BUDI HARTAWAN The TRILOGY (BU SISKA, IBU ANGKATKU) 1


Keesokannya saat sedang belajar di kelas, aku menjadi tak konsentrasi. Pikiranku berkecamuk dan bertanya-tanya apa yang akan dikatakan oleh ibu angkatku itu nanti. Beberapa item pelajaran bahkan tidak sama sekali masuk dalam otakku, padahal sebulan lagi kami akan menghadapi ujian akhir yang akan sangat menentukan koordinat arah pendidikan tinggi yang diinginkan. Akhirnya jam satu siang tiba juga, aku yang biasanya menunggu Rani untuk pulang bersama (karena kami pakai satu mobil antar jemput yang sama) kini harus berbohong dengan mengatakan bahwa aku harus ke tempat temanku yang lagi sakit keras dan absen beberapa hari. Rani memang tak satu kelas denganku, jadi ia tidak mungkin tahu hal itu, dan ia selalu percaya padaku.

Taksi membawaku menyusuri jaran lebar dan padat di Kawasan Thamrin, memasuki sebuah gedung pencakar langit, mungkin yang tertinggi di Jakarta. Aku sampai juga di kantor ibu yang ada di lantai 28 gedung itu. Seorang petugas keamanan rupanya sudah dipesan untuk mengantarku dari loby ke ruangannya yang luas. Masih dengan seragam sekolah lengkap dengan tas pundak penuh buku, aku masuk dengan perasaan yang masih bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan ibu angkatku ini.

Pintu ditutup perlahan dan dengan penuh hormat, satpam perusahaan tadi pamit melangkah keluar ruangan ibu. Tinggal aku dan dia di dalam ruangannya.

“Duduk dulu Bud, ibu ke toilet sebentar,” katanya menyambutku dengan nada datar sambil berlalu membuka pintu kamar mandi yang ada disana. Tinggal aku yang masih termenung menebak-nebak apa yang akan dibicarakan ibu denganku. Namun hanya 5 menit kemudian ibu sudah keluar dari kamar mandinya, dengan senyuman yang penuh misteri ia langsung duduk disampingku, memeluk, hal yang sangat biasa ia lakukan terhadap satu-satunya anak angkat pria yang ia miliki ini.

“sebenarnya ini bukan kehendak ibu untuk membicarakannya, tapi sebagai orang tua, ibu merasa tertuntut untuk mengajak kamu musyawarah,” itu kata pembuka dari ibu setelah mendaratkan ciuman hangat di pipi kananku.

“dan karena kedekatan kalian, ibu merasa tak ada orang lain yang lebih berhak untuk diajak bicara tentang Rani selain kamu, sebab kamulah orang yang paling dia sayangi saat ini,” lanjut ibu. Tangan kanannya masih merangkul pundakku. Sebuah cara yang selama ini yang menunjukkan bahwa aku adalah anak lelaki kesayangannya.

“jadi ini tentang Rani, Bu? Tapi kenapa ibu bilang ini rahasia kita berdua? Saya bingung,” jawabku sambil menundukkan kepala kearah dada ibu.

“ini memang pendapat ibu sendiri yang ibu pikir tak boleh diketahui oleh Rani, dan ibu melakukannya karena ibu tahu kalau Rani sendiri takkan sanggup mengatakannya kepada kamu,”

“tentang apa sih bu?” aku tambah tak mengerti. Giliran aku memeluk pinggul ibu. Kami jadi berdekapan.

“ini tentang pendidikan Rani, sejak SMP dulu, dia ingin sekali melanjutkan pendidikannya di luar negeri………,”

“Haaah !!!” aku terhenyak kaget. Tapi ibu yang mempererat pelukannya, kini malah membelai lembut kepalaku yang bersandar di dadanya.

“Reaksi kamu itulah yang ditakutkan oleh Rani, dia sangat sayang sama kamu tapi kamu kan tahu juga kalau dia itu orangnya sangat haus ilmu, kalian punya kemiripan. Sama-sama haus ilmu, sama-sama anak pintar dan itu membahagiakan ibu,”

“jadi Rani takut mengatakan ini kepada saya langsung, bu? Kenapa?”

“Rani takut mengecewakan kamu dan ibu,”

“apa hubungannya bu? Bukankah saya akan selalu menemaninya kemanapun?” aku memotong sebelum ibu melanjutkan.

“Ia ibu tahu itu, tapi Rani juga memikirkan ibu yang akan ditinggal sendiri disini, dia sangat memikirkan keadaan ibu disini sehingga merasa kasihan kalau harus meninggalkan ibu sendiri disini,”

“ah…saya baru mengerti bu, jadi Rani takut ibu kesepian tidak ada yang menemani disini kalau saya juga ikut ke luar negeri, tapi….hmmmm, gimana ya? Sulit juga masalahnya, saya juga tidak tega kalau harus membiarkan ibu sendiri disini, saya merasa wajib menjaga ibu….,”

“terimakasih sayang, itulah masalahnya, ibu pasti kesepian jika ditinggal sendiri, tapi ibu juga tidak boleh menghalangi niat anak-anak ibu untuk mendapatkan pendidikan yang kalian inginkan. Jadi ibu bingung……, ibu sangat menyayangi kalian, ibu pikir tak akan sanggup jauh dari kalian,” kembali ibu mencium pipiku.

“jadi bagaimana solusinya Bu? Saya rasa Rani juga berpikiran sama dengan ibu, dia pasti tidak mau meninggalkan ibu sendiri disini,”

“tapi Rani juga sangat sayang pada kamu…..dan dia pasti sedih kalau…mmmmm,”

“kalau apa bu? Kalau kami berpisah?” aku tahu arahnya meski ibu canggung sekali mengatakannya.

“itu juga masalah, Bud. Kalian sudah sangat dekat, Rani sepertinya takut kalau kalian jauh, kamu akan……” ibu tak melanjutkan. Canggung lagi rupanya, karena jelas itu adalah tuduhan untukku.

Aku juga termenung sesaat memikirkan hal itu. Bagaimana tidak, aku dan Rani sudah layaknya suami istri, bagaimana hari-hariku tanpa Rani? Apa iya aku bisa tahan rasa kangenku pada “istriku” itu? Apa iya aku sanggup hanya membaca emailnya saja? Dan apa iya aku sanggup menahan rasa ingin melakukan “ritual rutin” kami? Ah aku bingung juga! Sepertinya ibu membaca pikiranku.

“yang paling ibu takutkan adalah kalau hal ini sampai merusak hubungan pribadi kalian, bud. Ibu tidak mau itu terjadi, ibu sangat berharap hubungan kalian ini bisa dipertahankan…..,” berhenti lagi. Ibu yang sekarang menaikkan kepalaku dari dadanya, dengan telapak tangannya yang lembut ia mendongakkan wajahku kearahnya seolah meyakinkan aku untuk secara tegas menjawab pertanyaannya. Akupun semakin mengeratkan pelukanku di pinggang ibu. Sesaat kami saling diam sambil menatap, dengan pandangan penuh misteri. Aku yang kemudian memindahkan pelukan tanganku ke pundak ibu. Kepalaku bersandar di pangkal lehernya, menghindari tatapan ibu.

“Ayo, sayang, putuskan sekarang. Apakah kamu mau meninggalkan ibu untuk menemani istrimu? Atau kamu nggak tega meninggalkan ibu dan memilih menemani ibu dan melanjutkan kuliah disini?”

“siapa yang akan menjaga Rani disana Bu?”

“kan ada Rina, daftarnya juga di Universitas yang sama…..,”

“Ooo, begitu….” Aku terdiam lagi. Membayangkan “istriku” yang kurang dua minggu lagi akan meninggalkanku.

“saya yang takut kehilangan Rani, Bu. Saya memang tidak bisa melupakan Rani, tapi apa iya Rani juga begitu?”

“sebenarnya pertanyaan itu juga yang ada dalam benak Rani, kalian memang saling menyayangi, Rani juga takut kehilangan kamu, dia takut kamu berpaling dari dia,”

“ah…nggak ada alasan…..,” kataku keluar setengah bergumam sambil mencium pipi kanannya.

“ih anak ibu, kamu tuh nggak PD banget sih? Liat tuh di cermin, hmm…cakep kan? Perempuan mana sih yang nggak mau sama kamu?” ibu mencubit kedua pipiku dan mengarahkan wajahku kearah cermin lebar di salahsatu dinding ruangan.

“iih ibu, bikin GR aja….,” aku berpaling kearahnya dan mencubit, bukan di lengannya seperti kebiasaanku kalau bercanda. Tapi di pantatnya, cukup keras karena aku gemas juga.

“auuuu….sakit sayang!!” ibu menjerit, menatapku lucu sambil memonyongkan bibirnya,

“hehehe….ibu cantik deh kalau monyong begitu,” candaku.

Tangan kiri ibu meraih remote control audio dari atas meja kerjanya, tangan kanannya menarikku untuk berdiri, aku manut saja. Ibu menyalakan audio ruangan itu, jadilah kami berdansa pelan diiringi beberapa symphony bethoven & mozart yang romantis.

Aku memeluk pinggulnya dan ibu mendekap erat dadaku keatas sehingga otomatis dada besarnya tersaji sedikit dibawah daguku. Bu Siska memang lebih tinggi 3-4cm dari aku. Entah karena romantisnya dansa kami atau gerakan ibu yang kadang menggoyang dadanya itu, penisku yang sedari tadi tidur itu mulai beranjak bangun dan mengeras hingga menimbulkan cembungan yang rupanya dirasakan juga oleh Bu Siska. Tapi ia diam saja, saat aku membuka mata malah kulihat ia terpejam seperti menikmati suasana itu. Pinggulnya justru semakin sengaja digerakkan menggesek cembungan ditengah selangkanganku itu.

Aku bingung harus bagaimana, apalagi aku adalah tipe pria yang cepat sekali terangsang. Biasanya kejadian semacam ini hanya berlangsung sesaat saja dan ibu langsung mengelak kalau menyadari aku mulai terangsang. Tapi inikali berbeda, ibu malah semakin membiarkan dadanya menggencet ketat di badanku bagian atas. Adakah ini berarti Bu Siska juga sedang birahi? Sudah beberapa bulan, hampir setahun setahuku ibu tak mendapat sentuhan lelaki.

Ditengah batinku bertanya-tanya tentang keanehan itu, tiba-tiba ibu membuka matanya. Lalu entah apa yang menggerakkan wajah itu mendekat ke arah bibirku. Aku masih penasaran dan bingung, kukecup pipi kirinya, namun wajahnya seakan mengarahkan gerak yang lebih sensual dari biasanya, telapak tangannya kini mendekap kedua pipiku.

Aku terdiam, memejam, hanya sesaat setelah itu kurasakan sebuah kelembutan menyentuh bibirku, aku pasrah saja tak berani menolak, tak hanya sampai disana. Sekujur badanku merinding merasakan gejolak aura lidahnya yang berusaha memasuki rongga mulutku, bibirnya menjepit bibirku. Aku biarkan saja ketika bibir itu kini berhasil menjepit dan menyedot lidahku. Pikiranku masih berkecamuk antara percaya atau tidak terhadap apa yang kami lakukan saat ini. Bu Siska sudah mulai mendesah, terdengar nafasnya mulai memburu. Dekapan tangannya di kepalaku sudah terlepas, entah kapan dan aku tak menyadari ketika membuka mataku, belahan jas kerja Bu Siska ternyata sudah terbuka, sebelah tangannya menuntun tanganku kearah gundukan payudara berlapis BH putih berenda yang ukurannya my God, diatas rata-rata!

“ Bu…..mmm,” aku mencoba bicara namun secepat itu pula ia kembali menyumbat mulutku dengan sebuah ciuman. Lebih ganas dari sebelumnya, Bu Siska sudah tidak lagi menahan desahannya. Kali ini ikat pinggangku ia lepaskan, lalu zipper celana sekolah itu dan tasss….celana abu SMA itu melorot sampai setengah paha.

“Ibu….please….,” aku kembali bicara. Tapi tanganku malah memberi remasan lembut pada buah dadanya.

“terussskan sayang aaauuuffffhhh…..,” hanya itu yang terdengar dari desahannya yang semakin keras saja.

Aku jadi tak berani lagi bicara, kubiarkan ibu bertambah liar dengan melukar pakaianku. Dan kalaupun aku mampu menolak, hal itu tidak akan aku lakukan. Karena beberapa saat kemudian otakku mulai dikuasai oleh egoisme birahi yang seakan bersorak; “Ayo, Bud, setubuhi perempuan cantik didepanmu!!! Bukankah selera seksualmu lebih besar pada wanita paruhbaya seperti ini???” Dan kapan lagi kamu akan membalas jasa Bu Siska yang telah memberimu kehidupan mewah seperti ini???

Petanyaan-pertanyaan tadi seperti menuntun tanganku untuk lebih jauh menuruti nafsu Bu Siska yang sudah pasti tidak dapat lagi dibendung. Seperti mencari pembenaran atas kejadian itu, batinku yang lain menjawab; “sudah lah, Bud. Nikmati saja. Bukankah kamu juga tak kalah sayang pada Bu Siska? Kamu juga mencintainya kan? Lupakan sejenak istrimu itu, dua lebih baik daripada satu dan yang ini adalah kunci masa depanmu!!!” Aku tak mampu lagi berpikir logis, segala bayangan tentang Rani hilang entah kemana, yang ada kini adalah kemolekan tubuh calon mertuaku, ibu angkatku yang mungkin juga akan segera jadi kekasih gelapku!!!

Pakaianku terlepas sudah seluruhnya, tak tahu kapan Bu Siska mempretelinya dari tubuhku. Aku telanjang dan terduduk di sofa panjang ruang kerja yang luas itu. Kupejamkan mata, tak berani melihat Bu Siska yang baru saja beranjak dari mengunci pintu ruang kerjanya. Kulirik sedikit, bak penari striptease, dari arah pintu ia berjalan sambil melepaskan satu persatu pakaian yang melekat di tubuhnya. Uhhfff….kini aku yang terbelalak, sebelum melepaskan roknya, Bu Siska sudah melepas celana dalam putih, dan sesampainya didepanku dengan sekali langkah tubuh montok dan sedikit gemuk itu terpampang jelas di depanku. Berjongkok tepat dihadapan tempat aku duduk, lalu kembali memeluk. Aku yang menyambut dengan ciuman penuh kerinduan. Kunikmati bibir Bu Siska yang terus mendesah. Tanganku meraba dan sesekali meremas bongkahan payudara besarnya. Memilin putingnya bergiliran, lalu mencium dan menjilati lehernya.

“aaauuuuhhh…… sssssshhhhh aaaahhhh…. hmmmmm… oooohhhh..terussss saaayaang.. ohhhh,” hanya desahan itu yang bisa diucapkannya. Tangan kiri Bu Siska meraih batang kemaluanku dan meremas lembut.

“ooooohhhh……..Bu…..ssshhhh…aaaauuhhhh,” desahanku juga mulai keras. Kami semakin liar.
Kutarik tubuh ibu ke sofa. Ia berbaring sambil tersenyum, sepertinya mengundang aku untuk segera memuaskan dahaga asmara yang sesungguhnya terlarang itu. Baiklah, ibu angkat, aku bertekat akan membuatnya berteriak-teriak dan memohon supaya aku segera, lagi dan lagi menyetubuhinya, akan kubuat calon mertuaku ini mengemis untuk dipuasi oleh calon menantu sekaligus anak angkatnya ini!!! Akan kusetubuhi engkau dengan keras…!!!! Dan sekarang terimalah birahi anak angkat ini!!! Bersiaplah untuk menampung cairan sperma yang biasanya hanya ditampung oleh anakmu itu!!!

“Ayo…sayang, kemari, sentuhlah ibu, ibu mau sayang ayooouuuhhh….,” kali ini ibu memohon agar aku segera menindihnya.

Tapi nanti dulu, batinku, bukankah ibu mau dipuaskan lebih dari apa yang kuberikan pada anakmu?

Aku meraba pangkal paha Bu Siska, sudah basah dan becek disana, kasihan ibuku ini, mungkin delapan bulan ini pemenuhan birahi tak sebanding dengan produksi sel telurnya. Aku merunduk disitu dan dengan buas langsung membuka pahanya, menjulurkan lidahku dan menjilat permukaaan vagina yang berbulu sangat lebat itu.

“Oooowwwhhhhh…..yessss…..sayaaangggg….aaaahhhh….sshhhhhhhh,” teriaknya kegirangan.

Jari-jariku sibuk mengucel-ucel bibir kemaluannya, lidahku terus menusuk-nusuk dan membelai dinding kemaluan wanita paruhbaya yang ternyata tak kalah menariknya dengan istriku itu. Sesekali bibirku menggigit pinggiran bibir kemaluan yang cembung, tembem nan gemuk itu, memberikannya sensasi kebuasan birahi anak angkatnya yang polos ini.

“aaauuuwww……. uuuoooooohhhh geliiiiiiii…… sssshhhh… naaakaaallll…. kamu sayang…… aaaaaaahhhhhhh!!!,” jeritnya saat aku menggigit biji klitorisnya yang membengkak karena rangsangan hebat itu. Aku tak peduli lagi pada teriakan histerisnya, aku juga yakin dinding ruangan itu sedemikian tebalnya sehingga kalaupun ada yang menembakkan pistol disini pasti akan terdengar sayup-sayup saja di luar sana.

“oooooohhh… yeeesshhhhh… gigit sayang ooohhh gigit lagi yaaahhh…..,” ia malah minta aku meneruskan mengulum biji clitorisnya. Aku asik saja, cairan yang terus semakin deras mengalir dari liang vaginanya habis kusedot dan kuminum. Seperti daerah vagina milik Rani, kemaluan Bu Siska juga tampak sangat terawat. Tak tampak noda kotor setitikpun pada bagian itu. Hanya saja baru kali ini aku mengetahui bahwa ternyata lebatnya bulu kemaluan Bu Siska membuat penialainku pada bentuk vaginanya lebih baik dari milik istriku itu!

“Ayo sayang, setubuhi ibu sekarang, hooooouuuhhh…. ibu sudah ngga tahaan….,” pintanya memelas. Aku menuruti meskipun biasanya kalau melakukannya dengan Rani, tentu aku minta di-karaoke dulu sebagai imbalan aku menjilati vaginanya. Tapi kali ini aku canggung untuk meminta, karena dalam keadaan begini aku masih menaruh rasa hormat pada ibu angkatku itu.

Kuambil posisi diatasnya, Bu Siska mengangkang, sebelah kakinya menjuntai jatuh, sebelah lagi dinaikkan ke sandaran sofa. Kemaluanku memang sudah keras sejak tadi, kini sudah menempel dan siap masuk dan mengoyak bibir vagina Bu Siska. Telapak tanganku memegang kedua buah dada besar miliknya dan seketika ia menarik pinggulku mendekat. Lalu dengan keras aku menghujamkan penisku sejadi-jadinya dan sreeeeppp….bleesssss……. untuk pertamakalinya aku merasakan sensasi menyetubuhi wanita paruhbaya yang selama ini mengasuhku itu.

“aaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhh……….,” jerit Bu Siska keras sekali sampai menghentikan tusukanku yang baru masuk itu.

“uuuffff…kenapa bu?” aku kaget juga.

“punya kamu besar sekali, uuuuhhhh…..ibu nggak pernah mengalami dimasuki segede ini sayang….. coba yang pelan, ibu agak nyeri,” katanya masih mendekapku dengan nafas yang terenggah-engah. Sepasang kakinya mengikat pinggulku hingga penisku tertahan didalam.

Kuberikan ia ciuman untuk merangsang nafsunya, bibirku menyedot putting susunya, dan beberapa detik setelah itu jepitan kakinya melonggar. Tangannya malah menuntun pinggulku naik turun secara perlahan. Bu Siska mulai mendesah dan menikmati goyanganku.

“Oooouuhhh… sayaaaangggg….. ooooouuhhh… besarnya aaauuuuff….. tariiiikhh aaaaahh enaaaakkkhhhh……. teeekaaaan lagiiihhh aaaahhhh niiiiikmaaaattttt…. uuuuhhhh, yang pelan sayaaaaanggg oooouuuffff…. enaaaknyaaaahhhh….. ooooooohhhhhh, saayaaaang…..,” tak henti-henti ia memuji kenikmatan dari penis besarku yang kini menggesek dinding-dinding vaginanya. Aku juga sebenarnya tak kalah nikmat. Apa yang selama ini kurasakan dari Rani memang enak, tapi sensasi kenikmatandari liang vagina dan tubuh montok Bu Siska memberiku pelajaran berharga bahwa ternyata kepiawaian dan pengalaman lebih mampu menciptakan sensasi kenikmatan yang lebih dahsyat ketimbang ukuran sempitnya liang vagina. Hehehe itu teori baru!

Aku terus menggenjot dengan perlahan dan teratur, Bu Siska membuat suasana romantis dengan memberi ciuman mesra bertubi-tubi, mengulum bibirku dengan sepenuh hati. Matanya yang terpejam semakin mengguratkan warna kecantikan alami seorang ibu. Akupun terlena dengan pesona itu, baru aku sadar bahwa ternyata kecantikan ibu angkatku ini benar-benar luar biasa, bahkan kalau mau jujur, Bu Siska jauh lebih cantik dari kedua anaknya. Rasa nikmat dari pertautan kelamin kami terus menjalari seluruh urat sarafku, memenuhi rongga sanubariku dengan berjuta kenikmatan biologis. Tak terasa waktu berlalu hampir tigapuluh menit. Pelukan kaki dan tangan Bu Siska di pinggangku yang semakin erat dan tiba-tiba itu menunjukkan tanda sesaat lagi ia akan mencapai orgasme.

“uuuuuuffff…..sayaang, boleh hhhhhh….ibu…hhhh minta diatas?” pintanya setengah mendesah. Aku mengerti dan segera menghentikan kocokan penisku di vaginanya.

“ooooouuuuhhhh……baaaiiikkkk…aaahhhh…Bu,”

Kali ini aku yang berbaring, Bu Siska langsung mengangkangi pahaku, liang vaginanya yang sudah becek itu menganga tepat diatas kemaluanku yang mengacung-acung seperti tak sabar ingin segera masuk. Punggungku bersandar pada sofa sehingga dengan mudah mulutku meraih putting susu Bu Siska yang sedang berusaha memasukkan kembali penisku kedalam vaginanya. Saat sedang asik meremas dan menghisap putting susu Bu Siska itulah dengan cekatan ibu menggenggam penisku dan mengarahkannya tepat di bibir kemaluannya dan sreeep bleesss…..

“aaaaahhhhh……. nikmatnyaaaaahhh…. aaahhhh…. Saaayaaanggg ….ooouuhh..,”

“mmmmhhhhh… ibuuuu… aaaaauuuhhhh… enaaaakhhhh… sshhhhh,” jeritku tak kalah seru dengan jeritannya. Bu Siska yang kini asik menaik turunkan pinggulnya untuk meraih kenikmatan dari gesekan relung kelaminnya. Sesekali gerakannya berubah dari turun naik menjadi maju mundur, lebih nikmat lagi saat ia memutar-mutar dengan poros kelaminnya yang terpaut dengan penisku. Alangkah sensualnya ketika aku melirik kearah kelaminku yang terjepit bibir vagina Bu Siska yang ikut keluar masuk dan membelai, vagina itu penuh sesak oleh buah pelirku yang berukuran diatas rata-rata.

“hooohhh….. saaayannng…. kamuhh masih aaahhhh lama aauuufff sayaaaang?”

“Iyaaah Buuuhhh, ooohhh kenapaaahhh, aaaahhh, enaaakkkhhh ooohhh,”

“Ibuuu…ooooohhh sudaaahhhh… mmmmhhh nggaa….kkhh... tahaaan, ooohhf yeeessss…. ooooohhh… punyaaaahh kaaaamuuuhhh mennttookkhh di rahim ibuuh ….auuuhhhh ibuuu ngggaaaaaa…. aaaaakkkhhhh tahaaannnnn …oohhh…ohhh …ooohh ….ooohhh …yyaaa …yaaa.. uh uuuhhh …..ibuuuu ….ngaaa …tahhhaaaann.. oooooohhh…..,” lolongnya panjang sekali seketika tiba-tiba ia menggenjot keras, semakin cepat, dan rupanya mengalami orgasme yang dahsyat.

“Reeeeeeeemeeeeshhh…. suuuuusuuuu…. iiiibuuuu sayaaaanngg... ooouuhhhh, remassh terussshhhh Buudddiiii… aaahhhhh….. ennaaakkkhhh iiiibuuuu nggaaaaaa taaaaahaaannn… ibu keluuuuuaaaarr.. keeeelllllluuuuuaaarrr …hhhhaaaaahhhhhhh…… yesssssshhhhhhh,” jeritan diiringi hempasan keras pangkal pahanya kearah penisku. Aku yang sudah tahu hal itu dari kebiasaanku dengan Rani segera memberikan remasan yang keras pada kedua buah dada Bu Siska.

Kira-kira semenit kemudian badannya jatuh menimpaku. Nafasnya tersenggal-senggal, tubuhnya lemas lunglai terkapar. Kelaminku yang masih keras mengganjal dalam vaginanya yang banjir.

“ooouuhhhh….sayang, kamu belum keluar? Maapin ibu ya, Bud. Ibu egois, maklum sudah delapan bulan lebih ibu tidak merasakannya,” Bu Siska mulai berbicara setelah nafasnya agak teratur.

“Nggak apa-apa Bu, yang penting ibu puas dulu,” aku menciumnya

“Jangan gitu dong, sayang. Beri ibu kesempatan beberapa menit lagi ya? Ibu akan buat kamu puas sebentar lagi,” ia balas mencium mesra.

“Kamu kok bisa lama ya, sayang? nggak nyangka kamu sekuat itu,”

“Ngga tau Bu, mungkin karena saya suka dan sayang ibu...”

“ahhh…masa? Bisa aja kamu sayang, benar suka sama ibu? Suka apanya ayo?”

“Suka yang ini,” jawabku singkat sambil menerkam buah dadanya. Mungkin benar karena buah dada ini aku jadi begitu semangat, ukurannya yang besar dan ranum dengan bentuk yang sangat menantang itu membuatku jadi merasa lain saat ini, apalagi dengan “penemuan” bahwa ternyata wajah ibu jauh lebih cantik dari kedua anaknya itu. Atau aku memang punya selera yang lebih pada wanita STW seperti Bu Siska? Entahlah... batinku berkata.

Gara-gara sensasi STW itu, tanpa sadar penisku bangkit lagi, berkedut-kedut didalam sana. Ibu rupanya merasakan juga.

“Say, bangun lagi tuh….Ibu sudah siap nih, yuk,” ajaknya seraya melepas gigitan vaginanya pada penisku. Cropss…aku terhenyak.

“Duuuhhh…besarnya sayang, pantas tadi punya ibu rasanya hampir robek,” ujarnya sambil menggenggam batang penisku. Ia terus memujinya dan mengocok lembut.

“Ayo dong, Bu, nggak tahan nih,” ajakku. Aku berdiri dibelakangnya, maksudku agar Bu Siska menunduk dan aku masuk dari belakang. Rupanya ia mengerti. Kakinya dilebarkan dan tangannya menjangkau sandaran sofa. Bu Siska menunduk dan tampaklah belahan vagina wanita paruhbaya itu menganga ke belakang. Sejenak aku sempatkan untuk menjilatinya, tak tahan dengan pemandangan yang menggoda birahi.

“aaaduuuhhh sayaaang, ayo dong masukiiin, ntar ibu keluar lagi lho?”

aku tak menjawab, tapi langsung meraih pinggulnya dengan tangan kanan, tangan kiriku mengarahkan kepala penisku menuju liang vagina yang merah itu dan sreeeeppp….

“uuuuhhhh…..kocok yang keras sayang, ibu mau yang keras aaaahhhhhh,”

aku menuruti apa maunya, kusodok sekuat tenaga, kutarik hingga hampir lepas, Bu Siska memundurkan pantatnya seperti tak rela melepaskan penisku, tancap lagi terus begitu berulang-ulang sehingga menimbulkan decakan yang cukup keras, plaak..plak…plak…plak…sreeepp….. plaak….sreeep…crreeekkk….

Sekitar sepuluh menit kami melakukannya dengan posisi itu sampai ibu bilang lelah berdiri. Kuminta ia duduk santai dan bersandar di sofa lalu dengan segera kukangkangkan kakinya dan segera menusuk keras dalam posisi setengah berdiri. Tanganku sibuk dengan kedua buah dada besar itu. Sesekali aku menunduk agar dapat menjangkau susunya untuk menyedot. Bu Siska mendesis dan mendesah kegirangan. Cairannya semakin membanjir.

“Aooooohhhh…. yessshhh… yesss… genjooot yaaang kerasshhh saayaaang,”

“ooouuhhh buuu…. iiiibuuuuu…. aaauuhhh ennnnaaaakhhh nyaaaahhh… ssshhhh, sayaaa…. hhhhaaaaaahhh haaaammmmpiiirrr ooouuffff………,”

“iibuuuu juugaaaaa aaaahhhhh haaampiiirrr saaaaa…..yyyyaaaaangg …aaahh yyeeeesss…. oooohhhh niikkkmaatnyaaaahhhhh… yeeessss.. yeeesss yeeesss,”

selama sepuluh menit kemudian akupun mulai tak dapat menahan, sarafku menegang, meluncur ke satu titik di ujung penis, dan…

“oooooohhhhhhhhh…………….,” aku rebah menimpa ibu dan memeluknya, mengujamkan kemaluanku sejadi-jadinya. Mentok didalam sana hingga dasar liang vagina ibu dan berteriaak panjang.

“aaaaaaaaaaahhhh... yeeeeeesss… keluuarr... buuuuuu….. oooohhh yess …oooohhh,” aku berteriak histeris sambil menyemprotkan banyak sekali cairan sperma kedalam rahimnya. Ia pun demikian. Kakinya menjebit keras, tangannya menjambak rambutku, dan giginya mengatup rapat.

“aaahhh ibuu juuuu gaaaaahhh… kelluaaaarrrr ..laaggggii ooooooohhhhhhhh… yeeeshhhhhh…,”

Ibu mendekapku erat, aku ambruk keatas tubuh montoknya. Kami sibuk mengatur nafas masing-masing.

Pelan-pelan kulepaskan penisku yang mulai melemas, Bu Siska masih memejamkan mata, kelelahan rupanya.

“Luar biasa sayang!!”

“Trims Bu, ibu juga luar biasa nikmat….” aku menciumnya, lalu beranjak memunguti pakaian kami yang berserakan, kutumpuk diatas meja tamu ruangan.

“Mau kemana sayang?”

“mandi, Bu. Penat,”

“ibu boleh ikut?”

“Boleh,” aku mengulurkan tangan dan membimbingnya ke kamar mandi.

“Kamu tadi benar-benar hebat,” tak habisnya dia memuji.

“Pasti kalau sama Rani, bisa lebih dari itu ya?” seketika Bu Siska menyebut nama istriku, aku jadi tersadar apa yang aku lakukan tadi.

“Bu? Please….jangan sebut nama Rani dulu, saya masih shock,”

“Eh iya, maaf….. Ibu juga nggak ngerti kenapa kita bisa seperti ini ya? Mungkin ibu yang terlalu sayang sama kamu sehingga ibu lupa kalau kamu adalah suami anak ibu,” katanya meralat sambil memberiku ciuman.

“Nggak apa-apa Bu, saya juga tadi salah nggak bisa menahan nafsu, bagaimana kalau Rani tahu hal ini?” kami masuk ke bathtube yang sudah terisi air hangat. Sambil berendam dan menyabuni tubuh montok Bu Siska.

“ibu mau terus terang sama kamu, Bud. Tapi jangan marah ya? Ibu harap kamu mau memenuhi permintaan ibu ini,” katanya, tangan Bu Siska menggenggam penisku yang menyisakan sedikit ketegangan pasca klimaks tadi. Sementara tanganku asik mempermainkan buah dadanya, bukan menyabuni, tapi meremas-remas. Gemas aku dibuatnya karena bentuk dan ukurannya.

“Mana mungkin saya marah sama ibu, ibu kan sudah sedemikian baik sama saya. Apa mungkin saya akan menolak keinginan ibu?”

“Tapi ibu mau ini datang dari hati kamu tanpa paksaan, Bud.”

“Tentang apa sih, Bu?”

“Tentang kita,”

“Maksud ibu?”

“Bud……,” kini ia meraih tubuhku sehingga posisiku jadi mendudukinya, ibu memangku aku yang bersandar di dada bersusu besar itu. Aku menurut saja.

“Sejak ibu punya masalah dengan mantan suami, ibu sangat mendambakan kehadiran pria yang benar-benar menyayangi ibu dengan tulus dan ihlas. Beberapa kali sejak mengetahui suami ibu berselingkuh dengan wanita lain, ibu juga menjajaki kemungkinan untuk mencari pengganti. Tapi apalah mau dikata, tiga orang yang pernah berkenalan dengan ibu tak satupun memenuhi syarat lelaki yang setia,”

Aku diam saja tak berani memotong. Takut ibu tersinggung.

Bonus Scene Sex

Klik Disini

No comments for "BUDI HARTAWAN The TRILOGY (BU SISKA, IBU ANGKATKU) 1"