Budak Nafsu Pacar Anakku Bag.10 [What really happened? ~ Tamat]

POV Hany (40 tahun)
Aku mondar mandir di kamarku. Aku sedang bingung, pasalnya besok suamiku akan pulang dan aku belum sempat memperingatkan Ardo untuk menjauhi ku beberapa minggu ini, setidaknya sampai suamiku balik lagi ke Australia. Entahlah, aku sangat takut jika hubungan kami diketahui suamiku. Disatu sisi aku ingin Ardo mengakhiri hubungan kami, tapi disisi lain aku mulai sering merindukan Ardo. Hmm…mungkin lebih tepatnya merindukan penis Ardo. Lama mondar mandir tanpa hasil, tiba-tiba ku dengar suara motor berhenti di depan rumahku. Ku lihat dari jendela kamarku, ternyata Dian pulang diantar oleh Ardo. ‘hmmm…mungkin ini waktu yang tepat untuk bicara pada Ardo’, gumamku dalam hati. Aku bergegas menyambar jilbabku dan sedikit merapikan pakaian tidurku yang agak acak-acakan. Aku mencoba berpikir lagi, apa aku harus bicara dengan Ardo sekarang? Dan aku sadar tidak ada alasan untuk menunda lagi, keutuhan rumah tanggaku yang menjadi taruhannya. 

“eh, mama belum tidur?”, Dian langsung menghampiriku ketika melihatku keluar kamar. 

“mana bisa mama tidur kalau anak gadis mama belum nyampe rumah?”, ucapku sambil mengusap-usap kepala Dian. Dian hanya tertawa menanggapi ucapanku. 

“tan, Ardo balik dulu ya, udah malam”, Ardo tiba-tiba berdiri dari duduknya. Aku kaget, klo Ardo balik otomatis aku nggak bisa bicara padanya mengenai mas Hendro. 

“hmm….kamu yakin mau balik? Udah 10.30 lho, nanti kamu kenapa-napa dijalan. Kamu nginap disini aja ya?”, ucapku cepat, berusaha menahan keinginan Ardo untuk pulang. 

“tuh yang, udah dibilangin nginap aja…”, Dian mendukung usulku. 

“mah, tadi aku udah bilang ke dia biar nginap aja, besok pagi aja pulangnya..tapi dia tetap bilang mau pulang”, ucap Dian lagi padaku. 

“nginap aja ya..tante takut kamu kenapa-napa ntar dijalan, lagi banyak begal juga kan soalnya”, ucapku lagi berusaha membujuk. 

“hmm..ya udah deh, aku nginap aja”, jawab Ardo. Dia kembali duduk, aku dan Dianpun ikut duduk.

“sayang, sana kamu beresin kamar tamu dulu biar Ardo bisa langsung istirahat”, aku menyuruh Dian membersihkan kamar tamu agar aku bisa bicara berdua dengan Ardo. 

“roman-romannya ada yang lagi kangen nih ”, ucap Ardo ketika Dian sudah berlalu ke kamar tamu. Aku tak menanggapinya, aku hanya menggerakkan telunjukku menutupi bibirku, mengisyaratkan agar Ardo diam. Aku berdiri dan mendekatkan posisi duduk ku dengannya.

“ntar jangan tidur dulu ya, aku mau ngomong”, ucapku agak berbisik. Aku takut Dian mendengar omongan kami karena kamar tamu cukup dekat dengan ruang tamu.

“oke sayaaaang”, jawab Ardo. Aku baru akan berlalu ketika tiba-tiba tangan Ardo menarik tanganku sehingga tubuhku tertarik ke arahnya dan tanpa bisa kutahan aku jatuh dalam pangkuannya. 

“do, lepasin ah, ntar ketahuan sama Dian!”, aku membentaknya tapi dengan suara yang pelan karena takut kedengaran Dian. Ardo tak peduli, dia bahkan mulai menangkupkan kedua tangannya pada payudaraku diluar baju tidurku. Dia meremas pelan disitu menghidupkan rangsangan birahi ditubuhku. Entah kenapa, sejak aku dipijat waktu itu, aku jadi gampang sekali terangsang, disentuh dikit aja aku langsung basah. Mungkin yang dikatakan tukang pijat itu benar, mereka mengaktifkan semua syaraf yang berkaitan dengan birahiku. 

“hmm…dooo, lepasiiiiin….ehmnnnmm”, aku memohon, tapi terdengar setengah hati karena suaraku disertai lenguhan. 

“nikmatin aja ya sayang, lagian dari sini kan kita bisa lihat kalo nanti Dian sudah selesai dan keluar dari kamar itu”, ucap Ardo berbisik ditelingaku. Kemudian Ardo menggigit kecil telingaku yang masih tertutup jilbab. Hal itu membuat tubuhku menggelinjang geli. Aku semakin pasrah. 
Kurasakan tangan Ardo mulai menelusup masuk ke dalam baju tidurku. Dan tanpa bisa kutahan telapak tangan Ardopun kini dapat bersentuhan langsung dengan kulit payudaraku. Putting payudaraku sudah tegang karena ditarik-terus oleh Ardo. Sementara vaginaku terus basah.

CLEK! Tiba-tiba terdengar bunyi pintu kamar tamu dibuka. Aku segera berdiri menjauhi Ardo dan merapikan bajuku. 

“Do, kamarnya udah beres tuh, kamu bisa istirahat sekarang sayang”, ucap Dian ke Ardo. 

“ya udah do, kamu langsung istirahat aja, pasti cape kan antar jemput Dian?”, ucapku menambahkan.

“perhatian banget sama calon menantu, anak sendiri juga capek kali seharian di kampus”, Dian berkata begitu sambil cemberut. Aku tahu Dian hanya bercanda, tapi perkataannya telak menusuk perasaanku. Aku agak terdiam sesaat sebelum aku menjawab.

“jangan cemburu gitu dong sayang, kamu juga buruan tidur gih”, aku tertawa agar tak terlihat kikuk dimata Dian. Dian hanya tertawa mendengar jawabanku. Akhirnya kita masuk ke kamar masing-masing. 

Setengah jam berlalu, aku masih tidur-tiduran di kasur. Menunggu waktu yang tepat untuk mengajak Ardo bicara. ‘Mungkin aku harus cek keadaan dulu’., pikirku lagi. Akupun membuka pintu kamar dan berjalan kearah tangga. Namun, sebelum itu aku ke kamar tamu terlebih dahulu. Ku dekatkan kupingku ke pintu kamar tersebut tetapi tak terdengar suara apapun dari sana. ‘apa mungkin Ardo sudah tidur ya?’. Aku hendak masuk ke kamar tersebut tapi kuurungkan niatku. Aku takut kalau ternyata Ardo masih bangun dan langsung menyergapku. Lebih baik aku check anak-anak dulu. Akupun berjalan ke lantai dua. Pertama aku masuk ke kamar Dita dan Yona. Ku buka pintu kamar itu dan kunyalakan lampunya. Kulihat Dita dan Yona tidur sambil berpelukan. Cantik sekali anak-anakku ini. Akupun menciumi kening mereka satu persatu. Aku beranjak dari tempat tidur mereka. Lampu ku matikan kembali dan akupun menutup pintu kamar dengan pelan. Kemudian aku beranjak ke kamar Dian. Kamarnya terlihat masih terang dari luar. Namun, ketika pintu kamar kubuka kudapati anak gadisku itu sudah tertidur. Mungkin dia kecapekan seharian di kampus. Dian bahkan belum mengganti pakaiannya dengan baju tidur. 

Aku mendekati kasur Dian, ku selimuti dia dan ku kecup keningnya. 
Aku beranjak dari kasur Dian, bermakusud untuk segera keluar dari kamar itu. Namun, mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah buku berwarna pink yang terletak di meja belajarnya. Kucoba buka buku itu. Ternyata buku itu adalah buku diary Dian. Penasaran, akupun membolak balik lembaran demi lembaran sambil sesekali membacanya. Rata-rata isinya sih hampir sama dengan curhatannya padaku. Tanganku terhenti ketika membaca nama Ardo di beberapa halaman. Aku jadi ingin tahu, sudah seberapa jauh hubungan mereka. Penasaran, aku langsung saja membaca salahsatu halaman. 

Dear Diary, 
Aku merasa aneh nih dengan tingkahnya si kebo, masa dia suka tiba-tiba ga ada di kampus? Ga ngasih kabar lagi..Aneh banget kan?! Belakangan ini juga aku mulai merasa hubungan kami jadi hambar. Dia masih sama sih, perhatian, suka gombal. Dia juga masih memegang janjinya buat ga nyium aku kalo ga dibolehin. Tapi aku merasa dia beda aja.
Apa dia selingkuh ya ry? Tapi ga mungkin ahh! Aku ga pernah lihat dia jalan sama cewe lain. Temen-temenku juga ga pernah lihat dia jalan sama cewe lain. Aku juga pernah tanya temennya dia, katanya Ardo ga pernah lagi jalan sama cewe lain selain aku. Tapi kenapa aku merasa dia berbeda ya?
Ahh mungkin akunya terlalu curiga aja kali ya?! Habisnya pacaran sama mantan playboy sih. Hihihi….
Mudah-mudahan semuanya baik-baik aja ya ry yaaa…aku udah sayang banget soalnya sama dia. 
Aku bobo dulu yaaa, cape nih..
  
Mataku berkaca-kaca membaca tulisan itu. Aku tahu persis, tiap kali Ardo menghilang dari kampus dia pasti bersamaku. ‘pacarmu itu memang ga selingkuh dengan temanmu Dian sayang, tapi dia selingkuh dengan mamamu’, tanpa dapat ku tahan tangiskupun pecah. Aku menutup diary Dian dan menyeka air mataku. Aku beranjak dari kamar Dian dan tak lupa sebelumnya ku matikan lampu kamarnya. 

‘dasar perempuan jalang ! kamu tidak hanya mengkhianati suamimu, tapi anakmu juga! Kamu sudah merenggut kebahagiaan Dian ! kamu benar-benar sudah merusak keluargamu!’, aku merutuk diriku sendiri. Saat ini aku sudah berada di kamarku. Menatap diriku yang hina ini di depan cermin. Sudahlah, ini sudah terjadi. Aku tidak bisa menghapus yang sudah terjadi, tapi aku masih bisa merubah agar semuanya jadi lebih baik. Ya, aku harus menghentikan hubunganku dengan Ardo. Aku harus bicara dengannya sekarang. Ku seka air mataku dan aku beranjak ke luar kamarku. Aku berjalan ke kamar tamu yang tidak jauh dari kamarku. 

‘tok tok tok !’ aku mengetuk pintu kamar itu. Tidak ada sahutan dari dalam. Kucoba buka pintunya dan ternyata tidak terkunci. Ardo sudah tertidur dengan menggenggam hpnya. Mungkin dia tertidur karena kelamaan menunggu kabar dariku.Aku masuk ke kamar itu dan duduk di pinggir ranjang. Terdengar dengkuran halus Ardo. Entah kenapa melihat wajahnya yang lelah, rasa benciku seketika hilang. Naluri keibuanku pun muncul seketika. Aku selimuti dia dan kuelus pelan kepalanya. Menatap wajahnya yang tenang, entah kenapa membuatku ingin memeluknya. Perlahan akupun membaringkan tubuhku disebelahnya, memeluk tubuhnya dan menyandarkan kepalaku di dadanya yang bidang. Nyaman sekali rasanya hingga tanpa sadar tanganku pun mengusap-usap dadanya.

“aaww!”, aku terpekik kecil ketika kurasakan sebuah tangan meremas pantatku. 

“kamu kenapa ga bangunin aku?”, ku dengar Ardo berucap pelan. Aku kaget, segera kucoba untuk berdiri, tetapi tangan Ardo menahan tubuhku sehingga posisiku tidak berubah, tetap tiduran disampingnya. 

“kamu daritadi pura-pura tidur?”, bukannya menjawab pertanyaan Ardo, aku malah balik bertanya.

“enggaaaa sayang, aku beneran udah tidur tadi, tapi kebangun soalnya ada bidadari yang rebahan sambil ngusap-ngusap dada aku”, ucapnya lagi. Mendengar gombalannya mau tak mau membuatku tergelak. Kupukul pelan dadanya. 

“yuk ahh, ke kamarku, ada yang mau diomongin”, aku mencoba berdiri lagi. Kali ini Ardo tidak menahanku. Ia ikut berdiri dan berjalan mengikutiku. 

“Do, kita harus akhiri ini semua”, ucapku dengan nada tegas. Saat ini aku dan Ardo sudah berada di kamarku. Kami duduk disofa yang menghadap ke tv dengan jarak yang cukup jauh.

“jadi kamu sengaja nahan aku sampe malam gini cuma buat ngomong itu? come on sayang kita udah pernah bahas ini dan kamu tau aku akan jawab apa”.

“aku udah nggak takut dengan ancamanmu. Aku nggak peduli lagi dengan ancamanmu, silahkan kirim video itu ke suamiku, sebar video itu”, ucapku lagi, kali ini suaraku mulai bergetar.

“kamu kenapa sih? Kok tiba-tiba jadi aneh?”, Ardo berdiri dan mencoba mendekatiku.

“jangan mendekat! Tetap duduk disitu!”, Ardo kembali duduk. Entah dari mana munculnya keberanianku untuk membentak Ardo seperti itu. Yang pasti tekad ku sudah bulat untuk mengakhiri semua ini. 

Ardo menatapku tajam seolah meminta penjelasan lebih dariku. Matanya seolah-olah mengintimidasiku. Aku tidak perlu menjelaskan apa-apa padanya, tapi tatapannya membuatku agak takut. Aku menghela nafasku dalam-dalam. 

“besok suamiku pulang, aku tidak ingin menyakitinya”, ucapku pelan.

“aku udah tau dari Dian. Klo cuma itu masalahnya, aku janji tidak akan mengganggumu selama suamimu ada disini”, jawab Ardo. 

Krinng..Kriing....Tiba-tiba terdengar handphone ku berbunyi. Malam-malam gini siapa yang menelpon ya? Ah biarin aja, lagian hp ku ada di kasur jadi agak malas jalan ke kasur. Paling juga klo ngga diangkat bentar lagi mati. 

“aku ga mau lagi melanjutkan hubungan kita, aku ga mau ada lagi yang tersakiti, jika kamu masih bersikeras artinya kamu sudah siap untuk kehilangan Dian”, kali ini aku coba mengancam Ardo. Dia hanya tersenyum, sama sekali tidak terlihat takut dengan ancamanku.

Kriingg..kringg..kringg..Hape ku tia-tiba berbunyi lagi. 

“itu hapenya diangkat dulu aja, mungkin dari suamimu, kali aja penting”, ucap Ardo. Benar juga sih kata Ardo, mungkin dari Mas Hendro. Akupun beranjak ke kasur mengambil hapeku dan duduk di pinggiran ranjang. Ku lihat nama Mas Hendro tertera dilayar hapeku. Ardo benar, ternyata Mas Hendro yang menelpon.

“haloo, mas..apa kabar? Maaf tadi aku lagi di kamar mandi”, aku berpura-pura riang.

“haloo sayang, mas sehat, kamu sehat? kangen nih, kamu lagi ngapain?”, jawab suamiku diseberang sana.

“hmm..iya mas,aku sehat, aku juga kangen banget mas, ini aku baru abis gosok gigi, mau tidur”, aku berbohong.

“anak-anak udah pada tidur?”

“tadi terakhir aku lihat sih udah mas”, jawabku lagi. Ardo sepertinya menyadari kalau yang menelpon adalah suamiku. Dia berdiri dan berjalan menuju pintu kamar. Hmmm…tau diri juga dia. Mungkin dia ga ingin mengganggu ku menelpon.

“sayaang, mas kangen pengen peluk kamu,cium kamu, jilatin putting kamu yg seksi itu”.
Ternyata firasatku salah, Ardo malah mengunci pintu kamar dan berjalan mendekati aku. Aku mengibas-ngibaskan tanganku mengisyaratkan agar Ardo menjauh tapi dia tak peduli. Dia tetap mendekat dan duduk disebelahku. Tiba-tiba hapeku direbutnya, ditekannya tombol load speaker dan diletakkannya hape itu diatas bantal.

“silahkan bicara lagi, aku hanya ingin tau obrolan suami istri”, bisiknya ditelingaku. 

“mas lagi horny banget ya? Sabar mas, kan mas besok udah ada disini, kita bisa bercinta sepuas mas, klo perlu seharian kita ga usah keluar kamar”, jawabku. Ku sadari mukaku memerah karena ada Ardo disampingku yang mendengarkan kata-kataku tadi. 

“sayang, mas pengen bercinta sama kamu sekarang, kamu bantuin mas ya?”, deg! Kata-kata Mas Hendro benar-benar membuat jantungku berdebar, apalagi disebelahku ada Ardo. Ku lihat dia tersenyum mesum mendengar kata-kata suamiku itu. Masku ini pasti ingin phone sex. Huft, giliran aku yang ngajak dianya gam au. Tapi yaudahlah aku harus turutin maunya mas Hendro.

“apa aja buat mas pasti aku lakuin”, ucapku akhirnya.

“sayang, sekarang kamu coba ambil dildo yang mas kasih deh”

“iya, bentar ya mas”, jawabku lagi. Aku hendak berdiri menuju lemari tetapi tiba-tiba tangan Ardo menahanku. Dia dengan cepat membuka celananya dan mengarahkan tanganku ke penisnya. 

“anggap ini dildo”, bisiknya pelan. Aku mendelik menunjukkan protesku, ku dorong tubuhnya, namun Ardo mengisyaratkan agar aku tidak melakukan hal yang membuat suamiku curiga. Ardo benar, tidak boleh ada suara-suara aneh yang terdengar disana. Mau tak mau akhirnya tanganku menggenggam penis yang sudah sering masuk vaginaku ini. 

“anggap dildo itu penis mas, dan sekarang kamu jilatin dildo itu sayang, mas pengen denger suara jilatan kamu”, lagi-lagi aku dibuat bingung dengan keinginan mas Hendro. Sementara itu kulihat Ardo mulai merubah posisinya jadi setengah berdiri dan mengarahkan penisnya ke mulutku. Aku mulai ragu, haruskah aku kembali tenggelam dalam birahi yang ditawarkan Ardo? Tapi aku memang tak punya pilihan lain jika tidak ingin suamiku curiga. Ku lihat Ardo memberi isyarat agar aku ikuti saja.

“mhmm…muach..”, ku buat suara agak keras saat mencium penis Ardo agar terdengar oleh suamiku dan aku mulai menjilati penis itu pelan-pelan.

“terus sayang,lebih cepat…hmnggg”, terdengar suara Mas Hendro makin berat, sepertinya dia benar-benar bernafsu membayangkanku. Sementara itu Ardo makin liar, tangannya bergerilya kedadaku,memilin-milin putingku dan sesekali menariknya.

“hmmm….enghhmm,,,…hmnnnmm…”, suaraku mulai terdengar bernafsu, karena Ardo sudah berhasil membangkitkan birahiku.

“sekarang bayangin mas lagi ciumin kening kamu”

“enghmmm…te…russs mas?”, suaraku mulai terdengar putus-putus. Ardo melepaskan penisnya dariku, tbuhkupun didorongnya lembut hingga tubuhku berbaring dikasur. Dengan cepat dipleterinya kain-kain yang masih menutupi tubuhku, sehingga saat ini aku hanya tinggal berbalut celana dalam.

“terus bibir mas mulai turun ke hidungmu, mulai menjilati bibirmu, turun ke lehermu dan menjilat lembut disana”

“ehmmm…enghmmm”, aku melenguh karena Ardo mempraktekkan semua ucapan mas Hendro. Keningku diciumnya dengan lembut dan secara perlahan bibirnya turun ke hidung, bibir, serta leherku. 

“kerasa ga Hany sayang?”, Tanya mas Hendro lagi.

“nghhhmmm..iyaaa mas,,,teruusss masss…”, aku hanya bisa mejawab ga jelas. 

“bibir mas makin turun ke bawah, jilatin putting kamu sambil tangan mas meremasnya lembut”

“hmm..mass…enaak….terus mass…”, aku mulai mendesah-desah.

Ardo mengikuti semua yang dikatakan mas Hendro sehingga membuatku benar-benar melayang. Ku bayangkan bahwa saat ini yang mencumbuku adalah suamiku. Vaginaku makin basah karena dua jari Ardo sibuk menggaruk-garuk vaginaku. Ku pindahkan hapeku ke meja kecil disebelah tempat tidur agar tidak menangkap suara-suara noisy di tempat tidur.

“Hany sayang, kamu lagi ngapain disana?”, tanya mas Hendro,mungkin dia sedang membayangkan aku lebih nakal. Sementara aku makin menggeliat gila karena rangsangan-rangsangan Ardo, dan ternyata baru aku sadari bahwa celana dalamku sudah terlepas entah kapan Ardo melepasnya. 

“ehnghhmm….aku lagi masukin penis mas ke vaginaku mas”, aku berkata begitu sambil mengarahkan penis Ardo ke vaginaku yang sudah banjir.

“hangaat…vaginamu hangat, masih sama ga berubah”, mas Hendro meracau, mungkin dia membayangkan aku menusuk-nusuk vaginaku dengan dildo yang diberikannya. 

“Ehngfhhhmmm…..iyaaa mass, cepat mas, goyang lebih cepat lagih……”, aku semakin gila dengan tusukan-tusukan penis Ardo. 

“arghhh..mas…gedee…punyaa mas gede bangeeet….hmmff”, Ardo makin mempercepat kocokannya di vaginaku. Entahlah, aku tidak tahu apa yang dibayangkan mas Ardo.

“enghmnhgghh….aduhhh..duhhh…mas…aku keluaarrrrr”, akhirnya aku menggeram panjang mendapati ogasme pertamaku, sedangkan penis Ardo masih tetap tegang dan kokoh. Aku mengatur nafasku. 

“lemes ya sayang?”, tanya mas Hendro.

“iyaaa…lemes banget mas…”, jawabku setelah agak tenang.

“sayang tau gak, penis aku udah keras banget, aku udh ga pake celana sekarang”, ucap mas Hendro lagi. 

“iyaa mas, aku juga udah bugil dari tadi mas..”

“Lanjut lagi yuk, bantu mas ya, biar lega”

“yuk mas, badanku udah basah banget nih”, ucapku jujur. Ya saat ini tubuhku sudah dibanjiri oleh keringat akibat percintaanku dengan Ardo.

“sekarang kamu nungging ya, mas mau gaya doggie”, mas Hendro mengatakan fantasinya lagi.

“hmmm….”, aku hanya bergumam karena Ardo dengan tanggap langsung melepas penisnya dan membantuku merubah posisiku menjadi menungging.

“yuk mas aku udah siap”, ucapku lagi.

“mas masukin sekarang yaaaa”, mas Hendropun menjawab. Dan bersamaan dengan Ardopun memasukkan penisnya tetapi tidak ke vaginaku. Tanpa kuduga penis itu dipaksa masuk ke lubang duburku. Agak sakit rasanya.

“ehmm…eochmmm…..”, aku hanya bisa merintih menahan perih. Penis itu masuk dengan agak susah dan Ardopun mulai menggoyang penisnya dengan irama pelan. 

“hmm,,hangat banget vaginamu sayang”

“Ouchhh……”, aku mengerang lebih keras. Sensasi yang aneh ketika rasa perih tadi berganti dengan rasa nikmat. 

“sekarang mas ngaduk-ngaduk vaginamu sambil menusuk-nusuk anusmu pake dua jari mas”, kata-kata mas Hendro dipraktekkan dengan terbalik oleh Ardo. Ya saat ini Ardo menggoyang anusku dan menusuk-nusuk vaginaku dengan dua jarinya.

“hmmm…masss….enaakkghhmm”

Kami terus saja saling memuaskan hasrat masing-masing. Mas Hendro dengan tangan sedangkan aku dengan penis asli yang cukup besar dan sudah sering mengaduk-aduk vaginaku.

“oochhh..achhgghh…masss akuhhmm mauhh nyampeee”, suaraku terputus putus menyambut gelombang orgasme kedua.

“bareng sayaang,,,,,akhhh…..masss sampeeeee”, Mas Hendro mengerang keras, sepertinya dia juga mencapai orgasmenya.

“aku jugaa mass…akkhhh….enaaakghhh”, secara bersamaan kami mencapai puncak. 

Selanjutnya hanya terdengar suara nafas kami yang saling memburu. Cukup lama kami saling diam hingga nafas kami mulai mereda. Hanya hembusan nafas berat mas Hendro yang terdengar dari seberang telepon.

“gimana mas? Udah lega sekarang?”, aku mulai membuka pembicaraan setelah agak tenang.

“mas lega banget sayang, capek juga….makasih ya sayang, kamu sendiri gimana? Enak gak?”

“enak banget mas, aku sampai keluar dua kali”, ucapku, pipiku memerah.

“hmmm…klo gitu udah dulu ya sayang, mas mau bersih-bersih dulu”, ucap mas Hendro lagi.

“iya mas, aku juga mau mandi lagi nih, mas abis bersih-bersih langsung istirahat ya, biar besok berangkat dari sana badannya fit”

“iya sayaang, tunggu mas yaaa”

“sampai besok ya mass,,muachhh…”

“iyaa selamat istirahat sayang..muaachhh”, mas Hendropun menutup teleponnya. 

Ardo melepas penisnya, penisnya masih tegang karena belum sekalipun orgasme. Dia berbaring disebelahku dan mendekap tubuhku erat. 

“yakin masih ingin mengakhiri hubungan kita?”, kata-kata Ardo sontak membuatku ingat pada pembicaraanku dengannya diawal tadi. Teringat lagi bayangan mas Hendro, teringat lagi tulisan Dian yang tadi kubaca. Pikiranku mulai berkecamuk, rasa bersalah dan rasa nikmat yang tadi kurasakan berputar-putar dipikiranku. 

“entahlah”, akhirnya jawaban itu keluar dari mulutku. Entah kenapa aku selalu takluk dengan penis besar dan permainan cinta Ardo. 

“Hany sayang, ada ataupun engga video itu kamu akan tetap butuh aku karena kamu udah ketagihan dengan kontolku ini”, bisik Ardo ditelingaku. Tanganny mulai bergerilya lagi di dadaku. Dia senang banget bermain-main dengan payudaraku. 

“ehmm…”, aku hanya melenguh. Ardo menggiring tubuhku menaiki tubuhnya dan dia mulai membimbing penis besarnya itu untuk kembali bersarang di vaginaku. Dengan cukup lancar penis itu kembali masuk kesarangnya. 

Kemudian Ardo mendekap tubuhku cukup kuat hingga dadaku menghimpit dadanya. Vaginaku segera merespon penisnya dengan mengeluarkan cairan-cairan. Aku heran karena Ardo tidak segera mengocok penisnya divaginaku. Akupun berinisiatif dengan menggerakkan pinggulku, tetapi Ardo segera menahan pinggulku. 

“kamu udah sadar kan?!, kamu butuh penis besar ini untuk memuaskan nafsumu”, ucapan Ardo membuatku malu.

“mulai sekarang jangan pernah lagi berpikir untuk mutusin hubungan kita karena itu tak akan pernah terjadi”, ucap Ardo lagi. Aku hanya diam tak menjawab. Vaginaku mulai terasa geli karena penis besar Ardo. 

“Do, lepasin penisnya yaa, ngiluu”, ucapku sambil menggigit bibirku menahan rasa geli. Ardo menggeleng.

“klo gamau dilepas, goyang dong…ga tahan nih”, ucapku lagi. Jujur penis ini benar-benar membuat vaginaku berkedut-kedut minta disodok lagi.

“engga, aku maunya gini aja semalaman, ini hukuman buat kamu biar besok-besok ga kepikiran lagi buat mutusin hubungan kita”, ucap Ardo.

“tapi dooo…geeliii…..”, ucapku merengek. 

Ardo menatapku tajam, dan sedetik kemudian bibirnya langsung menyerang bibirku yang dengan pasrah membiarkan lidahnya menari-nari disana. Lagi-lagi nafsu berhasil menundukkan ku. Tanpa sadar air mataku menetes. Hatiku menolak tetapi tubuhku seolah mengkhianatiku. Aku benar-benar seperti budak yang tidak berkuasa atas dirinya sendiri. Oh Tuhan, aku sudah benar-benar menjadi budak nafsu pacar anakku. Ya Tuhan, bantu aku menyelesaikan semua ini. ** Tamat **

Bonus Bokepnya Klik Tombol Dibawah

No comments for "Budak Nafsu Pacar Anakku Bag.10 [What really happened? ~ Tamat]"