Anak Badung Season 2 Bagian.19 [Rindu]
NARASI ISKHA
Aku tak menyangka Mbak Vira masih mencintai Mas Faiz. Dari cerita yang dia sampaikan. Aku jadi serba salah sekarang. Seharusnya mereka bisa bersama. Aku hanya sebagai penghalang saja rasanya. Mas Faiz akhir-akhir ini diam. Apakah dia juga galau? Aku tak mau mengganggunya. Mungkin beban dia sekarang terlalu banyak. Apalagi sebentar lagi Ujian Akhir. Dia pasti sedang konsentrasi belajar.
Aku sudah membujuk dia untuk pulang ke rumahnya, tapi pendiriannya tetap keras. Ia tak mau. Dia bahkan tak sudi lagi membicarakan keluarganya sendiri. Aku tahu bagaimana perasaannya terhadap keluraganya sekarang ini. Itu sudah cukup bagiku sebagai bukti kalau dia sangat mencintaiku. Aku tidak sensitif, minder. Iya, khususnya kepada Mbak Vira dan Faiz. Sudah jelas mereka berdua masih saling mencintai. Aku seperti berada di tengah-tengah mereka. Aku seperti jurang pemisah hubungan mereka.
Mas Faiz diam lagi ketika hari ini menjemputku. Biasanya ia banyak bicara. Apa yang sebenarnya terjadi kepadanya? Aku pun makin galau. Takut kalau ia kembali ke Vira. Takut kalau ia ingin meninggalkanku. Ketika aku diboncengnya kudekap erat dirinya. Mas Faiz, aku tak ingin kamu pergi.
Kami sampai lagi di kafe. Setelah memarkir sepeda motor kami masuk. Teman-teman bandku sudah menunggu. Aku menyapa mereka dan sedikit ngobrol sebelum memulai bermain musik. Mas Faiz bekerja lagi. Ia memang mengambil waktu kerjanya hanya untuk menjemputku setiap hari. Ini pun sudah membuatku senang. Tapi nggak enak juga kalau tiap hari seperti ini. Tapi dia memaksa. Aku tak bisa apa-apa. Mas Faiz langsung menuju ke meja yang ada pelanggannya. Mencatat pesanan dan segera mengantarnya. Mungkin kafe ini tambah banyak pengunjungnya karena ada orang seterkenal Mas Faiz kerja di sini. Tak biasa memang anak konglomerat yang harusnya hidup enak, mewah malah memilih jalan seperti ini. Dan itu semua demi aku.
Malam itu ada yang beda. Mas Faiz ingin bernyanyi.
"Emang bisa mas?" tanyaku.
"Aku gini-gini belajar juga lho. Sudah sebulan. Moga aja kamu suka," katanya.
"Jadi ini...."
"Ini aku persembahkan untukmu. Moga aja manajer nggak marah aku ngisi lagu," katanya.
Aku sedikit tertawa.
"Ayo Mas Faiz, kamu bisa," tampak Hani berseru kepadanya.
Dan dia pun mulai memainkan keyboard. Dia mengubahnya menjadi piano. Awalnya fals. Tapi ia kemudian minta waktu sebentar untuk menandai tuts keyboard itu. Lalu ia mulai lagi. Lagu ini...dia bisa memainkan piano walaupun tangannya tak luwes. Dan ia mulai bernyanyi....Eh...lagu Jepang???
Takaku dono kurai tonde ittara
Haruka tooku no kimi ga mienaku naru no?Hitomi soraseba raku ni naru no kamo shirenai Demo itsumo dokoka de mitsumete itaiWasureru koto nante deki wa shinai kara Nasu sube mo naku, sora wo miageteru dake. Maru de kago no naka no chiisana tori no you ni Mado wo sagashite atemo naku, samayotte iru.Ima sugu ni aitai kimi ga suki dakara Kizutsuku koto ga kowakute nigetai kedo Mienai shigarami ni tsubasa torawaretemo Soredemo kimi wa kanashii hodo taisetsu na hito.
Entah kenapa air mataku jatuh. Alunan musiknya...itu...membuatku menangis. Sepertinya ia ingin berpisah dariku. Mas Faiz...bicaralah kepadaku. APa yang ingin mas sampaikan???
Setelah itu disambut tepuk tangan oleh semua orang. Ia lalu menghampiriku yang menangis. Dia menghapus air mataku.
"Mas...mas ingin pergi?" tanyaku.
"Aku ingin kuliah di Havard. Aku dapat beasiswa kuliah di sana. Aku berat ingin menyampaikan ini kepadamu. Maka dari itulah aku diam. Aku persembahkan lagu ini untukmu, agar kau ingat kepadaku. Setelah ujian nanti aku akan pergi ke sana. Aku takut menyampaikan ini kamu jadi sedih," katanya.
Aku memeluknya. "Mas Faiz, katanya mas Faiz akan menemaniku terus. Kenapa Mas Faiz harus pergi?"
"Ini bukan perpisahan Iskha, aku pergi untuk kembali. Aku pasti kembali...," katanya.
Aku menangis di dalam pelukannya. Tak hanya itu aku mendekapnya lebih erat dari biasanya. Ia mungkin tahu perasaanku sekarang ini. Ia mengusap-usap rambutku. Ternyata ini yang membuat dia diam. Ia ingin belajar ke luar negeri. Mendapatkan beasiswa di Havard bukanlah hal yang mudah. Mas Faiz pasti belajar dengan keras untuk sampai seperti itu. Terus terang, aku terlalu berburuk sangka kepadanya. Ia masih mencintaiku.
"Janji mas tak akan melupakanku!" kataku.
"Aku janji, aku akan isi ponselku dengan lagu-lagumu. Agar aku ingat terus kepadamu," katanya.
***
Setelah ujian akhir nasional dan kelulusan. Hari itu pun tiba. Aku mengantar Mas Faiz ke bandara. Tak ada anggota keluarganya yang mengantar. Ia memang tak memberi kabar kepada mereka semua. Mas Faiz sudah bertekad untuk menempuh jalan hidupnya sendiri. Yang turut mengantarnya adalah aku, Erik temannya Mas Faiz dan Hani.
"Baik-baik di sana Bro, jaga diri. Moga sukses," kata Erik.
"Makasih Rik, lo emang sahabat gue yang paling baik," kata Mas Faiz. Mereka saling bersalaman dan berpelukan.
"Hati-hati ya mas," kata Hani.
"Jaga Iskha ya?!" katanya.
"Pasti, Mas sudah kuanggap sebagai kakakku," kata Hani.
Dia lalu berdiri di hadapanku. Dia menempelkan keningnya ke keningku. Hidung kami bertemu.
"Mas Faiz, aku akan sangat kangen sama mas," kataku.
"Harus dong, kamu kan pacarku," katanya menggodaku.
"Ihhh...malah digoda," gerutuku. "Serius nih."
Ia ketawa, "Iya, aku tahu. Sudah ya? Kalau lama-lama di sini aku nggak jadi berangkat."
"Bentar mas, yang lama," kataku manja.
Sudah tiga tahun ini Mas Faiz pergi keluar negeri. Ayahnya beberapa kali menemuiku. Aku menceritakan kalau Faiz sekarang berada di Havard atas usaha dan kerja kerasnya sendiri. Dia sangat bangga sekali. Terus terang hubunganku dengan ayahnya sangat dekat sekarang. Dia sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri. Ayahku pun mulai menjalin hubungan baik dengan Pak Hendrajaya. Kadang Pak Hendrajaya datang hanya untuk sekedar mampir minum. Beliau juga menawarkan diriku untuk membiayai kuliahku, tapi aku tolak. Bahkan uang 700 juta pemberian Kak Putri dulu aku kembalikan ke beliau. Tapi kata beliau itu untukku saja.
Karena aku juga menolak, akhirnya beliau berikan uang itu untuk orang-orang yang membutuhkan. Beliau pun menawarkan diri untuk menjadi orang tua asuhku. Bahkan karena saking terlalu baik, beliau tiba-tiba memberikanku kebebasan biaya kuliah. Padahal sudah mati-matian aku tolak. Aku hanya bisa menerima.
Di sini aku makin dekat dengan keluarga Hendrajaya. Aku pun terkadang pergi ke rumah mereka. Karena memang diminta Pak Hendrajaya untuk datang. Kadang diundang makan malam. Aku sekeluarga diundang makan malam.
"Oh ini Iskha ya??" sapa Bu Hendrajaya, suaminya Pak Hendrajaya. "Masuk nak!"
Aku hari itu memakai baju terbaik sih menurutku, gaun panjang berwarna gelap. Aku sebenarnya nggak suka pakai gaun. Aku cenderung tomboy. Menurutku celana panjang itu lebih aku sukai daripada rok ataupun gaun. Ayah dan ibuku menyalami Bu Hendrajaya dan juga suaminya. Aku melihat adik-adiknya Faiz di sana. Ada Icha dan Rendi. Di meja makan sudah menunggu dua orang. Ada Pandu dan Mbak Vira di sana.
"Silakan, silakan duduk!" perintah Pak Hendrajaya.
Kami pun segera duduk. Kami pun kemudian bicara banyak hal. Pak Hendrajaya orangnya ramah. Ayah dan ibuku senang bicara dengannya. Mas Pandu dan Mbak Vira hanya diam saja. Acara ramah tamah itu berlangsung agak kaku sebenarnya, tapi Pak Hendrajaya selalu memancing untuk bicara sehingga keadaannya sedikit lumer. Ada yang aneh sebenarnya, aku tak melihat Kak Putri. Di mana dia sekarang? Apa ia sudah tak tinggal di rumah ini lagi?
"Bagaimana kuliahmu Iskha?" tanya Pak Hendrajaya.
"Baik saja Pak, sudah mulai semester lima, semoga aja tepat waktu lulusnya," jawabku.
"Bagus itu, harus semangat. Jangan sia-siakan kesempatan ini," katanya.
"Bagaimana hubunganmu ama Faiz?" tanya istrinya.
"Kami masih sering kontak lewat email dan chatting," jawabku.
"Oh begitu, bagaimana kabar dia sekarang?" tanya Bu Hendrajaya.
"Baik bu, aku lihat dia sekarang agak gemukan. Katanya terlalu banyak protein, kepengen diet," jawabku.
"Oh ya? Hahaha. Ada foto terbarunya? Ibu ingin lihat," katanya.
Aku mengeluarkan ponselku. Kubuka gambar foto dia yang sedang bergaya di depan Havard. Kemudian kuserahkan ponselku kepada beliau. Bu Hendrajaya tampak terharu.
"Oh...Faiz," beliau mengusap-usap ponselku. Tampak kerinduan terpancar dari ibunya Mas Faiz ini. Mas Faiz benar-benar total tidak menghubungi keluarganya, putus hubungan. Dan akulah yang jadi perantara mereka. Mungkin karena itulah mereka sangat baik kepadaku. Seolah-olah aku adalah aset utama mereka.
"Kudengar kamu bikin album Iskha?" celetuk Mbak Vira.
"I..iya mbak," jawabku.
"Hmm...kapan terbitnya?" tanyanya.
"Secepatnya, sudah produksi, sudah rekaman koq,"jawabku.
"Wah, hebat yah," kata Bu Hendrajaya.
"Yah, mau gimana lagi. Sudah hobinya sejak kecil bermain musik," kata ayahku.
"Harus didukung itu. Bukan begitu?" kata Pak Hendrajaya.
Setelah itu acara dilanjut dengan makan malam, karena hidangan sudah disiapkan oleh para pelayan. Entah berapa pelayan yang dipunyai oleh Pak Hendrajaya ini. Mereka semuanya profesional. Masakannya enak-enak. Mas Pandu tampak dilayani oleh Mbak Vira. Dan terkadang disuapinya karena tangan Mas Pandu gemetar. Ia sepertinya sudah tak bisa lagi memegang sendok. Dengan telaten aku perhatikan Mbak Vira menyuapi Mas Pandu. Aku pun merasa iba kepada mereka.
Setelah makan malam itu aku pulang bersama keluargaku. Paling tidak malam itu Pak Hendrajaya menyambut baik kami. Keluarga mereka sangat merestui hubunganku dengan Mas Faiz. Wajah ibunya tentu saja sangat gembira melihat foto-foto anaknya itu. Aku masih penasaran di mana Mbak Putri? Walaupun memang perlakuannya tak bisa dimaafkan, tapi aku merasa kasihan kepadanya. Dia pasti sangat mencintai Mas Faiz.
NARASI VIRA
Aku menemui Iskha di kafe. Akhir-akhir ini aku dekat dengan dirinya. Kami juga jadi teman akrab sekarang. Sering curhat, sering berbagi perasaan. Iskha orangnya ramah, baik. Aku jadi iri dengannya. Dia orangnya rendah hati. Pantaslah Faiz nggak mau pisah dengan dia. Dia menurutku penyempurna hidup Faiz.
Albumnya sudah terbit dan isinya tentang cinta dan kerinduan. Apakah ini curahan hatinya? Dia bersolo karier. Walaupun kegiatannya dengan kelompok bandnya The Zombie Girls masih aktif tapi dia mencoba solo karier. Tak usah ditanya. Albumnya baru dua bulan sudah terjual 1 jt kopi. Rekor memang. Lagunya bagus-bagus. Aku bahkan menyimpan mp3nya.
Dia sekarang banyak manggung seminggu sekali. Kadang juga diundang di acara tv. Menemui dia di kafe seperti biasanya dengan anggota bandnya pun adalah hal yang sangat langka. Dia sudah jadi artis sekarang. Diwawancarai wartawan, dikuntit bahkan kehidupannya dengan Faiz pun mulai dibongkar.
"Hai Mbak?!" sapanya.
"Hai, masih ngisi di kafe aja? Kan kamu sudah banyak job sekarang," kataku.
"Aku memang berinisiatif koq mbak. Lagian, aku menawarkan diri. Kafe ini, adalah kafe kenanganku. Aku udah minta ama Direkturnya untuk mengijinkan aku mengisi di sini kapan pun aku mau. Mereka sangat senang. Aku bahkan tak ingin minta honor yang muluk, nggak dibayar pun aku mau."
"Oh begitu, wah. Aku jadi temannya artis nih, boleh minta tanda tangannya," candaku.
"Ah, mbak ini. Biasa ajalah!" katanya. "Kalau mau tanda tangan sini tangannya aku corat-coret!"
"Enak aja," kami pun tertawa lepas.
Aku banyak ngobrol dengan Iskha. Tapi satu hal yang kami selalu hindari dari setiap pembicaraan adalah tentang Faiz. Rasanya ia tak mau membicarakannya. Dan aku juga demikian.
"Gimana Mas Pandu mbak?" tanyanya.
"Dia....sudah tak bisa menggerakkan tangannya. Awalnya ia tak bisa menulis, membuat garis lurus saja nggak bisa. Tangannya gemetar hebat padahal hanya memegang pensil. Setelah itu hanya kepalanya saja yang bisa bergerak. Dia lumpuh total," jelasku.
"Aku turut berduka mbak."
"Makasih. Aku sendiri tak tahu apakah Pandu bisa bertahan berapa lama lagi."
Tiba-tiba kami pun hening. Aneh memang. Aku bisa berbagi perasaanku dengan Iskha. Tapi itulah yang terjadi. Iskha menggenggam tanganku memberikan ketenangan dan menepuk-nepuknya.
"Makasih Iskh," kataku.
"Besok kita jalan-jalan yuk, berdua aja," ajaknya.
"Kemana?"
"Terserah deh. Aku yang traktir."
"Siapa takut."
*****
NARASI PUTRI
Faiz sudah berusia 2 tahun. Dia aku gendong. Dia barusan menangis ketika suara guntur menggelegar sehingga terbangun. Di luar sepi dan gelap. PLN lagi-lagi mematikan aliran listrik di saat hujan deras seperti ini. Aku sekarang tinggal bersama ayah kandungku. Johnny Amartand. Ibuku tak ingin aku tinggal sendiri, maka dari itulah dia menghubungi ayah kandungku. Awalnya Ayah tiriku menolaknya tapi akhirnya tak ada pilihan lain. Satu-satunya yang membuatnya setuju adalah bahwa ayahku berjanji akan menjagaku, karena dia juga sudah merindukanku sejak dulu.
Kami tinggal di kebun teh. Jauh dari Jakarta. Di sini penghasilan ayah adalah sebagai buruh petani teh. Itu saja sudah cukup bagiku. Aku masih menyimpan foto Faiz. Aku selalu menunjukkan kepada Faiz, ini ayahmu. Kamu besok kalau sudah besar hormati dia ya? Entah kenapa Faiz setiap melihat foto itu selalu tenang. Ia seolah tahu kalau itu adalah ayahnya.
Ayah menyalakan lampu petromak. Ruangan pun kembali terang.
"Lagi-lagi listriknya mati kalau hujan," ujar ayahku.
"Mungkin takut terkena geledek yah," kataku.
"Tapi ya nggak gini juga kan? Hampir pasti kalau hujan mati," ujarnya. "Faiz masih nangis?"
"Sudah tenang," jawabku.
Sudah tiga tahun ini aku meninggalkan keluarga Hendrajaya. Ibu masih menghubungiku sekali-kali. Menanyakan kabarku dan anakku. Aku juga bertanya kabar Faiz, sekarang sudah kuliah di luar negeri. Sesuatu yang luar biasa menurutku. Aku selalu bilang ke Faiz kecil agar suatu saat nanti meniru ayahnya kuliah di sana. Dia mana mengerti? Tapi aku selalu bicara dengan dia. Dan yang membuatku terharu adalah dia pertama kali mengucapkan kata "ayah". Ingin rasanya aku bertemu dengan dia dan kutunjukkan kepadanya ini Faiz kecil, bisa bilang "ayah" untuk pertama kali walaupun aku hanya menunjukkan fotonya.
Kutidurkan dia ke tempat tidurnya lagi. Ia sudah lelap. Wajahnya benar-benar mirip ama Faiz. Aku ciumi dia berkali-kali. Cepatlah besar anakku. Ibu bangga ama kamu. Ibu sangat menyayangimu.
NARASI HANI
Aku senang sekali, ketika Pak Hendrajaya menawariku kerja di kantornya setelah aku lulus kuliah D2 Sekretaris. Beliau benar-benar memberikan posisi yang sangat penting bagiku. Selain aku senang karena aku bisa dekat dengan beliau yang notabenenya adalah ayah biologisku, aku juga senang karena gajinya cukup besar untuk seorang sekretaris. Terlebih beliau menganggap aku sebagai anaknya sendiri. Dia juga menghormatiku sebagai temannya Mas Faiz.
Pekerjaanku mulai dari mengatur jadwal meeting, mengatur siapa saja yang boleh menghubungi beliau, bahkan sampai laporan-laporan dari semua manajer pun ke akulah semuanya diserahkan. AKu pun memesan tiket untuk dia ketika ingin keluar kota. AKu juga yang mengatur presentasinya. Ke mana-mana aku pasti bersama beliau. Senang sekali menjadi orang yang sangat dekat dengan beliau. Bahkan aku pun jadi dekat dengan Ibu Aula istrinya. Melihat ketekunanku bekerja beliau pun sampai menjadi mata-mataku, kalau-kalau suaminya selingkuh. Hihihihi. Lucu memang, tapi ayahku ini tak pernah aku lihat jalan dengan wanita lain. Semuanya adalah mengurus pekerjaan dan keluarga.
Aku cuma heran bagaimana dia bisa mengenal ibuku dan selingkuh. Itulah yang aku tak habis pikir. Seperti apakah pesona dari Tuan Hendrajaya ini. Aku pun mulai mengerti pesonanya setelah kami harus bertemu dengan klien besar yang ingin mendirikan sebuah menara pencakar langit di Jakarta. Mega Projek ini akan membangun sebuah bangunan tinggi 75 lantai. Konsepnya adalah menara ini berisi apartemen, mall dan perkantoran. Juga ada tempat fitness, kolam renang, dan lain-lain. Karena nilai projek ini besar maka investornya pun lumayan besar juga.
Ada tiga perusahaan yang bekerja sama untuk membuatnya. Dan untuk itulah kami berdua harus ke Singapura. Aku mendampingi beliau untuk bertemu dengan orang-orang penting ini. Sejujurnya ini adalah untuk pertama kalinya aku keluar negeri, walaupun cuma ke Singapura saja sih. Tapi aku sungguh bersemangat. Andai ibu sekarang melihatku, tentu beliau akan sangat bangga kepadaku.
Kami pun bertemu dengan para klien itu. Pembahasannya cukup alot, terutama tentang kondisi Indonesia yang sedang tidak menentu akhir-akhir ini. Tapi ayah meyakinkan semua klien bahwa berinvestasi di sana bukanlah hal yang salah. Ayah bahkan menjamin dalam sepuluh tahun keuntungan yang didapat bisa sepuluh kali lipat dari modal awal. Tentunya dengan tingkat inflasi yang aman. Apa pula itu aku nggak faham, tapi paling tidak para klien itu cukup puas dan mau berinvestasi.
Aku tidak suka ketika ayah sudah mulai mabuk-mabukan. Ia terlalu banyak minum wishky dan tequila. Entah berapa gelas yang ia tenggak. Ia kemudian karaokean bersama para klien hingga larut. Setelah benar-benar mabuk, aku pun memapah ayahku ke kamarnya.
"Pak hati-hati!" kataku.
Bau alkohol dari mulutnya membuatku ingin muntah rasanya. Agak susah juga memapah beliau. Tapi meskipun sudah tua tubuh beliau masih tegap. Hanya ada sedikit lemak diperutnya, tapi tidak gemuk. Proporsional menurutku. Juga yang wajahnya juga masih berwibawa. Aku senang sekali bisa menolong ayahku sekarang ini. Inilah kesalahanku. Aku sudah menganggap dia ayahku, tapi dia tidak tahu kalau aku adalah anaknya.
"Aula...jangan tinggalin aku ya, temani!" ia mengigau memanggil nama istrinya.
Aku membukakan pintu kamarnya, lalu kami berdua pun masuk. Aku pun memapahnya sampai dia ambruk di atas ranjang. Setelah itu aku buka sepatunya dan menatanya hingga ia berbaring di atas ranjang. Lelah juga memapahnya. Aku baru saja mau beranjak, tiba-tiba dia mencengkramku.
"Aulaaa...jangan pergi!" katanya.
Tu...tunggu dulu, dia mendekapku dari belakang, ia meremas payudaraku. Aku agak meronta, tapi ia sangat kuat. Oh tidak, ini tidak boleh terjadi. Ia terus mendekapku sehingga ku tak bisa bergerak. Akhirnya aku mencoba membiarkannya aku ingin tahu apa yang ia lakukan.
Oh tidak, ini diluar kendaliku. Dia menciumi pantatku dari balik rok. Jangan, dia akan memperkosaku. Aku ingin pergi tapi dia terlalu kuat bahkan kemudian membantingku di atas ranjang, aku pun pusing. Bantingannya terlalu kuat. Untuk beberapa detik aku tak bisa apa-apa. Ia sudah berhasil menggeranyangi tubuhku. Aku baru sadar ia sudah membuka kemeja dan menghisap tetekku. Ohh...ayahh....
"Paak,..jangan!" aku mendorongnya.
"Aulaa...kamu ranum sekali," gumamnya. Ia tak sadar. Oh celaka, apa yang harus aku lakukan?
Pak Hendrajaya mencupangi buah dadaku. Dia mengenyotnya, meremasnya dan memberikan stimulus kepadaku. Tenaganya terlalu kuat. Aku bertubuh kecil, sehingga ia dengan mudah bisa menguasaiku. Ia kemudian melumat bibirku. Ia hisap salivaku. Ouuhh...bau alkoholnya membuatku pusing. Seketika itu aku pusing sekali. Baru kali ini aku mencium laki-laki dan ini ayah kandungku sendiri. Dan baru kali ini buah dadaku dicupangi dan ini oleh ayah kandungku sendiri.
Aku sesaat tak sadar karena pusing. Bau nafasnya benar-benar membuatku mabuk. Aku mencoba bangkit. Ingin pergi dari tempat ini sebelum terlambat, tapi dia sudah ada di depanku tanpa sehelai benang pun. Celaka. Mati aku. Penisnya sudah ada di depan wajahku. Dia menjambak rambutku sehingga mulutku terbuka dan penisnya dimasukkan ke mulutku yang kecil. Oh tidaaakk...HAP. Dia lalu memaju mundurkan pantatnya.Penisnya yang besar itu melesak masuk sampai menyentuh kerongkonganku. Aku tersedak. Hampir saja muntah.
"Ohh...Aula...nikmat banget," rancaunya. Aku terpaksa memblowjob ayahku sendiri. Ia memegangi kepalaku sehingga aku tak bisa apa-apa selain membiarkan dia memperkosa mulutku. Hingga kemudian ia menghenikan aktivitasnya disusul kedutan dari penisnya. Ia orgasme!
CRUUUTTT CRUUUTTT! Sebagian besar spermanya meledak di mulutku. Ahhkk...tertelan. Aku ingin muntah rasanya. Ia lalu melepaskanku. Aku ambruk di kasur. Badanku rasanya sakit semua. Ternyata belum selesai. Beberapa sperma yang meleleh di mulutku aku ludahkan ke lantai. Rasanya amis dan asin.
Belum sempat aku mengumpulkan tenaga, ia sudah memelorotkan rokku dan celana dalamku. Oh tidak...jangan!
"Pak, sudah pak. Sadar! Aku Hani!" jeritku.
Tapi Pak Hendrajaya sudah terlanjur mabuk. Ia tak ingat lagi siapa aku. Di depan wajahnya terpampang memekku dengan bulu halus rapi di atasnya. Pak Hendrajaya langsung melahap tonjolan kacang yang ada di pucuknya. Aku pun mengejang. Lidahnya menari-nari di sana dan menjilat seluruh bagian bibir memekku. AAarrgh...rasanya geli, nikmat bercampur jadi satu. Aku pun tak kuasa hanya bisa menggeliat di atas kasur sambil meremas sprei. "Ayah....kumohon!" rintihku.
"Aulaa..hhmm...memekmu nikmat banget,...!" gumamnya lagi. Dia masih mengira aku istrinya.
Aku pun jadi ragu. Ingin mendorongnya ataukah membiarkan dia memberikan kenikmatan ini padaku. Keputusan terakhirlah yang aku pilih. Membiarkan dia. Memekku dijamah oleh ayahku sendiri. Dia mengobok-obok memekku. Entah diapakan pokoknya nikmat sekali hingga aku pun orgasme dahsyat untuk pertama kali. Dan ini adalah pertama kalinya aku orgasme seumur hidupku. Setelah gelombang dahsyat itu pergi aku lemas. Pasrah....entah apa yang akan dilakukannya lagi. Aku cuma bergumam, "Jangan ayah...jangan!"
Pak Hendrajaya tiba-tiba menggesek-gesekkan kemaluannya yang besar tadi ke memekku. Ouuuhh...aku baru kali ini merasakan penis laki-laki menyentuhku. Tapi kenapa harus ayahku kandungku sendiri? Air mataku pun berderai. Aku tak bisa lari lagi. Dan dengan hentakan ia pun menerobos liang senggamaku. Aku pun robek. Aku menjerit. Ia memelukku.
"Ohhh...nikmat sekali Aula. Hhmmmmmhhh...memekmu sepit sekali malam ini!" katanya.
Dia memelukku sambil bergoyang naik turun. Memekku benar-benar menjepit kuat penisnya. Aku kesakitan. Perih, pedih. Tapi lambat laun, rasa itu hilang, hanya kurasakan geli dan nikmat. Pak Hendrajaya ini ternyata sangat terampil dalam bercinta. Ia menciumku saat aku merasakan sakit. Hal itu mengurangi rasa sakit ketika ia merobek memekku. Goyangannya pun makin cepat dan ia menyusu lagi kepadaku. Mungkin ia sangat terpesona dengan payudaraku yang naik turun seiring goyangannya. Dan akhirnya benar, ia akan orgasme. Aku juga sudah ingin nyampe.
Ajaibnya adalah kami bersama-sama keluar. Spermanya membasahi rahimku. Rahim yang seharusnya mengisi adalah suamiku sekarang diisi oleh ayah kandungku. Aku sesaat lupa akan sosok Pak Hendrajaya. Setelah puas mengeluarkan spermanya. Ia mencabut penisnya dan ambruk di sampingku. Aku rasanya tak bisa berjalan lagi. Tubuhku sepertinya remuk, sakit semua. Aku juga lelah. Dan akhirnya kami pun terlelap malam itu.
****
Hari sudah pagi. Dan aku mendapati Pak Hendrajaya sudah tak memelukku lagi. Dia ada di pinggir ranjang memakai pakaiannya. Aku terbangun dan duduk. Aku agak malu dan menutupi tubuhku dengan selimut.
"Maafkan aku," kata Pak Hendrajaya.
Aku hanya diam.
"Aku terkejut ketika bangun mendapatimu. Aku pasti melakukan hal-hal yang jelek tadi malam. Aku lihat bercak arah di kasur. Maafkan aku Hani. Aku seharusnya tak melakukan ini. Ini pasti gara-gara aku mabuk tadi malam," kata Pak Hendrajaya.
"Tidak apa-apa pak. Ini sudah terlanjur. Hani juga nggak tahu harus berbuat apa tadi malam," kataku.
"Itu tidak bisa! Harusnya kamu pukul aku tadi malam biar aku tak melakukan ini. Ohh..apa yang harus aku lakukan sekarang??" Pak Hendrajaya tampaknya merasa bersalah.
Aku menundukkan kepalaku. Aku pun malu sendiri melihat diriku.
"Aku tahu siapa kamu. Kamu anaknya Dian bukan? Aku menyelidiki kamu selama ini dan aku sekarang ingat siapa kamu. Engkau sudah lama aku cari. Dan sekarang aku malah melakukan hal ini kepadamu," jelasnya.
Jadi....dia sudah tahu kalau aku anaknya? Aku sangat senang sekali.
"Aku sudah tahu kamu adalah anakku, maka dari itulah aku memberikan kekhususan kepadamu. Beasiswa, pekerjaan, tempat tinggal, semuanya. Apa yang sudah aku lakukan sekarang ini?" Pak Hendrajaya pun menangis.
"Ayah, boleh aku panggil bapak sebagai ayah sekarang?" tanyaku.
"Aku tak pantas dipanggil ayah, ayah yang seharusnya melindungi putrinya malah berbuat tidak senonoh terhadap putri sendiri," ujarnya.
Aku langsung memeluknya.
"Aku minta maaf ayah, seharusnya ku sejak dari dulu berkata jujur. Tapi aku tak berani....akulah yang salah," kataku. Aku pun juga menangis. Kami berdua menangis di hotel itu. Menyesali apa yang sudah terjadi barusan.
No comments for "Anak Badung Season 2 Bagian.19 [Rindu]"
Post a Comment