Kisah Ibu Rumah Tangga (LISNA) Part 14


Aku terbangun di kamar hotel saat subuh. Kulihat dokter Hans masih lelap dalam tidurnya. Aku dengan malas-malasan bangun dari tidurku. Segera mandi besar karena aku harus menunaikan kewajibanku untuk ibadah. Seperti sejak mengenal Heri aku terkadang hanya mengenakan mukena saja tanpa dalaman. Aku menunaikan kewajibanku subuh ini dengan khusu.

Saat selesai aku lihat dokter Hans sudah bangun. Tapi dia masih berbaring malas-malasan di tempat tidur.

“Selamat pagi sayang...” Sapaku.

“Pagi...” Jawab dokter Hans dengan malas-malasan.

Aku melepas mukenaku dan kini bugil di depan dokter Hans menggodanya. Tapi dokter Hans tidak bereaksi masih tetap berbaring di tempat tidur. Aku agak kecewa juga karena aku sudah bernafsu untuk melanjutkan persetubuhan kami. Tapi kenapa dia dingin. Mungkin dia kelelahan karena permainan semalam. Aku tidak mengerti. Akhirnya aku memilih untuk kembali tidur. Sampai kami kami cek out sikap dokter Hans tetap dingin . Aku cukup heran dibuatnya. Tapi aku tidak berpikir negatif.

Hari-hari berikutnya aku memikirkan bagaimana caranya untuk mengatasi masalah Dani. Dia telah menarik gugatannya dan berharap kembali membangun rumah tangga denganku. Tapi aku telah memilih dokter Hans jadi tentu aku yang harus mengajukan gugatan cerai agar aku bisa menikah. Aku mencoba meminta saran dokter Hans siapa tahu dia bisa membantu mengurus gugatan ceraiku. Dia juga tentu harus mengajukan gugatan juga terhadap isterinya.

Saat aku bertemu dengan diokter Hans aku sedikit heran kenapa wajahnya terlihat kurang bersahabat.

“Lis ada yang mau aku bilang ke kamu.”

“Apa itu dok..?”

“Hmmmm... kamu akan segera jadi isteriku. Sekarang masih calon isteri memang. Aku berharap kamu mau ikuti keinginan aku.”

“Maksudnya?”

“Setelah hari ini aku ingin kamu gak lagi pakai jilbab dan berubah sesuai keinginanku.”

Aku kaget dengan permintaan dia. Aku paham sepenuhnya apa yang dia inginkan. Kenapa dia harus bersikap frontal seperti itu. Apa ini tidak bisa dibicarakn dengan baik-baik. Karena menyamngkut soal yang sangat penting dan butuh pikiran yang jernih untuk membicarakannnya.
“Apa harus sampai segitunya sayang?” tanyaku

“Iya aku ingin kamu ikut aku. Karena aku yang akan menjadi kepala rumah tangga dan akan menafkahi kamu.”

“Aku paham sepenuhnya. Aku akan patuh pada suamiku dan akan memenuhi semua keinginannya. Tapi untuk soal yang satu ini aku tidak bisa.”

“Kenapa tidak bisa. Kamu mau tidur denganku kenapa mengikuti keinginannku tidak mau?”

“Itu masalah prinsip dok...”

“Aku akan sangat kecewa kalau kamu menolak keinginanku yang satu ini.”

“Kalau dokter memang mencintaiku dokter harusnya menerima perbedaan antara kita.”

“Aku juga punya prinsip. Aku hanya mau menikah dengan wanita yang mau ikut keyakinanku.”

“Sayang sekali dok aku tidak bisa untuk yang satu itu.”

“Aku masih tetap berharap...”

“Aku juga memiliki harapan dkter mau memahami aku. Soal ini aku tidak bisa...”

“Oke kalau begitu...aku merasa tidak dihargai sebagai calon suami.”

Dokter Hans terlihat kecewa bahkan marah dengan sikapku. Aku jadi semakin sadar kenapa sikapnya sering terlihat tidak menyenangkan saat aku melakukan hal-hal terkait keyakinannku. Aku sebelumnya sering tidak memperdulikan sikap dia yang seperti itu. Misalnya dia sering kesal saat aku minta dia singgah sebentar di sebuah tempat agar aku bisa menunaikan kewajibanku melakukan sholat. Meski dia mau juga menunggu tapi sering dia uring-uringan.

Aku tentu saja sangat kecewa dengan dokter Hans. Aku juga marah. Sikap dokter Hans itu terlalu memaksakan kehendak. Bukankan perbedaan itu bisa dibicarakan dengan baik-baik. Kalau saling cinta bisa ditemukan jalan. Tapi langsung memaksakan bahwa aku harus ikut dia itu membuat aku kesal. Aku jadi ingat Heri meski dia doyan minum minuman keras tapi dia sangat menghargai keyakinanku. Dia tidak melarang aku sholat bahkan sering mengingatkan aku untuk itu. Sementara dokter Hans dari sikapnya setiap aku mau melakukan kegiatan yang terkait keyakinanku aku jadi semakin sadar bahwa dia tidak menyukai aku melakukan hal-hal itu.

***

Hari-hari selanjutnya hubunganku dengan dokter Hans menjadi dingin. Bahkan dia seperti menganggap aku ini tidak ada meski kita saling bertemu di klinik. Sampai seminggu keadaan seperti ini berlangsung. Mungkin dia berharap aku yang mengambil inisiatif mendekatinya dan mencairkan kebekuan. Aku malah semakin kecewa dengan sikap dokter Hans yang seperti itu. Aku memilih untuk tidak akan memulai lebih dulu meski untuk sekedar menyapanya. Aku bahkan sudah mulai memikirkan untuk meninggalkan klinik ini.

Aku menunggu sampai awal bulan saat aku menerima upah kerjaku. Aku harus punya tambahan uang untuk mengontrak rumah. Tabunganku sebenarnya cukup tapi aku juga harus membiayai hidupku sebelum Dani bebas. Untung saja aku belum sempat mengajukan gugatan cerai kepada Dani. Jadi rencana Dani untuk rujuk denganku tidak akan ada masalah. Tapi aku masih belum bisa pulang ke rumah kami yang sudah di gembok dan kuncinya dikuasai mertuaku. Aku mendengar pengakuan Dani bahwa mertuaku masih sulit memaafkan aku yang mereka anggap telah kotor.

Saat awal bulan telah tiba aku menerima gajiku dan segera beres-beres untuk pergi dari klinik yang menjadi tempatku bekerja. Aku akan pergi diam-diam. Aku sudah menyewa kos-kosan beberapa hari lalu. Barang-barangku sedikit demi sedikit sudah aku pindahkan kesana. Dan Kini aku hanya membawa tas pakain yang tidak terlalu mencolok. Aku tinggalkan tempat yang cukup berkesan bagiku.

Sebenarnya dalam lubuk hatiku aku masih berharap dokter Hans mengejarku kalau dia memang mau menjadikanku istrinya. Tapi kenyataannya sampai seminggu aku tinggal di kost ini meninggalkan klini tak ada tanda-tanda dokter Hans peduli padaku. Menelpon atau SMS saja tidak. Maka dengan perasaan kecewa aku harus menguatkan hati untuk melupakan dia.

Tapi kenyataannya aku tidak sanggup melupakan Dokter Hans. Kenapa dia menjadi begitu dingin padaku? Aku melakukan semuanya agar bisa tetap bersama dia. Dan dia mengabaikan semua usahaku. Aku nekat pergi keluar dari klinik dengan harapan dia akan merasa kehilangan dan mengejarku. Hingga aku telah tinggal di kos-kosan ini dokter Hans seolah tak perduli. Dia telalu kokoh dengan keinginannya.

Aku pergi ke rumah lamaku untuk sekedar mencoba menghapus kenangan soal dokter Hans. Hujan gerimis saat aku turun dari taxi. Aku mencoba berteduh di bawah pohon di taman kompleks perumahan. Tapi hujan makin deras. Kuterobos dinginnya malam yang kini sedang menurunkan hujan. Walaupun tubuhku dibasahi air hujan. Walaupun aku akan sakit. Aku tak peduli. Pikiranku kacau. Aku tak percaya jika aku melakukan hal sebodoh ini karena dokter Hans. Aku menggigil mendekap tubuhku. Kudengar suara menyapaku. Ketika aku menoleh. Ternyata, itu Jamal. Lagi-lagi laki-laki muda itu. Lelaki yang sebenarnya baik. Walau dia memiliki hasrat terhadap tubuhku.

“Kenapa hujan-hujanan disini mbak?” Tanya Jamal. Tangannya memegang payung. Dia memayungi tubuhku yang kehujanan.
“Aku sangat bodoh!” Aku berteriak di tengah hujan. Disudut hatiku, aku merasakan kegelapan.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi lebih baik mbak ikut ke rumah aku karena mba sudah basah kuyup.”
Ya, itulah Jamal meski aku sudah mengecewakannya, meski aku tidak menyukainya tapi dia masih peduli. Apakah aku masih tidak perduli juga? Entahlah hatiku galau. Tanpa menunggu jawaban, Jamal memelukku. Badanku dingin, dingin sekali. Gemetar, jantung tak terkontrol, kulit pucat.
Jamal melepas jaketnya. Dipakaikan di tubuhku. Kami berjalan sepayung menuju ke arah rumah Jamal. Aku tak tahu bagaimana sikap keluarganya melihat aku saat ini.

“Tenang mba di rumah Cuma ada aku. Ortu lagi keluar kota.”

Aku tidak tahu apa aku harus senang dengan kenyataan bahwa ibu Jamilah dan suaminya tidak ada di rumah. Mungkin Jamal mengerti bahwa aku akan canggung atau bahkan tidak punya harga diri lagi bertemu dengan mereka. Atau mungkin Jamal akan memanfaatkan keadaan ini demi hasratnya terhadapku. Aku tetap saja tidak memiliki hasrat untuk melayani Jamal entah kenapa. Mungkin aku memang tidak memiliki hasrat terhadap lelaki yang lebih muda atau apa. Aku tetap menganggap Jamal itu hanya anak-anak. Tapi kalau kali ini dia memaksa aku sudah pasrah dan merasa apa salahnya memberi sedikit kesempatan pada pemuda ini menikmati tubuhku. Walaupun itu tadi aku tetap tidak memiliki gairah bercinta dengan seorang lelaki yang jauh lebih muda.

“Mbak duduk dulu ya...” kata Jamal saat tiba di rumah. Kemudian masuk ke sebuah kamar. Tidak berapa lama dia kembali membawa handuk dan sebuah pakaian.

“Mbak keringkan dulu badan mba dan pakai dulu baju ini. Gantinya di situ aja kamar tamu. Entara bajunya nanti aku keringkan di mesin cuci.” Kata Jamal sambil menunjukan sebuah kamar.

Aku segera masuk kekamar itu. Aku menutup pintu itu tapi tidak menguncinya. Karena aku kali ini sudah pasrah dan merasa tidak adil juga kalau aku menolak Jamal lagi bila dia ingin menikmati tubuhku. Aku segera melepas pakaianku yang basah. Untung ponselku yang ada dalam tas tidak ikutan basah. Aku segera berganti pakaian dengan pakaian yang diberikan oleh Jamal. Mungkin ini daster milik ibunya. Sampai selesai aku ganti baju Jamal tidak masuk ke kamar ini. Aku segera mengambil baju basahku dan keluar kamar.

“Mana bajunya mbak biar aku keringkan.”Ujar Jamal.

“Makasih ya kamu udah mau repot.”

“Ah ini gak merepotkan sama sekali. Nih aku buatkan teh hangat buat mba.”

”Wah kamu baik banget deh.”

“Hahahhaha aku bukan orang baik koq.”Kata Jamal sambil berlalu menuju ke belakang membawa pakainku yang basah.

Malam ini kami duduk berdampingan, tetapi begitu banyak kata yang keluar dari mulut kami. Seolah bibir-bibir kami sudah enggan bergerak. Kami lebih asyik menekan-nekan layar handphone masing-masing. Pikiranku masih saja tertuju ke dokter Hans. Hanya sesekali Jamal menghela napas panjang sembari mengelepuskan asap rokok dari mulut dan hidungnya yang mancung. Diam-diam mata kananku melirik ke arahnya. Aku menduga-duga apa kira-kira yang dipikirkan Jamal? Apa dia masih berhasarat untuk menikmati tubuhku? Kenapa dia tidak menunjukan tanda-tanda untuk melakukan apa yang dia inginkan di waktu lalu terhadapku. Padahal kalau saja dia memintaku saat ini maka aku akan layani dia. Apalagi hanya ada dia di rumah ini.

“Mbak aku kebelakang dulu ya.”

“Oke ...”

Jamal tidak lama di belakang sudah kembali dengan membawa pakaianku yang sudah kering.

“Ini bajunya mba udah kering.”

“Oke sekali lagi makasih ya.”

“Sama-sama.”

“Aku ganti baju dulu kalau gitu.”

“Silahkan mba.”

Aku kembali ke kamar tamu.Segera aku lepas pakaian daster yang kukenakan dan menggantinya dengan pakaianku yang sudah kering. Kayaknya aku harus cepat pulang ke kos-kosan. Jamal nampaknya tidak memanfaatkan kesempatan untuk memenuhi hasranya terhadapku. Syukurlah kalau seperti itu. Karena akan tidak enak rasanya bercinta kalau terpaksa. Meski kali ini aku pasrah dan berniat akan melayani Jamal. Aku segera memesan taxi online.

“Jamal aku mau permisi pulang deh.”

“Oh iya. Tapi sebelumnya ada yang mau aku katakan.”

“Oh katakan saja.”
“Aku masih berharap mba mau membalas rasa sukaku.”

“Sayang sekali Jamal mba tidak bisa. Tapi kamu gak usah kecewa. Kalau kamau mau sekedar menikmati tubuh mba gapapa. Mba kasih kok.”

“Wah yang benar...”

“Tapi gak pake hati ya. Cuma sekedar melampiaskan nafsu mba mau deh.”

“Oh.... jadi...?”

“Tapi aku sudah pesan taxi online...kapan aja ya?”

“Tapi mba mau?”

“Iya . tapi lain kali. Taxi onlinenya udah dekat nih. Maaf ya.”

“Oh iya mba...Tapi aku pengennya kita main pake hati juga sih mba.”

“Aduh mending jangan Jamal... mba akan layani kamu sampai puas. Kalau pakai hati nanati akan ada yang kecewa pada akhrinya.”

“Oh....”

“Oke Jamal... lain kali ya... Taxinya udah di depan nih.”

“iya...”

“Oke sekali lagi makasih ya...mba permisi dulu.”

Aku berlalu meninggalkan Jamal yang sepertinya masih belum menerima kalau aku melayaninya hanya sekedar memuaskan nafsu tanpa membawa-bawa urusan hati.

Bersambung.




No comments for "Kisah Ibu Rumah Tangga (LISNA) Part 14"