My Slutty Wife Annastasia A Cuckold Story (BAGIAN 5)
Model : Regita
SWEET REVENGE
Ini adalah kamar Tania.
Ruangannya cukup besar, sebuah ranjang California-King dengan balutan seprei sutra tencel berwarna jingga berada di tengah, tak jauh dari pintunya. Di ujung lainnya terdapat jendela besar yang tirainya ia biarkan terbuka, mengarah ke halaman belakang yang begitu luas dan hijau.
Meja riasnya sejajar dengan lemari yang ada di bagian kiri ruangan ini, sementara kamar mandinya ada di belakang ranjangnya, memiliki kaca yang dijadikan pintu sekaligus tembok, sehingga bisa terlihat aktivitas yang ada di dalamnya.
Tania lalu mengunci pintu kamarnya, ia lalu tersenyum dengan wajah yang sangat merah. Jemarinya langsung meraih jemariku, seketika bibirnya yang merah muda langsung mengisap telunjukku.
Deg!
Desir berahi yang kusimpan untuk menggempur wanita jalangku langsung bereaksi, meletupkan gairah yang langsung mencuat, mengisi pelirku dengan panasnya hasrat yang langsung terlihat dari balik celana pendekku.
“Tan, hei hei,” ujarku, lekas-lekas melepaskan jemariku yang barusan dihisapnya.
Wanita itu tersenyum, penuh berahi yang tersirat dari sorotan matanya yang sesekali memandang ke arah celanaku, “kenapa sih, Pah?”
Deg! Deg! Deg!
Sesak rasanya mendengar ia melontarkan frasa itu, dari mana ia memperoleh ide untuk memanggilku dengan Pah?
“Kaget ya Pah?” tanyanya lagi, “aku tahu dari Tante Anna kok.”
Dadaku masih sesak mendengar frasa itu terlontar dari lisan Tania yang saat ini kembali lagi mengulum telunjukku. Sesekali lidahnya terasa menyapu dengan begitu lembut, membangkitkan berahiku dengan begitu cepat.
Tania lalu tersenyum, ia berlutut dan langsung menghadapkan mukanya ke celana pendekku yang menyimpan pelir ereksi di dalamnya.
“Berapa banyak ya, memek yang bahagia sama peler ini?” Tania lalu mendaratkan jemarinya di atas penisku.
Deg!
“Tan,” ujarku, mencoba untuk tersadar, “stop.”
Ia masih tersenyum, “udah seminggu Dhika gak ke sini Pah.”
Deg!
Frasa manja itu terlontar lagi dari lisannya, jemarinya bahkan lebih kurang ajar lagi merangsang penisku, menyembulkan berahi yang langsung memuncak begitu dahsyat tatkala wanita ini memandangku.
Wajahnya memerah, tersenyum dengan seringai iblis nan binal, mirip seperti Annastasia ketika lubang kencingnya tidak sabar digauli oleh pelirku.
Perlahan, ia meraih ujung celanaku, dan ia pun menurunkannya.
Penis hitam beruratku langsung berdiri tegak di depan wajah putih Tania.
“Aaaah,” ujarnya, “kontol Arab ini maaah,” ia melenguh.
Secepat kilat ia meraih batang kenikmatanku, menggenggam dengan jemari lembutnya, mengocoknya pelan, naik dan turun.
Seraya ia lakukan itu, napasnya terlihat terburu, tersengal begitu cepat dan menaikturunkan dadanya. Pandangannya mulai berubah, sejurus wajah merahnya memandangku dengan mata yang penuh berahi.
Deg!
“Tan, stop,” ujarku, tetap berusaha sadar ketika sepasang bibirnya mengulur buah zakarku seraya tangannya mengocok agak cepat penisku.
Sluurrph! Sluurrph!
Tiada lisan yang tercipta selain simfoni gairah yang menggema di seluruh ruangan, membangkitkan nafsu binatangku yang seolah mematikan segenap saraf sadar ini.
Deg! Deg! Deg!
“Tanth, Stoppph,” aku melenguh, mencoba tersadar dalam deraan nikmat yang tercipta dari sapuan lidahnya dari pangkal sampai ujung pelirku.
Sluurrph! Sluurph!
Tania semakin menggila, ia membenamkan penisku di sepasang bibir merah mudanya yang tipis, merangsang kejantanan besarku dengan agak kewalahan.
Seraya ia menarikan lidahnya di ujung pelirku, ia lalu memandangku, tersenyum dengan air muka yang begitu membangkitkan mahligai gairah di tubuh ini.
“Tania gak pernah nikmatin nyepong kontol sebelumnya.”
“Tapi, Tania suka nyepongin kontol Papa Alfa.”
Deg!
Frasa itu teruntai lagi, begitu manja.
Ia lalu beranjak dari posisinya, melepas bajunya di depanku, seraya konsisten melontarkan senyum penuh berahi, hingga ia dengan entengnya menurunkan celana pendeknya.
“Tania itu pereknya Papah Alfa.”
“Tania itu pecun, pelacur, jablay, lonte, sundal.”
Ia lalu meraih sebuah kalung anjing, jelas tertulis di sana Tania Arneta yang diukir dengan huruf kapital.
“Tania adalah anjingnya Papah siang ini,” ujarnya lalu mengalungkanya sendiri di lehernya, “entot nonok Tania ya Paaah.”
Deg! Deg! Deg!
Entah.
Aku benar-benar tidak tahu bagaimana dirinya tiba-tiba menjadi seperti ini.
Ia lalu berlutut, menjulurkan lidahnya dan memandangku, “anjing harus ngapain Tuan Papah?”
Kuhela napas, menggelengkan kepala pelan seraya tersenyum kepadanya, “saya mau tanya dua hal?”
“Apa Tuan Papah?”
“Apa kamu mau begini terus, jadi peliharaan saya?”
Ia mengangguk pasti, “anjing Tania siap Papah Alfa.”
Kulihat ada beberapa kondom tergeletak di cupboard yang mengimbangi ranjangnga, ekspektasi wanita itu adalah seks aman tanpa meneteskan sperma di rahimnya.
Padahal bagiku, konsep bersanggama adalah menyemburkan benih cinta untuk saling bersinergi di dalam rahim.
Kugelengkan kepalaku seraya menatapnya, sorot mata Tania yang penuh birahi seolah menghapus seluruh batasan di antara diriku dan juga sosoknya yang tidak lain adalah kekasih dari Dhika, keponakan kesayangan Annastasia.
Kudekatkan tubuhku, ia lalu menyambutnya dengan senyuman yang begitu lebar, seolah menyuratkan elegi penyerahan diriku yang tergoda untuk menggaulinya siang ini.
Kutarik kalung anjing yang sudah dilengkapi rantai itu, kuseret tubuh Tania untuk mengikuti role playing yang ia inginkan. Sungguh aku ingin sekali memberikan sebuah pelajaran bagi wanita ini.
Kulepas kalung anjingnya, dan kuangkat tubuh wanita itu, “aku gak suka seks aneh-aneh kayak begitu Tan.”
Sejurus aku langsung meraih tubuhnya, melumat ganas sepasang bibirnya dan langsung kulepas lagi, “aku pemuja vanila seks Tan.”
Kuraih kedua payudara 36D miliknya yang begitu ranum, kuremas begitu gemas seraya memainkan sepasang puting cokelatnya yang begitu mungil.
“Paaah! Aaaaah!” Tania melenguh, menikmati sapuan lidahku yang mendarat di puting kanannya.
Tubuhnya langsung terhipnotis oleh deraan kenikmatan yang kuciptakan dari simfoni remasan dan sapuan lidah yang menggempur sepasang payudara indahnya.
“Enaaakh Paaaaah!” Tania melenguh lagi, kali ini ia menjambak rambutku seraya sesekali menekan dadanya untuk semakin digagahi oleh lidahku.
Kulepas pagutan bibirku di atas puting mungilnya, kutatap lagi wajah cantiknya yang begitu sayu. Wajahnya memerah tatkala aku mengembangkan senyuman yang terutas menyambut desah napas yang begitu terburu.
“Kamu tahu,” ujarku seraya memundurkan tubuhku, dua-tiga-langkah ke belakang, “udah banyak orang yang aku nodai.”
“Kenapa kamu mau sama aku?”
Tania terdiam, ekor matanya masih menyorot ke arahku, sapuan pandangnya sesekali menuju ke arah pelirku, lalu kembali menatapku.
“Gak tahu Pah,” ujarnya, begitu manja, “mungkin karena Tante Anna yang udah sering ngirim videonya pas diewe sama Papah.”
Deg!
Apa-apaan wanita itu? Sungguh aku hanya bisa menggelengkan kepala seraya menghela napas panjang.
Tania lalu menerjangku, menjatuhkanku di atas ranjang pillow top yang terasa begitu empuk ketika tubuh ini terhempas. Ia lalu meraih alat kontrasepsi di sebelahnya, namun dengan cepat kutahan.
“Eh Pah?”
Aku tersenyum, “aku bukan Dhika, yang bisa nikmatin memek pake kondom.”
Dengan brutal, kutarik tubuh Tania, kuhempaskannya di atas ranjang. Wajah memerahnya langsung berubah, pucat pasi tatkala kedua tangannya langsung kutahan di sebelahnya.
“Pah! Aaah! Jangaaan!”
Tubuhnya meronta-ronta begitu kuat ketika kedua tungkainya kutahan begitu ketat dengan pahaku.
Sungguh berahiku tampak langsung membucah, meledak begitu dahsyat di dada. Rasanya aku ingin segera menuntaskan itu semua di dalam liang sanggama Tania.
“Pleasee don’t bare fuck me!” Tania melenguh namun tetap memberontak.
“Pleaseee!”
Kulepas genggaman tanganku di pergelangan tangannya, kali ini aku tersenyum, “kalo kamu pikir seks adalah tentang paksaan dan crot semata.”
“Afwan, ana bukan laki-laki macem begitu.”
Kucumbu lagi bibir merah mudanya yang langsung terbuka ketika kecupan itu hanya kudaratkan di bagian pinggir bibirnya. Bahkan aku hanya menghisap pelan bibir bawahnya, menarikan sejenak lidahku di ujung-ujung lidahnya.
Ia ingin mencoba menjadi alpha female di hadapan laki-laki yang sudah banyak menaklukan arogansi mereka. Aku paham bagaimana memanjakan wanita bahkan sejak usiaku masih belasan.
Termasuk kekasih Dhika yang sudah tersaji polos tanpa sehelai benangpun menghalangi keindahannya.
Dan, wanita manapun tidak akan bisa menahan gejolak hasrat saat titik ini dirangsang dengan benar. Yang terpenting akses ke tubuhnya sudah dinyatakan dengan semboyan 5.
Cukup kecupan kecil yang membuat penasaran. Dan hal ini langsung terasa kepada Tania, tubuhnya mulai melemas, sejurus dengan bibirnya berusaha mencari bibirku untuk dipagutnya.
Namun kutepis itu semua, kubiarkan ia terlena dengan siksaanku.
Ia tidak tahan dengan rangsangan itu, jemari lembutnya menyisir rambutku dan menarikku untuk mencumbunya lagi, namun tetap kutepis, kubiarkan tubuhnya didera hasrat yang menggebu, terbudakkan dengan syahwat haram yang menjalar di tiap milimeter aliran darahnya.
“Pleaseeee! Paaaaah!” Tania mendesah, ia menjulurkan lidahnya, “kiss me moreeee.”
Kugelengkan kepalaku, dan kini giliran rangsangan kedua yang kulancarkan di kedua puting payudara 36D miliknya
Kupertemukan kedua ujungnya di tengah sejurus aku mulai melumat sepasang puting mungil cokelat berdempetan itu dengan tarian Lingua yang memutarinya.
“Aaah! Paapaaaah! Aaah! Aaaah!” Tania mulai melenguh lagi, menikmati tikaman syahwat yang sedikit demi sedikit mulai memagut tubuhnya.
Ia menikmati stimulus itu, kepalaku bahkan terus ditekan-tekan, menyuratkan kesukacitaannya ketika berahi haramku menjajah harga dirinya, lebih rendah dari apapun kini.
Setelah beberapa saat aku menjajah sepasang payudaranya, bibir kotorku kembali lagi merangsang sepasang bibir merah muda yang langsung memagut erat-erat bibirku dengan syahwatnya yang membahana.
Aku melakukan ini berulang-ulang, membiarkan seluruh tubuhnya lumpuh, dipenuhi testoterone yang mengucur deras, menguasai saraf parasimpatiknya dengan berahi yang pasti langsung membuncah.
“Entootin aku Paaaah!” Tania melenguh, agak kencang, lebih kepada sebuah ekspresi perintah ketimbang permohonan.
Alih-alih mengacuhkan lisannya, aku justru mendera lagi kedua putingnya dengan sapuan lidah yang membuatnya menggelinjang, tubuhnya meronta diantara desir nikmat yang terus-menerus terekskalasi, menuju satu titik kenikmatan yang mereka sebut sebagai orgasme.
Dan ketika getaran tubuh wanita ini semakin intens, kuhentikan sapuan lidahku.
“Paaaaaah! Aaaah! Pleaaaaaaseee!”
Dadanya naik turun, terharmonisasi dengan terburunya napas, tersengal di atas wajah merah padamnya yang masih terhalang oleh kacamata Wellington yang membuatnya semakin menggoda untuk dituntaskan.
Kuulangi lagi, kudera lagi seluruh syahwatnya.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
“Pleaaaseeeee Paaaaah! Finish meeeee!”
Kuhela napas seraya tetap menahan berahiku sendiri ditranslasikan dalam aliran darah yang berdesir, mendesak seluruh nafsu itu dalam ereksi yang begitu kencang.
“Kamu bukan alpha female, Tania Arneta.”
“Kamu peliharaan saya,” ujarku lalu menjauhi tubuhnya, “tunjukkan rasa hormatmu kepada tuanmu.”
Tania langsung beranjak, menerjangku, sekonyong-konyong hampir menjatuhkanku dari ujung ranjang. Jemari lembutnya langsung meremas lembut skrotumku, sementara sepasang bibir merah mudanya langsung melahap kejantananku.
Oh!
Rasanya begitu nikmat sejurus mulut hangatnya tampak sedikit kewalahan menenggelamkan pelirku di sana. Tarian lidahnya terasa begitu fasih menyapu glans penisku, sesekali rangsangan itu menari lincah di lubang kencingku.
Kujambak pelan rambutnya, wajah merahnya langsung terangkat, menatapku dengan air muka yang begitu sayu, “Tania harus apa, tuan Alfa?”
Aku tersenyum, “sekarang, aku mau kabulin satu permintaan kamu, Tania Arneta.”
Ia lalu merubah posisinya, melebarkan tungkainya, menunjukkan keindahan liang sanggama yang sudah merekah dan dibasahi oleh cairan cintanya yang meleleh di sana.
“Entotin aku Paah!”
“Kamu kan calon dokter,” ujarku, “pake bahasa medis, biar saya paham apa itu entotin.”
Wajahnya memerah, seraya senyumku mengembang ke arahnya. Sudah menjadi fetish untukku, tunduknya wanita yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata dalam pagutan syahwat.
Bagiku menjajah liang sangga wanita cerdas adalah salah satu kebanggaan tersendiri. Bahwa setinggi apapun mereka menilai dirinya, syahwat akan selalu meruntuhkan harga diri mereka.
Ia menggeleng, “Tania beluum sampe sanaaah.”
Kuanggukkan kepalaku, “sebut angka 28 dalam heksadesimal.”
Ia sedikit menghela napas, “Kalooh 16 itu 10, berarti 12 itu C, 1C Pah, 1C.”
Kudekatkan tubuhku, seraya mengarahkan kejantananku di ujung liang sanggamanya yang begitu terasa hangat.
“Aaah! Entoooot Paaaah!”
Kudekap tubuhnya seraya ia langsung menyambutku dengan pagutan yang langsung mengunci tubuhku. Bahkan sepasang tungkainya melingkar di pinggangku.
Kukecup ringan telinganya.
“Jelasin sama aku, apa itu entot.”
“Masukiiin peler ke dalem memeeeek,” lenguhnya seraya tubuhya berusaha untuk memaksakam liang sanggamanya untuk melahap penisku.
“Peler siapa ke memek siapa?”
“Peler Papaaah Alfaa ke memeek Taniaaaah,” lenguhnya seraya tubuhnya semakin meronta dalam deraan syahwat yang tiada bisa mungkin ia bendung lagi.
“Tania itu banyak, Tania yang mana?” aku terus menggodanya dengan pertanyaan itu.
“Aaaah! Taniaaa Arnetaa bintii Endro Prakosoo.”
“Sebutin yang lengkap, baru saya kabulin,” ujarku seraya sedikit menekan pelirku untuk bersiap menggagahinya.
“Aaah!” Tania melenguh, sejurus saat kugoda berahi yang terpusat di liang sanggamanya termanjakan oleh belaian kepala pelirku yang belum kubenamkan ke dalamnya.
“Entooot ituuu…,” lenguhnya, “masukin peler ngaceng Alfa ke dalem memek Tania Arneta binti Endro Prakosoooh.”
Sleeeeeeeeeph!
“Aaaaaah!” Wanita itu mendesah tatkala kepala penisku membelah liang sanggamanya yang tidak seketat milik Annastasia.
Deg! Deg! Deg!
Resmi sudah dosa itu teruntai saat kepala penisku menzinahi liang sanggama Tania yang terasa begitu hangat.
“Segini cukup, Tania Arneta?” bisikku di telinganya.
“Masuuuuukh lagiiiih!”
“Apanya?” bisikku lagi.
“Peler Papaah Alfaaaah di memeeek Tania Arneta binti Endro Prakosooh…,” ia mendesah begitu bernafsu, “pleaaaaseee.”
Sleeeeeeeeeeeeeeeeeph!
“Aaaaaaaaakh! Aaaaaaaaaakkhh!” Tania berteriak, separuh pelirku sudah menjajah liang sanggamanya yang baru terasa ketat saat ini.
Kutegakkan kepalaku, memandang wajah cantik Tania yang berubah amat merah, mulutnya sedikit terbuka, sejurus dengan alis dan dahinya yang sedikit mengernyit.
“Pelaaaan Paaaaaah! Pelermu kegedeaaaaaan.”
Aku melemparkan senyum kepadanya, “segini cukup Tania Arneta?”
Ia menggelengkan kepalanya cepat, “semuaaaa sayaaaang! Semuaaaaah pelermuuuuh!” Tania melenguh lagi.
Sleeeeeeeeeeeeeeeeeeeph!
“Aaaaaaaaaaaaaaaaakh!” Tania berteriak, sangat kencang, bahkan tubuhnya tampak terhentak begitu keras saat kurasakan ujung pelirku mengecup mesra serviksnya.
“Saa … sakit sayaaaaang!”
Aku amat menikmati ekspresi Tania, ketika pelirku berhasil menzinahi vaginanya, sama seperti wanita lain yang baru pertama dijajah oleh kejantananku.
Wajahnya begitu merah padam, seraya matanya dipejamkan begitu ketat. Menahan rasa aneh yang mungkin menyesaki liang sanggamanya saat ini.
Tidak ada lisan yang teruntai, hanya simfoni napas terburu, melantunkan syair kenikmatan yang terembus dari tiap hela napas Tania saat ini.
Kubiarkan liang sanggamanya beradaptasi dengan kekar dan kerasnya kejantanan hitamku di sana. Menikmati pijatan otot kewanitaan yang masih sangat terasa ketat di dalamnya.
Remasan liang sanggamanya terasa semakin kuat sejurus ia menggerakkan naik turun pinggulnya, mencoba mencari kenikmatan dari tiap-tiap milimeter batang kejantanan yang menyesaki vaginanya.
“Begini doang kan, Tania Arneta?”
“Geraakin sayaaaang! Geraaakiiin!” wanita ini mulai meracau, pagutan sepasang tungkainya di pinggangku seolah menerjemahkan betapa ia membutuhkan stimulus lebih lanjut.
“I love you, Om Alfaaaah!”
Sejurus ia langsung mendekapku erat, mendaratkan sepasang bibir indahnya dan mulai menarikan lidah di bibirku. Ia sudah sangat bernafsu saat lidah kami saling menari, bersinergi dalam frekuensi berahi yang semakin membuncah di tubuh wanita ini.
Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak!
“Hmmmmmmph! Hmmmmmmmmph!”
Harmonisasi indah antara suara persanggamaan dan gumaman yang tercipta seolah langsung membangkitkan seluruh romansa yang menggema indah di ruangan ini.
Tubuh Tania menggelinjang semakin tak beraturan saat hunusan demi hunusan penuh nafsu menikam liang sanggamanya yang sudah terbiasa dengan pelirku.
Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak!
Ia lalu memagut tubuhku begitu erat sejalan dengan getaran hebat terasa memusat di pinggulnya yang ia gerakkan seirama dengan gerakkan pinggulku.
Semuanya dibarengi dengan cengkeraman khas liang sanggama yang bersorak sorai merayakan kemenangan berahi yang akan terjadi.
“Hmmmmmmmmmmmmmmmmmph!”
Ia menciumku begitu ketat, sakit rasanya bibir ini ketika hisapannya terasa amat kuat, dibarengi dengan getaran tubuhnya, dan juga hentakan yang kuat di pinggulnya.
Tania Arneta akhirnya lumpuh dengan orgasme pertamanya.
Tubuhnya perlahan melemas, desir orgasmenya berangsur mereda seraya pagutan bibirnya ia lepaskan. Wajahnya masih sangat merah, kali ini disertai dengan seringai senyum yang terlontar menyuratkan kepuasan berahi.
Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak!
Tanpa memberikannya jeda untuk mengambil seutas napas, pelirku sudah berasyik masyuk lagi, bermain dengan berahinya yang tampak belum selesai.
“Sayaaaangh! Aaaah! Pleaaseee! Aaaah! Tunggguuuh duluuuh!”
Rupanya Tania adalah tipe wanita yang butuh waktu sejenak sebelum bisa menikmati lagi orgasme berikutnya.
Alih-alih mengacuhkan lisannya, aku malah tetap menghajar tiap milimeter liang sanggamanya dengan tikaman brutal yang semakin lama semakin kuhentakkan.
“Aaaah! Ngiluuuu sayaaaang! Aaaah!”
Aku tidak peduli. Semakin ia berteriak kesakitan, semakin puas rasanya aku bisa menghabisinya.
Sekujur ingatanku langsung memutar imaji tentang apa yang terjadi semalam, saat kekasi Tania, Dhika, menzinahi istriku, bergiliran hingga Annastasia tidak sanggup lagi mengejang.
“Aaah! Ngiluuuuh! Enaaaaakh! Aaaah!”
“Kontoliiin aku sayaaaaang! Aaaah! Tapiiih ngiluuuh!”
“Memeeeek! Bahagiaaah! Peleeer Papaaah Alfaaah!”
Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak!
Tania terus meracau, dan dalam waktu singkat tubuhnya kembali bergetar. Seutas berahi itu terasa begitu dahsyat menghiasi desir di sekujur liang sanggama Tania yang kembali mencengkeram hebat.
Tidak kuat rasanya kutahan rasa ini, pelirku sudah tidak sanggup menahan dera liang sanggama kekasih Dhika ini.
Sleeeeeeph!
Kulepas pelirku dari vaginanya, “nungging Tan.”
Tania langsung mengubah posisinya, bersujud membelakangiku, memamerkan bongkah pantat montoknya yang begitu bersih.
Ia meninggikan pinggulnya, memudahkanmu untuk mengarahkan kejantananku untuk menjajahnya lagi.
Sleeeeeeeeeeeeeeeeeeeph!
“Aaaaah!” Tania kembali melenguh, menikmati hunusan pelirku yang sudah menyumpal liang sanggama jalangnya.
Kugenggam lekuk pinggul Tania, seraya menikmati tiap-tiap milimeter stimulus yang menjalar ketika kejantananku terus membelah liang sanggamanya, menzinahi anak dari klienku sendiri.
Mudah bagiku untuk membelah liang kenikmatannya. Dan mudah pula bagiku untuk memanjakan tubuhnya yang sudah terdera oleh siksaan pelirku beberapa saat yang lalu.
“Teruuuus sayaaaang …,” Tania melenguh, “entooooth lagiiih.”
Sebagai laki-laki yang baik, kukabulkan permintaannya. Dengan tetap menggenggam lekuk pinggul wanita ini, kumainkan lagi kejantananku di liang sanggamanya yang langsung bereaksi hebat.
Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak!
Entah, yang terpikirkan saat ini bukanlah lezatnya menikmati tubuh mahasiswi kedokteran yang alim ketika berada di luar rumah.
Aku malah membayangkan Annastasia.
Imajiku berlarian, seraya gambaran tentang tubuhnya yang diperkosa oleh lelaki-lelaki yang melihatnya disetubuhi olehku tadi pagi.
Mereka menikmati keindahan tubuh Annastasia yang jauh lebih indah ketimbang Tania.
Mereka mengecap lezatnya otot kewanitaan Annastasia yang jauh lebih mencengkeram ketimbang Tania.
Mereka menistakan payudara 36L Annastasia yang jauh lebih besar ketjmbang Tania.
“Aaaah! Enaaakh! Sayaaaangh! Memeeekh! Aaaah!”
Tania mulai meracau, tubuhnya menggelinjang seraya remasan liang sanggamanya mendera kejantananku yang sedari tadi menikmati bayang-bayang pemerkosaan kepada Istriku sendiri.
Sungguh aku semakin tergila-gila.
Aku semakin ingin banyak orang merasakan betapa lezatnya tubuh Annastasia di usianya yang sudah hampir tiga dekade.
Gerakanku semakin kacau, semakin kencang kuhentakkan pelirku di dalam liang sanggama Tania yang juga semakin meremas batang kenikmatanku.
Tubuh Tania bergetar hebat.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!”
Wanita itu berteriak, sangat kencang, menikmati orgasmenya yang meledak begitu cepat.
Cplaaaak! Cplaaaak! Cplaaaak!
Seraya masih kuhentakkan pinggulku, kuubah posisiku, kuangkat lebih tinggi pinggul Tania, dan seketika pula deraan impuls itu menerjang ujung lubang kencingku.
Kuhunuskan kuat-kuat pinggulku.
Creeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet!
Creeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet!
Creeeeeeeeeeeeeet!
Creeeeeeeet!
Creeeet!
Creeet!
“Aaakh!” Tania tersentak tatkala menyadari mani haramku sudah menggenang di rahimnya.
Ia meronta begitu kuat, namun di posisi ini, tidak ada yang bisa ia lakukan, selain menikmati kehangatan maniku yang meledak, melesat dahsyat ke dalam rahimnya.
Wanita itu lalu menerima keadaan ini, ia malah menekan dalam-dalam liang sanggamanya, seolah ikhlas memasukkan benih cintaku ke rahimnya.
“Enaaaakh sayaaaang pejunyaaaah.”
Aku lalu melepas pelirku, dan Tania masih bersujud, entah mengapa ia masih melakukan itu. Seolah ia membiarkan sel telurnya segera dibuahi oleh mani yang barusan tersembur.
“I love you, Papah Alfa.”
Hanya lisan itu yang terdengar seraya senyum terlontar begitu manis dari lisannya.
*****
Sekejap setelah aku menyerahkan diska kepada Tania, aku segera pamit, berharap bisa beronani sambil menonton Annastasia digauli banyak laki-laki.
“Om,” panggil Tania, “Tania boleh ikut?”
Aku hanya memandangnya heran, “ngapain emangnya?”
“Gak apa,” ujarnya, memandangku dengan wajah yang masih merah, “Tante Anna kan izinin Om Alfa ngewein siapa aja kan?”
Kuanggukkan kepala pelan, “terus?”
“Aku mau maen bertiga sama Tante Anna, boleh?”
Deg!
Apa-apaan wanita ini?
“Because I love you, Om.”
“You know how to please a woman like me.”
Kuhela napas panjang, “well, tapi aku yakin Anna lagi digilir sama laki-laki di hotel.”
Wajah Tania seketika berubah, ia lalu menyerahkan ponselnya kepadaku, dan di sana ada video dari kontak Telegram Annastasia.
Aku hanya memandang Tania, “ini barusan kirim?”
Dengan senyuman penuh arti, ia mengangguk, “join boleh ya Papah Alfa.”
Deg!
Ini tidak mungkin, sungguh
No comments for "My Slutty Wife Annastasia A Cuckold Story (BAGIAN 5)"
Post a Comment