Budak Nafsu Pacar Anakku Bag.3 [Jebakan Yang Salah]
POV : Ardo
“bee kita ke rumahku dulu ya bentar”, ucapku pada Dian kekasihku.
Ya, klo berdua aku memang suka memanggilnya bee. Kenapa aku memanggilnya begitu? Karena memang dia itu kayak “bee” (lebah). Kamu itu orangnya berisik banget kayak lebah, tapi kamu juga memberi banyak kebaikan dimanapun kamu berada, kayak lebah yg bantuin bunga untuk mekar. Begitulah jawabanku waktu dian nanya kenapa aku memanggilnya “bee”.
“mau ngapain bo? Ntar ke rumah sakitnya telat, jam besuknya abis”, Dian menolak ajakanku.
Bo? Ya, Dian emang ga terima dipanggil bee, makanya dia manggil aku bo, kebo sih lebih tepatnya. Aku sempat protes tapi dia bilang aku itu kerjaannya tidur mulu, persis kayak kebo.
“tapi kan aku kurus?”, ucapku saat itu. “iya, kamu kebo kurus”, Dian berkata sambil memeletkan lidahnya padaku. Ya, saat itu umur hubungan kami memang baru satu minggu.
Aku Ardo, mahasiswa semester V. Aku dikaruniai wajah yang tampan dan tubuh yang proporsional. Tinggiku 178 cm. Dan ga cuma itu, akupun memiliki penis yang cukup besar untuk ukuran anak Indonesia, 18 cm. Sepertinya Tuhan sangat sayang padaku, tidak hanya sempurna dalam hal fisik, dalam materi pun aku tidak pernah kekurangan. Aku anak seorang pejabat, ya ayahku anggota DPR –Dewan (yang katanya) Perwakilan Rakyat-, sedangkan ibuku sudah meninggal sejak aku berumur 8 tahun. Ibuku meninggal karena sakit. Sejak ibu meninggal, ayah tidak pernah menikah lagi. “Tidak ada yang bisa mengganti ibumu dihati ayah”, begitu selalu alasan ayah ketika ku tanya tentang ibu baru. Meski begitu aku tahu ayah sering melampiaskan nafsunya ke mbak Erni, pembantuku yang sekarang berusia 30 th. (Dilain waktu mungkin akan ku ceritakan skandal mereka).
Kekayaan dan ketampanan yang ku punya tampaknya menjadi magnet bagi setiap wanita. Banyak wanita yang ingin menjadi kekasihku. Jujur, sewaktu SMA aku memang sudah sering gonti-ganti pacar. Dan hampir semua mantan pacarku pernah aku cicipi, yaa walaupun hanya sebatas petting hingga oral seks. Selama ini aku memegang prinsip bahwa aku akan melepas perjakaku ketika aku sudah menikah.
Saat aku kuliah, aku berhenti untuk berpetualang. Bagiku sudah saatnya aku menjalin hubungan yang sehat. Disaat itulah aku bertemu dengan Dian. Dian gadis yang berbeda. Dia cantik, dia sangat sopan dan tidak pernah memandangku dari kekayaanku yang berlimpah. Entah kenapa fakta yg ku sebut terakhir itu membuat dia terlihat sangat cantik di mataku.
Lama termenung, tak terasa aku sudah berada di dekat jalan menuju rumahku. Akupun membelokkan motor ke jalan itu.
“bo, kok belok sih?!”, Dian memukul punggungku lembut.
“ke rumahku bentar, aku mau ganti baju, bentar aja kok”, aku menoleh ke Dian sambil mengedipkan mata. Dian hanya manyun menunjukkan ekspresi tidak suka. Lima menit kemudian kamipun sampai di rumahku.
Kami sudah sampai di rumah dan aku langsung masuk kamarku. Dian ku suruh menunggu di ruang tamu sedangkan aku langsung berlari ke kamarku. Ku lirik jam tanganku sejenak. Sudah dua puluh menit lebih sejak aku memberinya coca cola itu, tapi kenapa nggak ada tanda-tanda dia horny ya? Aneh! Aku segera menghubungi Firman, teman sekaligus bandar yang selalu menjadi tempatku untuk membeli obat perangsang itu.
“eh, man kok obat lu nggak ngefek sih?”, aku langsung bertanya saat Firman mengangkat teleponku.
“ga ngefek gimana bro? lu kan udah sering ngasih ke cewe-cewe lu sebelumnya”, Firman menjawab. Suaranya terdengar agak kaget.
“iya, tapi tadi gue udah kasih Dian. Eh, sampai sekarang mukanya biasa aja, ga keliatan lagi sange”, aku mencoba menjelaskan pada Firman, kali aja dia tahu kenapa bisa gitu.
“mungkin cewe lu terlalu alim bro, jadi dia sembunyiin rasa hornynya dia, coba lu pancing dulu, cipok dulu kek, atau grepe-grepe gitu”, Firman memberikan solusi.
Ah iya, Dian kan emang terkenal sebagai cewe alim, cewe baik-baik. Mungkin benar kata Firman, harus dipancing dulu nafsunya. Akupun bergegas mengganti baju dan langsung turun ke bawah. Ku lihat mbak Erni sedang menyiapkan minuman di dapur.
“mbak ga usah, kita udah mau jalan lagi kok”, ucapku sedikit teriak, takut mbak erni ga dengar. Di ruang tamu ku lihat Dian asyik membaca koran sambil sesekali melirik jam tangannya. Aku langsung duduk disebelahnya dan memeluknya.
Dian mencoba mendorongku sekuat tenaga memperlihatkan penolakannya. Tak peduli dengan penolakannya, akupun langsung melumat bibirnya dengan buas. Tanganku tak tinggal diam, ku coba arahkan ke gundukan payudaranya yang mempesona. Tapi tanganku tertahan oleh tangannya. Tak lama akupun melepaskan bibirku dari bibirnya.
“hiks..hik…hiks…”, Dian menangis setelah bibirnya terlepas dari bibirku.
“bee, kamu kok nangis?”, tanyaku heran. Pertanyaan bodoh sebenarnya, karena selama ini kita memang belum pernah sejauh ini.
“bo, aku takut….hiks,,hik..hiks…hiks…”
“takut kenapa bee?”, aku mendekat dan membelai rambutnya. Tak ada perlawanan dari Dian. Suara tangisnya berhenti. Dian menatap mataku lekat-lekat.
“aku takut sama kamu, kamu jadi buas, aku nggak suka kamu gitu, aku takut”, ucapnya lirih namun mengena di hatiku.
“kamu masih ingatkan janji kamu, gak akan perlakukan aku kayak mantan-mantan kamu?”, Dian melanjutkan lagi. Aku terenyuh, untuk sesaat nuraniku kembali tersentuh.
“aku ingat kok, maaf ya tadi aku udah ga tahan liat kamu”, aku memeluknya, kali ini pelukan penuh kasih dan Dianpun nggak menolak.
“aku janji, aku ga akan macem-macem lagi, aku akan selalu menjaga kamu sampai kita nikah”, bisikku di telinganya. Kamipun berpelukan cukup lama.
“aku tahu kok, susah buat kamu lakuin itu, susah buat kamu nahan nafsu kamu, karena biasanya selalu diturutin sama mantan-mantan kamu, dan karena itu aku udah mutusin klo aku bakal kasih kamu keringanan”, aku bingung dengan pernyataan Dian, dan aku pun melepas pelukan itu.
“kamu boleh cium aku, tapi ada syaratnya”, lanjut Dian setelah pelukan kami lepas.
“syarat apa bee?, aku pasti penuhin syarat itu”, ucapku tersenyum.
“kamu harus minta dulu klo mau nyium aku, ga boleh tiba-tiba kayak tadi”, Dian tersenyum. Senyum yang sangat manis yang pernah ku lihat.
“klo sekarang boleh?”, ucapku sambil menatap matanya. Dian hanya mengangguk. Dan memejamkan matanya.
Tanpa dikomando lagi bibirkupun langsung beradu dengan bibir Dian yang lembut. Lama kami saling melumat. Lumatan penuh kasih sayang. Entah kenapa setelah berulang kali ciuman, bagiku ciuman kali ini ciuman paling nikmat. Mungkin karena Dian mampu memberiku cinta yang tulus.
Setelah ciuman ku lepas Dian langsung berdiri, dia menarik tanganku. Dan kamipun langsung keluar rumah.
“yang ngebut ya bo, aku udah di bbmin dari tadi”, ucap Dian ketika kita sudah akan jalan. Ku starter motorku.
“siap tuan putri, aku akan antar kamu tepat waktu”.
Kamipun berangkat menuju rumah sakit. Di tengah jalan kami lebih banyak diam. Entah kenapa aku masih bingung dengan obat perangsang itu. Sekuat itukah Dian hingga dia bisa menahan nafsunya?, penasaran akupun mencoba bertanya pada Dian.
“bee, coca cola yang aku beliin tadi masih ada? Haus nih”, ucapku ketika kita berhenti di salah satu lampu merah.
“udah abis boo, tadi diminum sama mama, aku aja belum minum tadi”, jawaban Dian benar-benar membuatku kaget, pantesan Dian ga terangsang, dia ga minum. Huh!
“oooh gpp bee, nanti aku beliin lagi deh”, ucapku.
Tapi apa yang terjadi sama mamanya Dian ya? Kan papanya lagi ga ada? Apa dia masturbasi sendiri? Atau jangan-jangan dia punya sextoys? Menarik juga membayangkan wanita cantik berjilbab sambil mainin dildo di vaginanya. Ahh, membayangkan hal itu tanpa sadar penisku pun menegang. Daripada bayangin mending aku lihat sendiri.
“bo, kamu mau nungguin dimana?”, Dian bertanya padaku. Saat ini kami sudah sampai di depan rumah sakit.
“aku pulang dulu aja ya bee, ntar klo kamu udah selesai sms aku, gimana?”, ucapku berbohong, sebenarnya aku ingin melihat tante Hany masturbasi karena obat perangsang itu. Pasti seru, apalagi tante Hany udah hampir empat bulan ngga ngerasain belaian suaminya.
“hmm, oke deh, tapi jangan tidur yaaa, ntar ga ada yg jemput aku”, ucap Dian lagi.
“oke cantik, aku pulang yaaaa, byeeee”, akupun berlalu dari rumah sakit itu. Sesaat sebelum menghilang dari rumah sakit ku lihat Dian bergabung dengan teman-temannya yang juga sama-sama ingin menjenguk Shinta.
*******
Saat ini aku sudah berada di depan pagar rumah Dian. Seperti biasa, pagar ini tidak pernah dikunci kecuali malam hari. Namun aku agak kaget, pintu depan terbuka cukup lebar. Akupun melangkah perlahan ke dalam. Agak berjinjit agar gesekan kakiku dengan lantai tidak menimbulkan suara. Belum sampai ke depan pintu, ku dengar suara desahan-desan, akupun mencoba melihat ke dalam melalui jendela. Ada seorang laki-laki sedang menjilati memek tante Hany. Gila! Sepertinya ada lelaki yang beruntung karena ulah obat perangsang tadi. Sepertinya lelaki itu udah tua. Entah siapa bapak tua itu. Tiba-tiba ide nakal muncul di otak kotorku. Ku nyalakan hapeku dan kurekam kegiatan mereka. Sepertinya aku belum terlambat untuk menikmatai tontonan ini. Sambil terus merekam, tanganku yang satunya mulai mengocok-ngocok penisku. Aahh, gila! Tante satu ini merangsang banget. Untung ngga ada yang lewat, bisa malu aku kalau ketahuan sedang ngocok sambil ngintip.
Lebih dari setengah jam akhirnya permainan mereka berakhir. Ah, sebelum bapak tua itu keluar lebih baik aku pergi. Akupun langsung memacu motorku menuju rumah sakit. Menjemput Dian tentunya. Diperjalanan aku terus membayangkan tubuh mulus tante Hany. Aku tak menyangka calon mertuaku itu bisa sebinal itu. Sepertinya aku bisa memanfaatkan keadaan ini. Hehehe.
Sesampainya di parkiran rumah sakit, aku langsung hubungi Dian dan bilang aku menunggu di parkiran. Setelah itu aku keluarkan hape satu lagi. Hape yang biasa aku gunakan untuk menghubungi teman-teman mesumku seperti Firman tadi. Ku sms tante Hany dengan nomer itu.
Sender : 08566361xxx
Ga nyangka ya, bu Hany ternyata nakal juga.
Smsku terkirim, dan tak lama sms balasanpun sampai
Sender : Tante Hany
Kamu siapa? Apa mau kamu? Uang? Ayo ketemu kalau berani!
Wow, berani juga tante binal satu ini, pikirku. Tante, permainan baru akan dimulai. Akupun tersenyum sendiri mengingat rencana nakal ku untuk tante Hany.
Sender : 08566361xxx
Besok temui aku di waroeng st**k dekat kampus ****, jangan ada orang lain!
Aku mengirim sms balasanku. Tak ada lagi balasan, tapi aku yakin tante Hany pasti datang besok. Akupun berjalan ke mini market yang ada di rumah sakit ini. Aku membeli softdrink dan boneka. Sesampainya dimotor, aku memasukkan alat penyadap di dalam boneka tersebut. Beberapa saat kemudian ku lihat Dian dari kejauhan.
“udah lama bo?”, Dian bertanya ketika sudah sampai di dekatku.
“lumayan sih, oiya, ini aku beliin kamu coca cola lagi, kan yang tadi diminum mama kamu”, aku memberikan coca cola yang ku beli tadi. Dian mengambil dan langsung meminumnya.
“terus, aku beliin kamu ini jugaa”, akupun memberikan boneka kucing yang ku beli tadi.
“waaah! dalam rangka apa nih beliin ako boneka?”, Dian mengambil boneka itu dari tanganku, dia terlihat sangat senang.
“hmm dalam rangka apa ya? Oiya, dalam rangka rasa banggaku punya pacar cantik dan seksi kayak kamu, terus baik banget lagi”, jawabku asal.
Tapi jawabanku membuat Dian tertawa, dia tersenyum kemudian memelukku. Sepertinya Dian senang sekali dengan hadiah itu.
“aku kasih nama boneka ini, KUBO, kucing kebo”, ucapnya lagi. Aku hanya tertawa mendengarnya. Kamipun meninggalkan rumah sakit itu.
Sepanjang perjalanan pulang, kami lebih banyak diam. Hanyut dengan pikiran masing-masing. Dalam hatiku berbisik suara lain, suara setan nafsu yang selama aku kuliah ini sudah terbelenggu. Pikiranku melayang mengingat tante Hany. Sepertinya aku akan kembali ke jalan petualang lagi. Hahahaa, sebentar lagi aku akan menikmati tante Hany. Nggak dapet anaknya, mamanya boleh juga. Aku tersenyum sendiri mengingat itu.
No comments for "Budak Nafsu Pacar Anakku Bag.3 [Jebakan Yang Salah]"
Post a Comment