruh hasratnya dalam tiap-tiap embusan napas yang terasa begitu berat terhela dari hidungnya.
“Jangaaanh mikirin Taniaaah, sayaaaangh,” lenguh Tania, “pakeee memeekh Taniaaaah sampeeh peler Papaah lemeeesh.”
“Taniaaaah itu budakmuuh Paaaah!”
“Taniaaaah itu anjiiiing peliharaaan Papaah Alfaaaah!”
“Taniaaah Arnettaah gak pantesssh dapeth orgasmeeeeh!”
Deg! Deg! Deg!
Jantungku berdetak semakin kencang seraya frasa yang teruntai dari lisan Tania seolah mengukuhkan kedudukannya sebagai hewan peliharaan, seperti yang ia inginkan.
Cplaaak! Cplaaak! Cplaaaak!
Kugerakkan lagi pinggulku, seluruh berahi itu menghentikan segala instrumen hatiku, hanya naluri hewani yang terus menerus mendelegasikan syahwat dalam deraan siksa yang begitu kunikmati.
Tubuh Tania begitu mudah kukuasai kini, aku bisa melakukan apapun kepadanya tanpa ada perlawanan. Bahkan semakin lama, Tania menyinkronkan irama persanggamaan ini.
Semata-mata untuk memuaskan dahaga syahwatku yang tiada pernah terputus. Membiarkan dirinya menjadi objek seksual yang seolah hanya tercipta hanya untuk memenuhi nafsu bejatku yang semakin lama semakin mengendap di sekujur pelirku.
Sungguh, tubuh indahnya yang dibiarkan terhina, menyisakan hijab yang semakin membuatnya lezat untuk dizinahi. Aku bahkan berulang kali mencumbu bibir dan juga putingnya yang kulekatkan erat-erat di tengah.
Cplaaak! Cplaaak! Cplaaaak!
“Jangaaaan kasiiih ampuuunh Paaaah!”
“Nonooookh Taniaaaah cumaaa buat muasin nafsuuuh Papaaah!”
Ia meracau seraya gelombang syahwatnya semakin menjadi-jadi. Tubuhnya semakin mendekapku erat, bahkan ia menekan-nekan begitu ketat pinggulnya, mengimbangkan irama persanggamaan yang semakin panas.
“Aaaaaaaaaaaaah! I loveee yoouuuu Papaaaah Alfaaaaaaaaaaah!”
Orgasme meledak, tubuhnya kupagut erat-erat seraya memberikannya kenikmatan yang begitu dipuja kaum hawa ketika pelirku lancang bermain syahwat di liang sanggama mereka.
Tania menyerah, ia tidak bisa menahan gempuran pelir yang sedari tadi tiada lelah keluar masuk di liang sanggama kekasih Dhika yang saat ini takluk oleh taji berahiku.
“Maaafh Paaaah!”
Kugelengkan kepalaku, “gak masalah Tan.”
Sleeeeeeeeeeph!
Kulepaskan pelirku dari jajahannya yang langsung menganga, meninggalkan denyut yang terlihat jelas seraya melelehkan benih cintaku dari sana.
“Paaah! Maafiiinh Taniaaah!” Tania melenguh, seraya menarik kembali pelirku untuk menistakan lagi liang sanggamanya.
Kugelengkan kepala, “simpen buat di kamar aja Tan.”
“Sekarang, aku mau kamu duduk di kursi penumpang tanpa gamis kamu.”
Napasnya begitu berat di atas wajah merahnya yang hanya memandangku bersama seutas senyuman, diakhiri anggukan kepala yang mengafirmasi permintaanku barusan.
*****
Selisih jengkal di antara tempat kami beradu berahi dengan hotel hanyalah lima menit. Namun, kuputar setir rack-and-pinion yang diperbantukan oleh electronic power steering menjauhi perimeternya.
Aku sangat menikmati pemandangan sabuk pengaman tiga titik yang jelas membelah payudara besarnya saat ini. Awalnya ia tampak begitu malu, wajahnya merah padan tatkala aku sengaja berjalan pelan di sekitar Jalan Setiabudi dan menuruni aspal Jalan Cihampelas yang cukup ramai di penghujung siang ini.
Keempat Pirelli P7 Cinturato ini terus merobek hotmix kota Bandung, menyusuri tiap jengkalnya dengan begitu gagah, membiarkan banyak mata yang kadang sengaja memperhatikan keindahan tubuh Tania yang tersembunyi di balik AGC DOT20 berlapiskan kaca film dengan indeks 60% besutan Haverkamp.
“Pah,” panggilnya manja, “Tania dingin nih.”
Seketika aku langsung membuka plafon yang menghalangi semburan sinar sol menembus sunroof di atasnya, “mau dimatiin juga kah A/C nya?”
Ia menggelengkan kepalanya pelan, “nanti Papah yang gerah.”
Laju kami pun terhenti di lampu merah persimpangan akses Gerbang Tol Kopo yang terkenal ramai pada hari menjelang senja ini.
Beberapa mata tampak terbelalak melihat sosok Tania yang berhijab namun tubuhnya tidak ditutupi selembar kain. Beberapa bahkan ada yang sempat mengambil ponselnya untuk mengabadikan pemandangan tersebut, nahas lampu hijau seolah tiba-tiba menyala, mengusir lekas-lekas seluruh pelahap hidrokarbon untuk enyah dari sana.
Kami tertawa, menikmati sensasi ini. Terlebih Tania, tekadnya benar-benar paripurna untuk mengabulkan segala keinginanku.
Melintasi Kota Bandung yang terkenal dengan banyak persimpangan membuat Tania malah menikmati, hingga kami terhenti di persimpangan menuju arah Dago, tepat di sebelah W222 hitam yang merupakan kendaraan milik Pak Endro.
“Pah, itu ada Papa.”
Nadanya melemah seraya supir Pak Endro langsung mengenali kendaraan ini dengan melantunkan irama mayor pendek dua kali, terharmonisasi dari sepasang klakson besutan Clarton Horn.
“Gimana ya Tan, kalo supir kamu tahu keadaan kamu sekarang?”
“Pa … Pah,” lenguhnya pelan.
“Aku tau supir kamu curi pandang ke kamu pas terakhir aku ke sana.”
Ia menangguk pelan, “gimana gak ngeliatin aku Pah, soalnya aku kan jarang tampak pake baju gitu.”
“Pas ada Dhika?” selidikku singkat.
Ia menggeleng, “Papah Alfa pokoknya prius meun Tania.”
Kuhela napas, tampak ada ketulusan teruntai saat ia mengucapkan frasa itu, “mau jadi pelakor ceritanya Tan?”
Ia menggeleng cepat, “gak mungkin Papah berpaling dari Tante Anna kan?”
“I mean,” ujarnya pelan seraya embusan napas pendek teralun, “she just too perfect.”
“Physically, intelligently, even the whore side.”
Kuanggukkan kepalaku pelan, “V12 twin turbo.”
“Tenang, halus, tapi begitu liar, meskipun cuma satu sentuhan kecil.”
“Itulah,” tukasnya singkat, “kan bego kalo sampe Papah bisa kegoda sama seorang Tania Arnetta.”
“Pak Endro gak sampa supir kamu kan Tan?” tanyaku seraya meletakkan telunjukku di tombol pengoperasian jendela mobil.
Ia menggeleng cepat, “enggak Pah, tapi,” ujarnya ragu.
Seraya lampu lalu lintas berubah hijau, kulantunkan klakson pendek, kubuka penuh kaca jendela penumpan depan, sejenak berhenti lalu menekan pedal gas yang direspons dengan momen puntir yang melesatkan kendaraan dengan berat kosong dua ton ini.
Segera kututup kaca jendela yang disambut dengan wajah cemberut Tania, aku lalu tersenyum seraya mengusap kepala Tania.
Habis sudah harga dirinya di Kota Bandung sore ini.
****
Kupimpin langkah dengan penuh adrenalin, berusaha menerima apa yang terjadi di balik kamar, di mana Annastasia pasti juga sedang berasyik masyuk dengan berahinya bersama laki-laki haram yang sibuk menuntaskan syahwat yang diakhiri dengan letupan mani panas.
Semakin dekat kamar berukuran 90 meter persegi yang lengkap dengan balok dan Jacuzzi itu, setidaknya itu yang mereka katakan di brosur, semakin kencang jantungku berdegup.
Bahkan ketika pintu itu sudah berada di depanku, kakiku langsung terasa lunglai, gontai menopang tubuhku sendiri.
“I want more, pleaseeee,” suara Annastasia terdengar sayup dari dalam sana, “give me another orgasm.”
Deg! Deg! Deg!
Sungguh sesak rasanya mendengar lantunan minor, penuh penghibaan teruntai dari lisan Annastasia. Bukan aku tidak terima, namun justru lisan itu membuat kejantananku berdesir begitu cepat.
“Fuck me mooreeee!” Annastasia melenguh seraya dua-tiga orang terkekeh dari dalam kamar itu.
Kuhirup oksigen yang terasa begitu berat tatkala tanganku meraih akses dan kemudian perlahan membuka pintu kamar ini.
Deg! Deg! Deg!
Mereka benar-benar berzinah, menikmati tubuh lemah Annastasia yang saat ini pasrah dihinakan oleh tiga orang yang semuanya kukenal.
Dhika, Aldo, Nofan.
Ketiganya adalah keponakan jauh Annastasia yang juga merupakan orang yang telah kuberikan working permit untuk bertemu dengan Annastasia.
Kubiarkan mereka menikmati tubuh Annastasia. Bahkan mereka tidak sadar pintu kamar ini sudah setengah terbuka, membiarkanku dan Tania lolos ke dalamnya.
Annastasia ada dalam posisi airtight seal. Menerima ketiga pelir haram yang begitu menikmati tubuh indahnya.
Dhika berada di bawah Annastasia, pelir superior sepanjang 17 cm miliknya menjajah liang sanggama Annastasia dengan begitu lincah.
Kedua tangannya bahkan sibuk meremas payudara besar Annastasia yang masih melelehkan air susu, yang sesekali juga diteguknya.
Nofan berada di belakang Annastasia, pelirnya tidak sebesar Dhika, dan sedang menikmati liang anus Annastasia.
Sepasang tangan kekarnya bahkan begitu gemas menggenggam lekuk pinggul Annastasia, sesekali juga ia menampar kencang sepasang pantat montok ibu dari anak-anakku.
Aldo berada di depan Annastasia, pelirnya lebih besar dari Nofan namun lebih kecil dari Dhika. Ia sibuk menjambak rambut indah Annastasia, seraya kejantanannya keluar masuk begitu lincah di bibir istriku.
Ah.
Aku amat bahagia menyaksikan ini, istriku sedang menikmati rengkuhan syahwat yang digelontorkan oleh ketiga penis keponakan jauhnya ke semua liang kenikmatan Annastasia.
“Dhik, emang lonte beneran ini Anna,” lenguh Nofan yang sedang menikmati anus istriku.
“Udah berapa jam ini perek dipake sih?” tanya Aldo, “ini semua lobangnya masih enak banget.”
“Anjiiiiing lo Annaaaa!”
“Peler gue aja kayaknya gak puas-puas make memek Anna,” lenguh Dhika, “berapa kalipun dientot, masih selalu rapet.”
Cploooook! Cplooooook! Cploooook!
“Hmmmmmmph! Hmmmmmmmmph!”
Suara perzinahan mereka begitu indah, simfoninya terdengar amat harmonis ketika semua liang Annastasia dijajah habis-habisan oleh keponakannya dan bersatu dengan alunan desahan yang tertahan pelir Aldo saat ini.
“Anjing nih perek, masih gemeteran aja!” sahut Nofan.
Plaak! Plaak! Plaak! Plaak!
Empat tamparan keras mendarat di sepasang pantat montok Annastasia yang begitu merah dan direspons dengan hentakan yang semakin menggila.
Annastasia akan menggapai orgasmenya lagi. Dan aku tidak ingin ia mendapatkannya.
“Jadi gini kelakuan kalian? Hah!”
Sontak semua mata menuju kepadaku.
“Om Alfah? Ta … Tania?”
Semboyan barusan langsung direspons dengan bubarnya perzinahan empat insan pendosa yang masing-masing memandangku dengan wajah yang pucat.
Tidak dengan Annastasia, tubuh putih bersih yang bugilnya tampak begitu indah tatkala wajah merah yang masih dihiasi kacamata Lexington memandangku dengan senyum.
Perut, punggung, wajah, dan rambutnya dipenuhi benih cinta yang setengah kering. Liang sanggamanya yang gundul tampak agak kemerahan, tampaknya hunusan pelir mereka begitu kuat sehingga meninggalkan bekas di sekitarnya.
Benih cinta haram mereka bahkan terus menerus meleleh dari kedua liang Annastasia.
Di tubuhnya bahkan ada tulisan dengan spidol hitam, yang entah dari mana mereka mendapatkan inspirasi melakukan itu.
Di leher Annastasia ada tulisan ANJING LONTE SYARIAH GRATIS.
Di atas sepasang payudara 36L nya ada tulisan PEREK SUSU PERAH GRATIS.
Di perutnya, tepat di atas pusarnya ada tulisan PELACUR GRATIS SIAP BUNTING.
Di atas liang sanggamanya ada tulisan WC UMUM PIPIS ENAK DALEM MEMEK PECUN GRATIS yang ditegaskan dengan garis panah ke arah liang sanggama Annastasia.
Di atas bongkah pantatnya juga ada tulisan SODOMI GRATIS TAPI ENAKAN MEMEKNYA JAUH.
Terakhir ada statistik lengkap dengan nama mereka berempat, dan nampaknya nama Annastasia yang memenangkan orgasme terbanyak.
“Siapa yang izinin Mamah ngewe sama mereka?” tanyaku singkat, mengintimidasi semua orang yang berada di sini.
Ia menggeleng pelan, tiada lisan yang teruntai, hanya air muka penuh syahwat yang tertunduk, tertutup poninya, menyembunyikan ekspresi ketakutannya.
“Mama tau kan, apapun yang Mama lakuin harus atas seizin Papa?”
Ia mengangguk pelan, lemah, masih tiada suara yang teruntai.
“Karena kesalahan Mama, Papa akan hukum Mama.”
“SWO sampai lusa.”
Wanitaku langsung terhentak dengan napas tersengal, memandangku pucat dan berakhir dengan rubuhnya tubuh sintal Annastasia.
Ia lalu merangkak penuh aura negatif seraya presensinya makin mendekati perimeterku
“Pleaseee Pah, jangan SWO, pleaaaseee.”
Kugelengkan kepala pelan, “keputusan Papa udah bulet Mah.”
“Di sini Mama tetep istri Papa, dan semua hal yang berhubungan dengan kenikmatan berzinah Mama, juga harus seizin Papa.”
Ia lalu berlutut, memasang wajah erotis yang tampak begitu berhasrat seraya mata sayunya memandangku dengan godaan berahi yang amat dahsyat.
Tanpa komando dariku, Annastasia langsung menurunkan celanaku, bibir merah mudanya tampak langsung melahap buah zakarku dan tangannya lincah menari di atas kejantananku yang begitu keras.
Bahkan Tania yang sudah menanggalkan pakaiannya ikut bersama Annastasia.
Mereka berdua bergantian menikmati pelirku, padahal aku paham, tiada rasa nikmat bagi mereka melakukan ini kepadaku.
Tarian lidah Annastasia dan Tania silih berganti menyapu dari pangkal hingga ujung kejantananku. Bahkan aku bisa mengatur kedua betina yang sedanf berahi tinggi ini dengan jambakan kecil di rambut mereka.
“Nofan! Aldo!” panggilku kepada mereka.
“I … iya Om,” sahut mereka agak gemetar.
“Pake memek Annastasia, jangan sampe kasih lonte ini puncak.”
Annastasia, yang masih sibuk merangsang pelirku bersama Tania, langsung menanggkat pinggulnya, membiarkan Nofan untuk menjajah liang sanggamanya.
Beberapa kali pelir perkasa Nofan harus berdiskusi dengan otot kewanitaan Annastasia hingga akhirnya bisa sepenuhnya bermufakat bersama. Bahkan setelah serial perzinahannya pun, liang sanggama Annastasia masih sulit dijajah begitu saja.
“Dhik!” panggilku agak tinggi, “kamu entot lonte ini.”
“Sama kayak Anna, jangan sampe perek ini orgasme.”
Dhika memandangku dengan tidak percaya, ia tampak masih memproses instruksi yang kulontarkan barusan.
Namun Tania merespons berbeda, ia memandangku, “mau juga Pah, Tania diewe Aldo apah Nofan yah?”
Kuanggukkan kepala, dan tanpa komando, Aldo yang hanya menelan ludahnya sedari tadi akhir menggenggam lekuk pinggul Tania.
Dengan tidak ada kesulitan, liang sanggama Tania pun dijajah oleh Aldo. Sementara Dhika hanya terdiam, kali ini ia beronani sendiri, melihat kekasihnya sedang berzinah dengan laki-laki lain yang tidak lain adalah sepupunya sendiri.
Perasaanku begitu campur aduk tatkala pemandangan indah dan langka ini berada di depan mataku.
Istriku berzinah dengan Nofan.
Tania, yang juga kucintai, berzinah dengan Aldo.
Dhika berada di sebelah Tania seraya beronani.
Sementara aku menikmati sapuan lidah dan kuluman Annastasia serta Tania yang melakukan kegiatan rekursif ini secara sekuensial.
Perzinahan pun semakin menggila tatkala sang Sol perlahan merangkak, tertelan oleh horizon yang membakar jingga langit Bandung senja ini.