KISAH DI NEGERI ATAS AWAN

 

Saat kakiku menginjakan tanah, udara dingin langsung menyapa. Aku baru saja turun dari bus antar kota dan kini aku berada di suatu daerah yang terkenal dengan udara dingin dengan suhu yang dapat membekukan tubuh. Dengan ransel di punggung, aku berjalan keluar terminal. Tak ada lagi angkot yang bisa mengantarkan aku ke tempat tujuan, hanya ojeg pangkalan sebagai sarana transportasi untuk menuju daerah yang aku sering sebut ‘Negeri di atas awan’. Sebenarnya sebutan tersebut aku karang sendiri karena tempat itu senantiasa diliputi kabut.


“Mang ... Ke Pasir Layung ...” Kataku setelah berada di pangkalan ojeg yang letaknya sebelah timur terminal. Ada enam tukang ojeg di sana. Mereka tidak lantas menyahutku malah saling bertatapan satu sama lain.


“Kamu tuh anter ...” Salah seorang tukang ojeg menyuruh temannya. Aku tahu kalau mereka enggan mengantarkan aku karena tempat yang aku tuju sangat jauh dan perjalanan sulit.


“Tiga ratus ribu ongkosnya ...” Kataku sambil tersenyum dan mengeluarkan tiga uang kertas berwarna merah, mempertontonkannya pada tukang ojeg. Setelah mendengar harga yang aku tawarkan, keenam tukang ojeg tersebut kini berebutan. Aku hanya tersenyum melihat tingkah lucu mereka.


Aku pun naik ke motor tukang ojeg yang siap mengantarkanku. Motor melaju kencang, angin berhembus segar. Rumah-rumah kayu sederhana sepanjang jalan. Gadis-gadis berkain dan berbaju kurung hilir mudik. Anak-anak berlarian tertawa. Di separuh perjalanan, jalan mulai berkelok-kelok tak henti-henti, udara semakin segar walau matahari tepat di atas kepala, sawah di kanan kiri, lalu kebun teh luas membentang. Hampir dua jam aku berada di atas motor dan akhirnya aku pun turun dari motor.


“Terima kasih ya, mang ...” Kataku sambil memberikan uang ongkos ojeg.


“Sama-sama, cep ...” Sahut si tukang ojeg yang tak lama berlalu.


Aku melayangkan pandangku ke seluruh tempat ini. Tidak ada yang berubah sejak tiga tahun yang lalu. Aku tersenyum melihat lelaki setengah baya berdiri di depan pintu rumah panggung dinding biliknya. Dia berpeluk tubuh dan bersandar pada pintu sambil memandang ke arahku. Segera saja aku menghampirinya lalu berjabatan tangan erat.


“Sehat Kang ...?” Sapaku penuh rindu.


“Alhamdulillah ... Sehat ... Kamu semakin ganteng aja ...” Sahut Kang Asep setengah bercanda.


“Ha ha ha ... Dari dulu juga aku kan ganteng, kang ...” Candaku. Tiba-tiba mataku melihat wanita di dalam rumah kenalanku ini. Mataku membulat, kedua halisku seperti bertemu membentuk tatapan heran.


“Oh ya ... Kenalin ... Dia istriku ...” Kang Asep sadar dengan keterkejutanku. Langsung aja ia memperkenalkan istrinya. Jujur, aku sangat terkejut ketika Kang Asep menyebut wanita itu sebagai istrinya.


“Kok gak ada kabar kalau akang menikah lagi?” Kataku agak kecewa sambil mendekati wanita berkerudung itu.


“Ini yang akang pernah ceritain, neng ... Namanya Gunawan ... Bapaknya adalah bos akang dulu waktu kerja di kota ...” Kang Asep memperkenalkan aku dengan istri barunya. Aku jabat tangan wanita itu sambil tersenyum.


“Ina ...” Istri Kang Asep memperkenalkan dirinya.


“Duh ... Bisaan si Kang Asep ...” Godaku pada mereka.


“He he he ... Tinggal kamu, Wan ... Kapan mau menikah ... Betah amat ngejomblo ...” Jawan Kang Asep sembari mempersilahkan duduk di lantai kayu rumahnya yang beralaskan tikar.


“Aku mah santai aja, Kang ... Masih terlalu muda untuk mikirin nikah ...” Kataku sambil mengeluarkan beberapa bungkus rokok kesukaan Kang Asep.


“Umur kamu udah mau 27 tahun ... Udah cukup tuh berumah tangga ...” Kang Asep menyambar satu bungkus rokok dan tak lama ia sudah menghembuskan asap rokok dari mulutnya.


“Santai aja Kang ... Masih ada tiga tahun buat main-main dulu ... Ha ha ha ...” Kataku mengelak.


Akhirnya aku kembali ke tempat ini setelah tiga tahun yang lalu. Tempat yang selalu aku rindukan karena keindahan alamnya. Tidak banyak perubahan di tempat ini dan yang berubah hanya status Kang Asep yang lama menduda kini telah memiliki istri lagi. Sedikit aku bertanya-tanya tentang istri barunya itu. Ina adalah seorang janda beranak satu berusia 37 tahun. Anak tiri kang Asep sekolah di sebuah pesantren di beda kota dan bahkan anak-anak kang Asep dari perkawinan pertamanya pun bersekolah di pesantren yang sama.


Setelah melepas kerinduan bersama tuan rumah, aku beristirahat di sebuah kamar yang disediakan tuan rumah. Kubaringkan tubuh lelahku pada kasur yang tak beranjang. Sejuknya hawa udara dingin membuat mataku tinggal lima watt. Tak terasa aku pun tertidur cukup lama karena sekarang sudah pukul setengah lima sore dan saat aku mulai tertidur tadi kurang lebih jam setengah dua siang.


Waktunya mandi dan merasakan air dingin di pancuran belakang rumah. Memang di rumah Kang Asep tidak ada kamar mandi. Sarana untuk membersihkan diri adalah sebuah pancuran yang airnya sangat jernih dan menyegarkan berada dalam sebuah bilik anyaman bambu. Handuk telah berada dalam genggaman, saat keluar kamar, tak seorang pun berada di rumah. Sampai akhirnya aku keluar dari pintu belakang, di sana aku menemukan Teh Ina sedang memasak di atas tungku. Teh Ina menoleh ke arahku sambil tersenyum.


“Kemana Kang Asep, teh?” Tanyaku sekedar basa-basi.


“Lagi nganterin semen ke kampung sebelah ... Sebentar lagi juga pulang ...” Jawabnya. Aku setengah terpana setelah dengan seksama melihat wajah istri Kang Asep ini. Wajahnya cantik dan imut, terlihat sekali bahwa ia adalah wanita yang polos dari tatapan matanya.


“Oh ... Aku mandi dulu ya teh ...” Kataku yang dijawab anggukan kecil dan senyuman manisnya.


Tubuhku basah kuyup terguyur oleh air dingin. Aku bahkan sudah menggigil karena terlalu lama berdiri di bawah pancuran air itu. Aku tak ingin berlama-lama lagi karena tubuhku sudah kebas-kebas. Aku segera membilas tubuhku, memakai handuk dan langsung pergi menuju kamar, berdandan kemudian merapihkan diri. Setelahnya, aku keluarkan kamera Panasonic GX85. Dan tujuanku ke sini yang sebenarnya adalah untuk mengambil gambar pemandangan alam sebagai bahan iklan produk yang sedang aku garap.


Aku kembali keluar rumah lewat pintu belakang. Tanpa memperdulikan Teh Ina yang sedang memasak, aku berjalan menyusuri pematang sawah sambil melihat-lihat objek yang bisa aku abadikan. Aku mengarahkan lensa kameraku untuk menjepret dan mengabadikan keadaan sore yang indah berlatarkan kabut tebal. Menit demi menit kulewati dengan menciptakan keindahan alam melalui kameraku. Dan sekarang aku memutuskan untuk kembali ke rumah.


Sesampainya di rumah, Teh Ina sedang mempersiapkan makanan di ruang depan. Nasi, sayur kangkung, ikan peda dan sambel telah tersaji di atas tikar. Teh Ina langsung mempersilahkan aku untuk makan duluan karena Kang Asep akan sedikit telat sampai di rumah. Aku meminta teh Ina untuk menemani makan, namun wanita itu menolak dengan alasan masih kenyang. Teh Ina malah pergi ke belakang membiarkan aku sendiri menikmati hidangan yang disajikan tuan rumah. Tanpa sungkan, aku pun segera menyantap hidangan kampung tersebut. Lidahku selalu suka dengan makanan kampung ini. Setelah selesai, aku bawa piring kotor dan tempat nasi ke belakang.


“Biar saja, cep ... Biar teteh yang beresin ...” Teh Ina sedikit terperanjat dari duduknya lalu berdiri. Aku tersenyum dipanggil ‘cep’ olehnya yang berkonotasi sama dengan panggilan ‘mas’ dalam bahasa jawa.


“Gak apa-apa teh ... he he he ...” Kataku sambil terkekeh melihat Teh Ina yang kaku dan gugup. Wanita itu pun bergegas ke depan dan tak lama membawa piring-piring bekas makananku lalu memasukannya ke dalam lemari kayu yang sudah lusuh.


“Teh ... Kira-kira jam berapa Kang Asep pulang?” Tanyaku yang memang agak risih berduaan dengan wanita ini.


“Gak tau ya, cep ... Kadang hampir tengah malem ...” Jawabnya terdengar sendu.


“Tengah malem???” Aku terkejut bercampur heran.


“Iya cep ...” Suaranya terdengan semakin sendu.


Aku tak sengaja menatap wajahnya yang sendu kurang bergairah. Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Teh Ina tersenyum meski tidak terlihat keceriaan di dalam senyumnya itu. Aku bisa merasakan kesedihan yang sangat dari sorot matanya. Entahlah, mungkin aku yang terlalu perasaan. Aku coba buang jauh-jauh prasangka itu dan mulai mengajak Teh Ina ngobrol santai dengan sedikit guyonan agar suasana sedikit mencair. Perlahan-lahan, kecanggungan mulai terurai. Sedikit demi sedikit obrolan kami sudah dua arah. Dan pada akhirnya sungguh menyenangkan rasanya ketika kami bisa tertawa bersama-sama. Kami ngobrol ngaler ngidul cukup lama namun Kang Asep belum datang juga, sampai mataku terasa berat pengaruh sayur kangkung yang aku makan tadi. Aku memutuskan tidur duluan di dalam kamar. Tak butuh waktu lama, aku sudah terlelap masuk dalam dunia mimpi.


----- ooo -----


Kokok ayam jantan dan kicauan burung yang bersaut-sautan mampu membangunkanku. Aku menatap langit-langit kamar sebelum akhirnya bangkit dan menyambar handuk yang aku gantung di gantungan pakaian. Seperti kemarin tak ada siapa pun saat keluar kamar, hanya saja ada segelas kopi dan sepiring singkong hangat di atas tikar. Tanpa perlu meminta ijin lagi, aku seruput kopi yang masih panas lalu memakan singkong hangat itu.


“Sudah bangun, cep ...” Suara Teh Ina yang tiba-tiba membuatku agak terkejut.


“Iya nih teh ... Kalau di sini, enak makan dan enak tidur ... He he he ...” Kataku setengah malu karena bangun agak siang.


“Ya gak apa-apa ... Itung-itung liburan ...” Senyum itu sangat manis.


“Kang Asep kemana?” Tanyaku sambil celingak-celinguk mencari suami Teh Ina.


“Udah pergi, cep ... Tadi subuh ... Ada proyek bangunan di kampung sebelah ...” Jawab Teh Ina.


“Oh ... Aku mandi dulu ya teh ...” Kataku seraya bangkit dan bergerak ke pancuran.


Walau hari mulai merangkak dari pagi, suasana di luar yang berkabut membuat hari tampak kelabu. Sepertinya daerah ini jarang mendapatkan sinar matahari. Oleh karena itu aku selalu menyebutnya ‘negeri di atas awan’. Pancuran air dingin di pagi hari, membuat tubuhku mendapatkan oksigen yang memadai untuk mengurangi stres di otak. Mandi pagi ini membuat tubuhku menjadi segar, tetapi dinginnya air membuatku segera menyudahi mandi. Setelahnya, aku membenahi diri di kamar lalu keluar sambil membawa kameraku.


“Cep Wawan mau motret-motret ya ...?” Ucap Teh Ina yang keluar dari pintu tengah membawa segelas teh hangat untukku.


“Iya teh ... Mau cari tempat yang bagus untuk pemotretan ...” Jawabku sembari menerima gelas yang disodorkannya.


“Teteh tau tempat yang bagus ...” Ucapnya itu membuatku sangat tertarik.


“Di mana teh?” Tanyaku sembari nyeruput teh hangat.


“Di kampung atas ... Tapi agak jauh dari sini ...” Jawabnya.


“Teteh mau nganter?” Tanyaku lagi setengah bergurau.


“Hhhmm ... Boleh ... Tapi pulangnya jangan malem-malem ...” Ucap Teh Ina lirih.


“Gak lah ... Paling motret satu atau dua jam ...” Kataku.


“Ke sananya gimana? Kalau naek motor sekitar dua jam ...” Teh Ina menatapku.


“Kita sewa motor aja ... Teteh tunggu di sini ... Aku ke rumah Mang Jajang mau nyewa motornya ...” Kataku lagi.


Seperti tiga tahun yang lampau, aku pernah menyewa motor untuk pergi agak jauh dari tempat ini. Tak jauh letak rumah orang yang memberikan sewa motornya untukku. Mang Jajang menyambutku sangat ramah. Setelah kuutarakan maksudku, tanpa ragu Mang Jajang memberikan motornya. Kulajukan motor untuk menjemut Teh Ina dan ternyata wanita itu telah bersiap-siap di halaman rumah.


Kami pun melaju di jalan berdebu karena sebagian sudah tak beraspal lagi serta naik turun dan berkelok-kelok. Perjalanan kami pun harus melalui hutan yang lumayan lebat. Namun karena perjalanan kami cukup menyenangkan, waktu dua jam rasanya sangat singkat. Kami sampai di sebuah sungai di tengah hutan. Mataku disuguhkan dengan pemandangan aliran air sungai yang begitu jernih dan rindangnya pepohonan di sekelilingnya. Suasana sekitar gelap karena lebatnya pepohonan yang berumur puluhan tahun. Buih air semakin banyak, bentangan vertikal air terjun kecil dengan tinggi sekitar 10 meter menjadi penyejuk lelahnya perjalanan kami untuk sampai ke sini.


“Luar biasa teh ... Indah sekali ...” Pujiku pada alam sekitar. Teh Ina tersenyum lalu berjalan menuruni jalan setapak menuju sungai. Aku pun mengekor di belakangnya.

“Rumah teteh ada di sebelah sana ... Paling sepuluh menitan lagi, pas keluar hutan ini ada kampung ... di situ rumah teteh ...” Ucap Teh Ina sesaat kami sudah berada di pinggir sungai.


Tanpa berpikir panjang, aku langsung memotret objek-objek yang aku pandang bagus dengan kameraku. Air terjun dan sungai yang mengalir di bawahnya sungguh pemandangan alam yang luar biasa indah. Antara percaya dan tidak percaya aku terus memotret. Namun tiba-tiba aku terhenyak ketika mendengar benda jatuh ke dalam sungai. Seketika itu juga, aku menoleh ke sumber suara. Jantungku seperti copot, namun tak ada jeda waktu untuk aku meloncat ke arah Teh Ina yang kecebur ke dalam sungai.


“Teh ....” Pekikku sambil berloncatan di atas batu-batu sungai.


“Aih ... Kepeleset ... hi hi hi ...” Tawa renyahnya membuat hatiku sedikit lega.


“Aduh ... Gak apa-apa teh ...?” Aku masih khawatir dan membantunya berdiri.


“Gak apa-apa kok ...” Jawabnya sambil tersenyum sambil naik ke atas batu yang cukup datar dan besar.


Sekerika itu juga aku menjejak ruang hampa yang kosong dan melihat maha karya yang begitu luar biasa. Seperti ada yang menggerakan, kamera aku arahkan pada sosok wanita berbaju basah yang sedang berdiri di atas batu itu. Beberapa kali jepretan keluar dari kameraku. Penampilan wanita itu sangat artistik dan sensual.


“Cep ... Apa-apaan ... ihk ...” Ucap teh Ina setengah protes namun senyumannya mengembang menambah aura natural dalam karyaku kali ini.


“Diam di situ teh ...” Kataku sambil terus memotretnya dari berbagai sudut.


Teh Ina pun berdiam diri sambil senyum-senyum malu saat aku terus memotret dirinya. Namun tidak pernah sekali pun aku memintanya, wanita berkerudung dengan baju basahnya itu mulai bergaya bak model profesional. Aku semakin bersemangat mengambil pose dirinya bahkan lama-lama aku mengarahkan berbagai gaya. Beberapa saat kemudian, aku sudahi sesi pemotretan. Sambil duduk berdampingan di atas batu besar, aku perlihatkan hasil pemotretan padanya.


“Gak nyangka bisa bagus begini ...” Pujiku.


“Hi hi hi ... Masa sih cep ... Wajah kampung disebut bagus ...” Sanggahnya malu-malu.


“Ini laku dijual, teh ... Bisa jadi uang ...” Selorohku sambul tersenyum.


“Ah ... Masa??? Hi hi hi ...” Teh Ina tak lepas dari tawa lirihnya.


“Serius, teh ... Sedikit diolah oleh komputer ... Foto-foto ini bakalan laku ...” Kataku tidak mengada-ada karena memang hasil pemotretanku ini bernilai artistik lumayan tinggi.


Kami pun bercanda dan tertawa-tawa sembari meninggalkan lokasi pemotretan. Motor melaju untuk kembali pulang. Sepanjang perjalanan aku bercerita tentang profesiku sebagai desainer iklan produk komersial. Aku rasa wanita di belakangku ini cukup interest saat aku akan menawarkan foto-fotonya pada para customer-ku. Entah disengaja atau tidak, Teh Ina berkeluh kesah tentang keadaan hidupnya yang selama ini dirasakannya berkekurangan. Aku juga mendengar kalau keinginannya untuk hidup mapan dan berkecukupan. Tanpa terasa, dua jam sudah kami berkendaraan dan akhirnya sampai di rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang.


Aku duduk santai di atas tikar sambil memperhatikan foto-foto di layar kamera. Hasil foto yang dihasilkan sangat luar biasa terutama foto-foto yang menampilkan wanita berkerudung dengan baju basah. Perpaduan keindahan seni dan rasa sensualitas sangat kental dari foto-foto itu. Karena saking penasaran, aku kirim beberapa foto terbaik kepada customer-ku di bidang usaha pakaian muslimah. Tak lama, smartphone-ku berdering. Benar saja aku langsung ditawari kontrak untuk menggarap proyek iklan cetak dengan menggunakan foto-fotoku ini.


Teh Ina keluar dari kamar setelah mandi dan mengganti pakaiannya yang basah. Aku pandangi wajahnya lekat-lekat dan wanita itu sejenak membalas pandanganku lalu menunduk tersenyum tipis. Teh Ina duduk di depanku terlihat agak gugup. Tangannya memainkan lembaran tikar tanda ia sedang grogi. Langsung saja aku ceritakan kalau foto-fotonya tadi akan menjadi bahan iklan sebuah perusahaan busana muslim.


“Beneran cep ... Beneran itu teh ...?” Teh Ina bersorak riang ketika aku selesai menjelaskan kalau foto dirinya diterima oleh sebuah perusahaan untuk dijadikan iklan cetak.


“Iya teh ... Lumayan bayarannya buat model loh ...” Kataku sambil terseyum.


“Oh ya ampun ... Kok gak nyangka ...” Teh Ina menangkup mukanya kemayu.


Tiba-tiba smartphone-ku berdering lagi. Di layar tertera nama ‘Acong’ seorang pengusaha dealer mobil terkenal. Aku angkat teleponnya dan melakukan pembicaraan bisnis. Lagi-lagi aku mendapatkan order membuat iklan cetak untuk produk mobil barunya. Tawaran yang cukup fantastis karena pengusaha tersebut puas dengan hasil kerjaku selama ini. Aku sudahi pembicaraanku dengan Acong dengan wajah berseri-seri.


“Proyeknya banyak ya cep ...” Ucap Teh Ina dengan wajah yang ceria.


“Alhamdulillah, teh ... he he he ...” Sahutku sembari mengutak-atik kameraku.


“Kalau yang barusan proyek untuk mobil ya, cep ...” Teh Ina ternyata menguping pembicaraanku barusan.


“Iya teh ... Eem ... Sebenarnya teteh cocok untuk modelnya ... Tapi janganlah ...” Kataku sambil membedikan kameraku ke wajahnya.


“Loh kenapa, cep?” Tanya Teh Ina terdengar penasaran.


“He he he ... Janganlah teh ... Model mobil harus buka-bukaan ...” Aku berkata begitu saja sambil terkekeh.


“Buka-bukaan bagaimana maksudnya?” Tanyanya lagi. Aku pun mengangkat kepala dan memandangnya. Terasa sekali getaran aneh dalam suaranya. Aku bisa merasakan kalau Teh Ina sedang berpura-pura tidak mengerti.


“Maksudnya ... Buka baju ... Bugil gitu, teh ...” Jelasku pelan-pelan sembari terus menelisik reaksinya.


“Oh ... Pasti bayarannya mahal ya, cep ...?” Suaranya sedikit memelan dan langsung menundukan mukanya yang bersemu merah. Aku mencerna dengan baik perkataannya barusan.


“Ya ... Lima kali lipat dari yang tadi ...” Kataku sambil terus memperhatikannya. Teh Ina nampak gelisah, sesekali memandangku sekilas. Lama kami terdiam dan akhirnya, “Mau coba?” Aku memberinakan diri menawarkan. Wanita itu mengangkat wajahnya dan tersenyum.


“Iya ...” Jawabnya pelan.


“Yakin?” Tanyaku ingin memastikan.


“Iya ...” Jawabnya lagi dan kali ini keras dan tegas.


“He he he ... Tapi jangan kaku gitu mukanya ... Harus rileks seperti tadi di sungai ...” Kataku sambil berdiri mencari spot yang baik untuk pemotretan.


“Ihk ... cep mah ...” Ucapnya genit.


Otakku mulai berputar memikirkan konsep pemotretan walau hanya sekedar sample. Bagaimana pun aku harus bisa meyakinkan customer akan produk yang aku tawarkan. Setelah aku mendapatkan ide langsung saja aku memberikan pengarahan pada modelku.


“Hhhhmm ... Teteh lepas kerudung dan cuma pakai BH dan celana dalam putih ya ... Punya?” Tanyaku sesantai mungkin. Wanita itu mengangguk. “Terus pake make up tipis saja ...” Lanjutku yang dijawab dengan anggukan lagi. “Ok, lakukan sekarang!” Perintahku kemudian.


Teh Ina masuk dalam kamarnya. Aku menunggu dengan sedikit deg-degan. Aku memang sering memotret model-model bugil namun entah kenapa saat ini ada perasaan lain. Walau aku berusaha bersikap profesional namun pikiran-pikiran irasional menggerayangi kepalaku. Karena sejak pertama kali aku bertemu dengan wanita ini, rasa penasaranku muncul tanpa sebab. Wanita ini memiliki aura melumpuhkan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Sesuatu dalam dirinya tampaknya menyimpan banyak hal.


Beberapa menit berselang, keluar lah wanita itu dari dalam kamarnya. DEUGG! Jantungku berdenyut sangat kencang akibat kejutan yang tidak pernah aku bayangkan. Mataku memandang hampir tidak percaya. Makhluk apa yang sedang berdiri di sana? Makhluk cantik rupawan, dengan rambut lurus yang hitam panjang terurai, dengan bibir merah tipis berlesung pipih ditambah kulit putih halus bagaikan sutera, dan hidung sedikit mancung dengan pandangan mata yang sipit penuh dengan pesona keayuan. Payudaranya membusung penuh terbungkus BH putih polos. Perut rata tanpa lekukan-lekukan dan tumpukan lemak. Pinggulnya ramping dan pahanya terlihat kencang, putih dan mulus sekali.


“Cep ...” Ucap Teh Ina pelan membuyarkan kekagumanku.


“Oh ... I-iya ... Teh ...” Kataku terbata-bata.


Rasanya aku tidak memerlukan spot untuk pemotretan kali ini. Di mana saja dalam pose apa saja pasti akan menghasilkan foto terbaik. Aku mulai memotret dengan konsep yang berubah dari perencanaan semula. Aku biarkan Teh Ina bergerak secara alami bahkan gaya malu-malunya tersebut membuat daya pikat yang luar biasa. Awalnya terasa canggung namun lama kelamaan mengalir begitu saja. Bahkan kami sempat bercanda-canda di tengah sesi pemotretan. Aku memotret kadang-kadang sedikit nakal, memotret bagian payudara indahnya saja atau bagian pangkal pahanya saja. Bahkan aku tak merasa sungkan untuk merabai tubuh Teh Ina berpura-pura mengatur gaya dan pose.


Terpapar oleh kemolekan dan keindahan tubuh wanita yang sempurna ini membuatku merasakan ada suatu desiran aneh dalam diriku. Seperti adrenalin yang memberontak, darah bergejolak bagaikan deburan ombak ganas, berbagai perasaan terbersit dalam hati, dan akhirnya terbuai dalam hayalku sendiri. Tak ayal birahiku terangkat, pikiran erotis bergelora, kejantanan pun meronta.


“Teh pindah ke kamar ...” Pintaku pura-pura dan sangat tidak bermakna. Wanita seksi itu pun mengikuti perintahku. Teh Ina memasuki kamar dengan langkah anggun juga tampak gemulai saat berjalan.


Aku mulai lagi memotret sambil mengatur gaya dan posenya, itu pun hanya sebentar. Hasratku yang sudah sampai ke ubun-ubun menggelapkan akal sehatku. Kuperintahkan Teh Ina membuka BH dan tanpa ragu wanita itu melepaskan BH putihnya. Terlihat kedua bukit kembar milik Teh Ina begitu membulat sempurna dengan urat halus berwarna hijau dengan puting berwarna coklat kehitaman begitu menggoda. Ya, aku tak kuasa untuk tidak menggodanya. Aku mendekat tubuh Teh Ina yang terduduk di kasur tanpa ranjang, lalu berjongkok di depannya. Tanpa ragu, jari jempol dan telunjukku memilin puting susu yang menggemaskan itu. Si pemilik puting tidak bereaksi dan hanya tersenyum melihat tingkahku. Kalau sudah begitu, aku sangat berani mengenyot puting susunya.


“Slruup... slruup... mmm... slruup...” Dengan nikmat aku menghisap kedua puting wanita itu secara bergantian, buah dada montok itu juga aku remas dan ditarik dengan hebat, bermenit aku dengan bahagia ‘mimi susu’ Teh Ina. Sepasang tangannya meremasi rambutku.


Aku sudahi ngemut putingnya yang meruncing itu. Aku tatap matanya yang sayu sambil meletakan kameraku di pinggir kasur. Aku melihat anak matanya yang seakan-akan mengenali diriku. Sepertinya sedang mencoba untuk menyampaikan sesuatu. Tangannya yang semula melingkar di kepalaku kini membingkai wajahku. Ibu jarinya mengusap wajahku lembut, menyalurkan kenyamanan.


“Teteh cantik sekali ...” Kataku lembut kepadanya.


“Cep ...” Aku tutup mulutnya dengan telunjukku.


“Jangan panggil cep lagi, teh ... Panggil saja Wawan ...” Pintaku sambil mempermainkan telunjukku di dagunya.


“Hhhhmm ... Kalau begitu jangan panggil teteh juga ...” Katanya pelan.


“Kita sama-sama panggil sayang aja ...” Desahku sembari mendekatkan wajahku pada wajahnya.


“Sayang ...” Desahnya. Helaan nafasnya terasa hangat di seputaran bibirku.


Perlahan bibir kami menyatu, saling menyapa penuh nafsu. Bibirku mengunci bibirnya dalam ciuman. Lidahku membelit dan mencari lidahnya, dia membalasnya dengan cepat. Hingga ciuman kami semakin dalam sambil tanganku meremasi payudaranya yang terasa semakin mengeras. Teh Ina mendesah halus saat ibu jari dan telunjukku memilin putingnya yang sudah sangat mengeras. Terasa tangannya berusaha menaikan kaosku. Sejenak aku lepas ciuman kami untuk melucuti pakaianku.


Wanita cantik itu tersenyum sembari memalingkan wajah menghindarkan matanya pada penisku yang sudah tegak perkasa. Tangan kananku menarik turun celana dalamnya hingga terlepas. Sambil memposisikan diri di tengah pahanya, aku bisa melihat rekahan indah berbentuk seperti bibir yang ditumbuhi bulu-bulu hitam halus di sekelilingnya. Warna merah muda menyembul ketika bibir vaginanya kusibak dengan jariku. Bibir kiri dan kanan vagina itu sedikit bergelambir atau seperti ada sayatan kulit tipis persis di pinggir mulut vagina. Pelan-pelan vagina itu kegesek dengan jari tanganku, cairan putih bening mulai mengalir dari sana.


Segera saja aku tempelkan penisku dengan posisi sedikit lebih tegak agar penisku bisa lebih leluasa bergerak di permukaan vaginanya. Kedua paha Teh Ina sekarang terpentang lebar, vaginanya terbuka dan siap menerima tusukan-tusukan penis yang menegang. Kugeser pinggulku ke atas dan ke bawah lembut berirama. Penisku bergerak seperti mencongkel itilnya. Wanita cantik itu mendesah-desah. Kedua mata sayu itu memandangku penuh harap, memang indah dan sangat merangsang.


“Aaahh... sayaangg...” Desah Teh Ina. Dia menggapai tubuhku dan ditarik menelungkup di atas tubuhnya.


“Masukin ya ...” Bisikku di telingannya.


“Iya ...” Balas bisiknya.


Dengan insting kelelakian, kepala penisku mencari lubang kenikmatan wanita cantik di bawahku. Perlahan kepala penisku mulai membelah celah vagina Teh Ina, lalu sedikit demi sedikit batang penisku mulai masuk ke dalam liang senggamanya yang hangat dan basah itu. Bukan main, aku merasakan nikmat luar biasa kehangatan dinding vagina Teh Ina serta kejutan-kejutan kecil mulai dari kepala hingga pangkal penisku yang masuk tertelan habis ke dalam lubang kenikmatan itu.


“Sayaanngg ...” Desahku berbisik di telinga kirinya.


Karena aku tidak ingin cepat-cepat kehilangan nikmat dunia ini dengan segera kukecup kening Teh Ina. Matanya terpejam manis. Bibirnya yang sensual kukecup sekilas. Sementara Teh Ina memeluk leher serta kepalaku sambil mendesah-desah kecil. Beberapa saat kemudian, pinggulku bergerak pelan naik turun. Kejantananku mulai bekerja sebagaimana mestinya. Kini mata sayu Teh Ina menatap syahdu ke arahku, dan aku pun tersenyum.


“Clepppp… Slerppp… Clepppp… Slerppp… Clepppp… Slerppp…” Terdengar suara kewanitaan yang basah karena godaan kejantananku.


Sambil terus menggenjot Teh Ina, bibirku berusaha mencapai payudaranya. Puting susu yang sudah sangat tegang mengacung itu kuhisap dan kujilati bergantian, rupanya itu bagian sensitif kedua setelah vaginanya. Wanitaku menjerit kecil. Beberapa saat berselang, aku mulai menaikan intensitas menarik ulur penisku pada lubang nikmatnya. Menggesek tiap dinding vagina Teh Ina untuk menggali kenikmatan dunia. Air cinta merembes keluar dari vaginanya memberi rasa licin dan bunyi becek di antara penyatuan kami.


“Aaahhh... sayyaanggh... aahhh...” Desahku ketika mempercepat gerakan naik turunku.


“Iniii... aaahhh... enaakk... aahhh... sayaanngg... aaahhh...” Desahan Teh Ina.


“Sayang sukaaa ... gaak...?” Tanyaku sembari mendesah nikmat.


“I...yaaa.... aahh... aahh..” Jawaban mendesah Teh Ina.


Gerakan semakin liar. Penisku dengan gagah perkasa mengorek liang vagina Teh Ina yang semakin banjir oleh cairan kewanitaannya. Gesekan antar kulit penisku dan liang senggamanya sangat terasa licin dan semakin hangat, otot vaginanya seperti menjepit secara perlahan-lahan. Aku terus menyodok dan mendorongkan penisku. Aku melakukannya cukup lama. Sekitar duapuluh menit lebih. Lalu terlihat Teh Ina menegang dan merangkulku dengan kencang. Aku tahu ini saatnya dia orgasme.


“Aaahhhh... aakhhh... akuuuu... keluaarrrr!” Desah Teh Ina sambil memelukku sangat kencang dan tiba-tiba aku merasakan penisku tersiram oleh cairan hangat di dalam sana.


Aku pun menghentikan aktifitasku menunggu Teh Ina yang nafasnya kini terengah-engah akibat orgasmenya. Tiba-tiba aku melihat Teh Ina menitikan air matanya. Melihat air mata itu, aku lantas merasa bersalah kemudian mulai membuka suaranya.


“Maafkan aku .... Aku tidak bisa menahannya ..." Kataku kemudian melepaskan penisku lalu hendak bangkit. Namun, buru-buru Teh Ina menghapus air matanya dan menahan badanku seraya berkata.


“Jangan pergi.” Kata Teh Ina sambil mempererat pelukannya. Aku yang tertahan menaikan sebelah alis tanda bingung.


“Kenapa? Aku tidak ingin membuatmu menangis ...” Kataku sambil mengusap pipinya lembut.


“Tidak apa-apa ... Aku menangis karena aku bahagia ...” Kata Teh Ina lalu mencium bibirku.


“Bahagia?” Tanyaku semakin bingung.


"Iya ... Aku bahagia ... Ini pertama kalinya aku dapet bucat ...” Ujar Teh Ina setengah berbisik yang kini wajahnya merona mengucapkan kata-kata itu.


“Eh?” Kataku heran dan bingung karena Teh Ina bilang bahwa ini pertama kalinya Orgasme. “Apa suami-suaminya tidak pernah membuat dia orgasme?” Batinku.


Aku menatap matanya lalu kami berciuman mesra. Tak lama, penisku dipegang Teh Ina kemudian diarahkan ke lubang vaginanya. Setelah pada tempatnya, aku sorong penisku pelahan dan mulai ditelan lorong nikmat, hangat nan basah milik Teh Ina. Aku mendiamkan sebentar agar Teh Ina bisa menerima kedatangan penisku.


“Ayo... sayang ... ewe ... ewe aku ...” Bisik Teh Ina. Kata-kata vulgar itu membuatku sangat bersemangat.


Aku pun bergerak memaju-mundurkan penisku di dalam vaginanya. Teh Ina pun kembali mengerang kenikmatan. Tak lupa aku meremas-remas payudara Teh Ina yang sekal dan mencium bibirnya untuk menambah proses rangsangan. Tanpa mengalami hambatan, penisku terus menerjang ke dalam lembutnya vagina Teh Ina. Batang penisku sepeti dipilin-pilin. Teh Ina yang mulai bergairah kembali terus menggoyangkan pinggulnya.


“Aaakhhh...ughhhh...lebih...cepaathhh!” Desis Teh Ina sembari bergerak mengimbangi genjotanku.


Aku pun memaju-mundurkan pinggulku lebih cepat dan membuat Teh Ina mendesah kenikmatan. Penisku terus saja keluar-masuk mengisi seluruh relung vaginanya. Tak terasa hampir duapuluh menit kami memacu kenikmatan untuk menuju puncak. Penisku pun terasa dijepit lebih erat dari yang tadi, tanda bahwa Teh Ina akan segera orgasme lagi. Aku memaju-mundurkan pinggulku lebih cepat agar Teh Ina mencapai orgasmenya.


“Akhhhh... saayyaangg... akhuuuu... keluarrr...lagiii!” Teh Ina pun mencapai orgasme yang kedua kalinya.


Kembali penisku disiram cairan hangat oleh vaginanya yang membuat perjalanan kejantananku semakin lancar. Namun aku kini terus memaju-mundurkan pinggulku dan tidak lupa memberi rangsangan kembali pada Teh Ina agar kami dapat berpacu lagi. Tak terlalu lama, Teh Ina pun terangsang kembali dan mendesah lagi.


“Aakkhhh... iniii... hebatttt... saayyaannghh...!” Racau Teh Ina karena aku bisa membangkitkan gairah seksual miliknya.


Untuk kesekian kalinya kembali penisku menjelajahi liang vagina yang semakin basah dan berdenyut. Aku menggerakkan pantatku untuk mengocok penisku di dalam vaginanya, Teh Ina menyambut dengan erangan dan gerakan pinggul yang bisa memelintir-melintir batang penisku dengan liarnya. Semakin lama gerakanku semakin cepat dan gerakannya pun semakin cepat dan liar. Lenguhan nikmatku dan erangan nikmatnya bersatu padu membangun suatu komposisi musik penuh gairah dan merangsang, semakin lama suara erangan dan lenguhan nikmat semakin riuh rendah. Hingga akhirnya pantatku bergerak sangat keras dan liar tak terkendali demikian pula gerakan pinggulnya. Gerakan kami sudah menjadi hentakan-hentakan nikmat yang keras dan liar.


Hingga akhirnya aku merasa gelombang yang maha dahsyat keluar dari dalam diriku melalui penis yang semakin keras dan kaku dan akhirnya tanpa dapat kukendalikan tubuhku menegang kaku dan badanku melenting ke atas serta mengerang melepas nikmat yang tak tertahankan “Aaarrrggghhh….!!!” Dan secara bersamaan Teh Ina memekik nikmat, “Aaaaakkkkhhhh…!!!“ dengan badan yang kaku dan tangan yang mencengkram punggungku dengan sangat keras.


Tak lama kemudian, tubuh kami ambruk kelelahan seperti orang yang baru saja berlari cepat dalam jarak yang sangat jauh. Aku menggulingkan tubuhku agar tidak menindih tubuhnya. Dan kami telentang berdampingan sambil menikmati sensasi kenikmatan orgasme yang masih datang menghampiri kami. Setelah beberapa menit kami terdiam menikmati sensasi orgasme dan napas yang perlahan-lahan mulai pulih, Teh Ina memiringkan badannya menghadapku sambil tangannya membelai-belai dadaku.


“Sayang ... Aku ingin ikut ke kota denganmu ...” Suara lirihnya membuatku terkejut.


“Kenapa?” Tanyaku sembari memiringkan badan menghadapnya.


“Aku bosan hidup susah ... Aku ingin sekali hidup senang, banyak uang ... Aku rela bekerja apa saja, asal mendapatkan uang banyak ...” Aku memandangnya pilu. Jika aku tidak salah mengartikan, tatapannya sarat dengan kegetiran.


“Aku usahakan kamu diterima jadi model mobil ini ... Kalau diterima oleh klien-ku, baru kamu pergi ke kota ...” Jelasku sembari mengusap keningnya yang masih berkeringat.


Teh Ina memelukku erat dan menyembunyikan kepalanya di dadaku. Setelah mendapatkan kenikmatan dunia darinya, kini aku merasa iba. Sejak detik ini aku berjanji dalam hati, akan kubuat dia bahagia bagaimana pun caranya. Aku semakin terenyuh ketika Teh Ina menceritakan penyesalannya menikah dengan Kang Asep karena perangai suaminya itu sangat lah buruk. Selain kasar, Kang Asep sering main perempuan dan gemar berjudi. Ya, aku semakin bertekad untuk membawa Teh Ina pergi dari kampung ini.


----- ooo -----

Tiga Bulan Kemudian ...


Suasana cafe sangat sepi, mungkin sudah mau tutup. Aku menunggunya sudah lumayan lama. Untung saja aku masih punya hiburan sehingga tidak terlalu jenuh menunggu. Aku melihat foto-foto hasil jepretanku tadi pagi sambil menghisap rokok. Foto seorang wanita paruh baya namun kecantikan dan kemolekannya bisa menandingi model-model belia. Aku tersenyum saat melihat pose-pose menantangnya membuat kejantananku tidak mau diam di balik celana.


“Haduh ... Maafin sayang ... Dasar klien gila ...” Teh Ina terengah-engah sembari duduk di sebelahku.


“Kenapa, sayang? Klien gila bagaimana?” Tanyaku sambil melihat penampilannya yang sangat seksi dan menantang.


“Perjanjian short time ... eh, minta long time ... Aku gak mau nemenin dia walau ditambah fee ... Gak selera ...” Katanya sembari meminum air mineral botol lalu membakar rokoknya.


“Ih ... Padahal uang besar kan?” Godaku sembari mengusap pahanya yang terbuka karena Teh Ina memakai rok super mini. Dan aku akui, tak akan ada yang percaya kalau wanita di sebelahku ini sudah berusia 37 tahun. Penampilannya persis wanita berusia 20 tahunan.


“Malam ini ... Aku ingin sama kamu ...” Teh Ina mengerling genit.


“He he he ... Foto yang tadi pagi ... Ada yang selera ...” Kataku mulai serius.


“Aih beneran? Siapa ... Siapa ...?” Teh Ina begitu bersemangat.


“Orangnya lumayan ganteng ... Pengusaha hotel ... Tarif semalam 90 juta ... Bagaimana?” Tanyaku.


“Oke ... Deal ... hi hi hi ...” Teh Ina tentu bersemangat mendengar nominal itu.


Banyak perubahan di kehidupan Teh Ina. Sekarang wanita itu boleh dibilang kaya raya. Selain menjadi model papan atas yang berpenghasilan tinggi, ia pun berprofesi sebagai wanita penghibur kelas kakap. Aku bersyukur bisa membantu Teh Ina menggapai keinginannya walau di jalan yang miring. Dan aku bersyukur juga karena wanita ini sangat menyayangiku tetapi dia tidak pernah memaksaku untuk menikahinya. Kami berdua memang hidup bersama namun tanpa ada ikatan. Masing-masing kami bebas menentukan hidup sendiri.


TAMAT

ليست هناك تعليقات for "KISAH DI NEGERI ATAS AWAN"