Prank Call (Episode 6: Dita dan Abah Ono)
“Permisi!”
Ada suara bapak-bapak dari luar rumah. Aku tidak tahu ada keperluan apa, mungkin mau minta sumbangan atau keperluan lainnya. Aku pergi ke luar dan berdiri di depan pagar rumah.
“Ya, ada apa pak?”
“Permisi neng, katanya manggil abah buat pijit”
“hah?”
Aku coba kendalikan suasana
“bukannya kata bi Indri tadi mau nelepon mbok sarinah?”
“iya neng, mbok Sarinah itu istri saya, tapi kebetulan dia ada panggilan pijit ke komplek sebelah. Jadi abah yang gantiin” sikapnya khas orang kampung, yang sopan dan apa adanya. Tapi akal bisnisnya boleh juga, harusnya Mbok Sarinah bilang dong kalo gak bisa pijit, malah ngirim suaminya.
“iya deh abah, silakan masuk” aku membukakan gerbang untuknya.
Aku lihat bapak tua itu melepaskan sendalnya sebelum melewati pintu pagar, padahal dipake juga gak apa-apa.
aku persilakan dia masuk ke dalam dan duduk di kursi tamu. Tapi dia menolak.
“nggak lah neng, abah duduk di bawah aja”
“loh kok di bawah, di atas aja bah”
“gak pa-pa, enakan di bawah”
Yaudah lah dari pada harus berdebat dengan bapak tua ini. Aku nurut saja. Sambil aku menyiapkan minuman untuknya aku basa-basi untuk mencairkan suasana.
kakek Sugiono
“namanya siapa bah?”
“sugiono neng, biasa dipanggil abah Ono”
“Oh abah Ono, tadi kesini naik apa bah?”
“jalan kaki neng”
“hah? Jalan kaki?”
“iya neng, udah biasa”
“kan lumayan jauh bah”
“deket neng segitu mah, jangan kira karena abah udah tua, gak ada tenaganya”
Suasana mulai cair.
“oh jadi abah kuat ceritanya nih? Sekuat apakah?”
“Kuat lah neng, tanya aja Mbok Sarinah, istri abah”
Hah. Maksudnya apa. Kenapa aku harus tanya ke istrinya. Memang yang dimaksud kuat, kayak gmana.
“iya deh, percaya, ini minumnya ya bah, diminum dulu. Pasti abah haus kan?”
“makasih neng”
Dia hanya minum sedikit. Kebiasaan orang kampung yang malu-malu. Sebenarnya aku mau bilang kalau gak jadi pijit dan ngasih ongkos dia udah datang kesini, tapi pasti abah Ono menolaknya. Aku jadi kasian padanya karena udah jauh-jauh datang kesini, jalan kaki pula, lalu pulang begitu saja tanpa membawa apa-apa.
“nanti pijitnya di ruang tengah aja ya bah” sambil aku menunjuk tempatnya “biar enak, sambil nonton tv”
“iya neng, yang mau dipijitnya mana ya neng? belum keliatan dari tadi”
Hah. Maksudnya? Aku gak ngerti, kan aku yang mau dipijit, jadi dari tadi dia ngira siapa yang mau dipijit.
“kan saya yang mau dipijit bah”
Si kakek itu langsung kaget. Matanya sedikit melotot, tenggorokannya langsung kering, walau tadi sudah minum.
“sa...ya kira su..aaaa..minya neng yaa..ng maa.uu dipiiijit” dia gelagapan, untung gak kena serangan jantung.
“bukan bah, saya tadi minta bi Indri panggilkan tukang pijit. Trus katanya dia telepon Mbok sarinah”
“oh, saya gak tau neng, tadi Mbok Sarinah bilangnya suruh pijit di alamat ini. Neng Indri nya mana?”
“Bi Indri tadi pulang duluan, ada saudara datang dari jauh katanya. Abah istirahat dulu, sambil saya siap-siap ya bah”
“iii..ya neng”
Sialan ternyata miskom. Bi Indri gak bilang kalau aku yang mau dipijit, Mbok Sarinah ngiranya suamiku yang bakal dipijit, jadi dengan tanpa beban dia nyuruh suaminya datang kesini. Aduh gimana ini, aku bingung. Tapi karena badanku sudah sangat pegal dan rasa kasian kepada kakek sugiono, aku terpaksa dipijit kakek itu. duh pasti kakek tua bisa bisa ngeliat badan aku, proses pijit dimanapun sama aja kayak gitu. Tapi entah mengapa, rasa takut tersebut memunculkan excitement tersendiri. Belum pernah ada tangan lelaki lain yang menyentuh bagian tertutup tubuhku. Dan kini, sebentar lagi, sebagian dari bagian tertutup itu akan bisa dilihat lelaki lain, bahkan disentuhnya. Anggap saja ini hari keberuntungamu kakek Sugiono.
Aku masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap. Aku tanggalkan pakaian luarku dan aku lilitkan handuk ke tubuhku. Handuk itu hanya mampu menutupi sebagian kecil pahaku, dan payudara bawahku. Dibalik handuk itu aku hanya memakai bra dan celana dalam. Aku keluar, dan terlihat si abah Ono sedang merapikan alas untuk sesi pijat. Ia juga terlihat menyiapkan minyak yang akan digunakan untuk memijatku.
“Udah siap bah?”
Dia kaget mendengar suaraku. Tanpa menoleh, malahan kepalanya menunduk ke bawah ia menjawab dengan gerogi.
“i..ya neng, si..ap”
“aku berjalan melewatinya, aku yakin kibasan angin saat lewat mampu menyampaikan aroma wangi tubuh bagian bawahku kepada si abah yang sedang duduk menunggu. Aku kemudian duduk membelakangi abah dan membuka handuk yang melilitku, kemudian merentangkannya. Sayup-sayup aku bisa mendengar si abah menelan ludahnya. Aku menunggu, tapi tidak ada reaksi dari si abah.
“bah! Ini handuknya pegang dulu! Kok diem aja, jadi pijit gak?”
“ooooh, i..ya, maaf neng”
Dia kemudian memegang handuku. Aku memposisikan diri telungkup di atas matras empuk, kakiku menjulur ke belakang dan kepalaku bersandar pada bantal, yang ditopang juga oleh kedua tanganku. Si abah kemudian menutup tubuhku dengan handuk itu, dari atas punggung sampai ke betis kaki.
Sesi pijatpun di mulai. Si abah mulai dari telapak kaki, dia melakukan pijatan tanpa minyak terlebih dahulu. Ditekan-tekannya titik-titik sarap di telapak kaki, lalu dilanjutkan ke jari-jari kaki. Rasanya enak sekali, sepertinya memang si abah sudah telaten dan berpengalaman. Titik-titik saraf yang ditekan si abah sedikit meringankan rasa pegal yang aku rasakan di daerah kaki, terutama betis dan paha. Kepalaku juga terasa ringan. Aku menikmati sesi pijat ini, walaupun dilakukan oleh yang berbeda jenis kelamin. Setelah beberapa kali melakukan pijatan di telapak kaki secara bergantian, abah Ono melanjutkan ke daerah betis. Dia melipat handuk sampai ke atas lutut.
“AW!” aku kesakitan. Abah Ono pun kaget.
“maaf neng, terlalu keras ya?”
“Iya bah, kurangin dikit ya!” ternyata benar walaupun sudah berumur, aku taksir usianya sudah 50 tahun lebih tapi tenaganya kuat sekali. Mungkin karena sering memijat bapak-bapak, jadi ototnya sudah terlatih.
“segini neng? Bilang ya kalau udah enakan?” dia mulai mengurangi tenaganya dan memijat dengan tenaga yang sesuai dengan keinginanku.
“iya segitu aja bah”
Dia kemudian mulai memijat daerah betis, dari bawah ke atas, dan ke bawah lagi. Tak lupa dia juga berganti memijat kaki yang satu lagi. Rasanya enak sekali pijatan abah Ono ini, sampai-sampai aku sedikit mengantuk dan mulai memejamkan mata. Tidak tertidur, hanya menikmati saja pijatannya.
“ma..af ya neng”
Aku tidak merespon ucapannya. Abah Ono kembali melipat handuku ke atas, sekarang hanya menutupi pantatku saja. Berarti sekarang paha mulusku terpampang jelas di hadapan abah Ono. Dia beberapa kali menelan ludahnya sendiri. Setelah melipat handuku dia tidak langsung memijat pahaku. Dia kembali ke betis baru naik ke paha bawah. Aw rasanya geli sekali saat tangan kasarnya menyentuh kulit pahaku yang mulus. Abah Ono kaget melihat reaksiku. Sempat dia hentikan pijatannya, tapi kemudian dia lanjutkan kembali. Aku bisa merasakan tangannya agak sedikit gemetaran memijat pahaku. Mungkin dia tidak pernah memijat perempuan sebelumnya, atau sudah pernah, tapi hanya ibu-ibu kampung biasa yang sudah beranak banyak, yang tubuhnya sudah gemuk-gemuk. Sedangkan sekarang dia berhadapan dengan seorang perempuan cantik, mulus, putih, dan walaupun sudah beranak satu, namun payudara dan pantatnya masih seperti anak gadis. Kenyal dan sekal.
Tangan abah Ono mulai naik ke paha atas bagian dalam. Setiap gerakan tangannya di kulit pahaku memberikan sengatan listrik yang membuat vaginaku gatal. Dia masih memijat sekitar paha atas bagian luar, tidak berani masuk ke bagian dalam, di mana vaginaku berada. Mungkin dia takut dibilang gak sopan memijat daerah itu.
“sekarang pakai minyak ya neng”
“iya bah”
Si abah mulai mengoleskan minyak ke tangannya kemudian mengulangi pijatan dari telapak kaki. Kali ini si abah mengambil posisi di belakang kakiku. Dari sana dia bisa dengan jelas melihat bagian bawah pantatku dan mungkin lipatan vaginaku, karena handuk yang ia lipat tadi, tidak ditutupnya kembali. Aku coba mengintip dari kaca pintu dapur yang ada dihadapanku. Dari kaca itu aku bisa melihat abah Ono menatap tajam bongkahan pantatku. Aku sidikit mempermainkannya dengan sedikit membuka pahaku lebih lebar, tapi kemudian merapatkannya kembali.
Aku masih punya harga diri, jadi aku turunkan handuk lebih ke bawah ke atas pahaku, dengan begitu bisa sedikit menutupi daerah kemaluanku. Tampaknya si abah merasa tidak enak dengan apa yang baru lakukan. Tapi dia tetap profesional meneruskan pijatannya. Sekarang dia melumuri pahaku dengan minyaknya dan mulai memijat daerah itu. gesekan antar tangannya dan kulit pahaku ternyata terasa lebih enak dengan adanya minyak urut. Aku semakin merasa geli dan keenakan. Dinding vaginaku berkedutan, gatal, dan sedikit becek, sepertinya cairan vaginaku keluar. Setiap gerakan pijatannya membuat pantatku bergoyang sedikit. Aku sampai menggigit bibir bawahku karenanya.
Si abah yang sudah berpengalaman rupanya tau, jikalau aku sedang terangsang dengan pijatannya. Yang tadinya dia tidak berani menjamah paha bagian dalam, kini tangannya mulai nakal dan masuk semakin dalam. Dia tidak menyingkap handuknya, tangannya menelusuk masuk lewat bawah. Hanya sebentar, dia tarik kembali tangannya memijat bagian paha lainnya. Tapi sejurus kemudian tangannya masuk kembali, dia sepertinya ingin mengetes reaksiku, marah dengan tindakanya atau tidak. Mendapat angin segar, dia mulai sering memasukan tangannya ke bagian dalam, sampai kadang menyentuh bibir vaginaku yang masih terbungkus celana dalam warna putih. Aku hanya bisa pasrah, menikmati setiap gesekan tangannya di paha dan bibir vaginaku. Malah kini dia semakin lama memijat daerah lipatan antara paha dan vagina, bahkan jarinya sengaja bergerak-gerak di bibir vaginaku. Ahhhhh... aku panas dingin menahan rangsangannya. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku dan memejamkan mata. Abah Ono tidak lagi memijat, tapi lebih seperti meraba pahaku berulang kali. Dia juga sempat menyelipkan tangannya di antara dua pahaku, sehingga aku melebarkan pahaku. Hal ini justru membuat dia lebih leluasa memberikan rangsangan ke vaginaku. Aku merasakan celana dalamku mulai basah, entah karena minyak yang menempel dari tangan abah Ono atau dari cairan vaginaku sendiri.
“wah badannya pegel semua ya neng?” Abah Ono sepertinya mau mencairkan suasana yang sudah awkward ini.
“i..ya bah, pegel semua, he... hee..” sekarang aku yang mulai gerogi ama si abah.
“Padahal kan neng mah gak perlu nyangkul di sawah. Abah ama si mbok Sarinah kalau lagi musim panen, sering pergi ke sawah.”
“oo...hh... he..bat dong pu..nya sawah si abaaah.” Kenapa suaraku jadi agak sedikit mendesah.
“bukan punya saya sih neng, saya sama istri Cuma bantu-bantu aja. Itu sawahnya pak RT, jadi kalau lagi musim panen, biasanya minta tolong warga kampung. Ya lumayan lah neng, dapet beras buat makan.”
Selama mengobrol tangannya mulai nakal menjamah vaginaku. Dia mulai berani menggeser-geser celana dalamku, sehingga aku semakin terangsang dan sedikit mengangkat pantatku beberapa kali. Suaraku juga sedikit mendesah setiap kali meladeni obrolannya. Lalu dia bercerita mengenai kondisi perkampungannya yang tidak lagi bisa aku mengerti karena terlalu menikmati rangsangan pada vaginaku. Aku hanya bisa memejamkan mata dan terdiam. Setelah beberapa lama, dia menghentikan aksinya.
“sekarang pijat punggungnya ya neng”
Aku membetulkan posisiku, karena dari tadi sudah tidak karuan. Aku menghela nafas bersuyukur dia menghentikan aksinya di daerah pahaku. Kalau diteruskan bisa jebol pertahananku.
Abah Ono melipat handuku ke bawah, jadi sekarang handuk itu hanya menutupi pantatku saja.
“Neng, tali BH nya dicopot dulu ya, takut kena minyak”
“iya bah”
Abah Ono melepaskan tali BH ku dan menyingkapnya ke sisi kiri dan kanan.
“maaf ya neng”
Degh. Tiba-tiba abah Ono mengambil posisi menduduki pantatku. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal di pantatku. Penisnya sudah keras. Dia tidak bertumpu sepenuhnya di pantatku, dia sengaja melipatkankan lututnya, sehingga kakinya melipat kebelakang di atas matras, dengan posisi itu berat badannya bertumpu pada lututnya sendiri. Makanya aku tidak merasa terlalu berat ditindih olehnya. Tapi tetap saja aku dapat merasakan ganjalan penisnya di pantatku. Aku seharusnya menolak, tapi yang keluar dari mulutku malah kebalikannya.
Abah Ono memijat neng Dita
“i..ya, lanjutin aja bah”
Dia pun kembali memijatku. Mulai dari pinggul kemudian naik ke punggung atas. Dia menekan punggungku dengan jempolnya kemudian naik ke atas sesuai bentuk tulang belakang. Tapi gerakan memijatnya membuat tubuh abah Ono bergerak, sehingga penisnya menggesek-gesek pantatku, walaupun masih terhalang handuk dan celana abah Ono, namun tetap memberikan rangsangan yang membuat cairan vaginaku semakin banyak. Dengan posisi seperti ini aku seperti sedang diperkosa dari belakang.
Saat memijat pundak dan punggung atas, tangan abah Ono mulai bergerilya ke arah pinggir. Dia berusaha meraih payudaraku yang tergencet antara badanku dan matras, sehingga membuat payudaraku menyembul kesamping. Bagian yang menyembul itu sedikit di remas-remas oleh abah Ono lewat pijatan palsunya. Padahal seharusnya dia hanya memijat daerah punggung saja, tidak perlu sampai off side ke samping segala. Dasar kakek mesum.
Aku tidak menyangka, padahal tadi saat bertemu, kakek ini begitu kikuk dan malu-malu. Tidak ada terlintas dalam pikiranku bahwa ia berani berbuat mesum. Lagi pula umurnya sudah tua juga, aku pikir dia sudah tidak punya hasrat lagi terhadap perempuan. Tapi ternyata lelaki tetaplah lelaki, saat melihat bidadari secantik ini tidak mungkin disia-siakan begitu saja. Aku menyesal tidak menyuruhnya pulang saja tadi. Seharusnya sekarang pun aku bisa menghentikan sesi pijat ini, tapi mengapa ada rasa dalam diriku yang tidak bisa menghentikannya, dan aku malu mengakuinya, apakah aku malah menikmati pelecehan ini.
Tidak mungkin, hidupku selama ini baik-baik saja. Aku wanita dari kalangan menengah ke atas, tidak mungkin takluk oleh kakek tua tukang pijit ini. Tapi semakin aku memikirkannya, gesekan penis abah Ono dan tangan nakalnya, malah semakin memberikan sensai nikmat yang belum pernah aku rasakan. Di saat aku semakin menikmati gesekan penisnya, tiba-tiba abah Ono mengangkat pantatnya lalu mundur ke belakang. Dia sekarang berjongkok di atas pahaku. Kemudian dia mulai memijat pantatku. Dia memijat kedua belah pantatku dengan kedua tangannya. Bahkan meremas-remas pantatku dengan lincahnya. Sekarang dia sudah tidak minta maaf lagi menyentuh daerah itu. dari bawah dia dorong ke atas pantatku, meremasnya, memijatnya, lalu kedua jempolnya merangsang vaginaku. Dia goyangkan jempolnya di bibir vaginaku, celana dalamku sudah menyelip diantara lipatan pantat dan bibir vagina, sehingga jempolnya dengan leluasa merangsang vaginaku yang sudah basah.
Aku belingsatan mendapat perlakuan seperti itu. Punggungku beberapa kali naik turun, menahan rasa nikmat yang bertubi-tubi. Pantatku bergoyang ke kiri dan kanan, bahkan terkadang maju mundur. Aku sudah tidak dapat menahan bibirku lagi, sehingga aku mendesah dengan bebasnya.
AhhhA hhhhh... oOohhhh... A,,bbaaaaaah..
Hentikan to..long..
Oo....ohhh
Hmmmppppp....
“sekarang balik badan ya neng, yang depan belum”
Ahhhh... ahhh..hhh dengan nafasku yang masih memburu karena perlakuannya tadi, aku mengikuti perintahnya membalikan tubuhku, sehingga sekarang aku berbaring di hadapannya. Handuk yang menutup pantatku sengaja tidak aku tarik sehingga handuk itu terjatuh saat aku berusaha berbalik, sekarang aku setengah bugil di hadapan kakek Sugino. Aku memegang payudaraku, BH nya sempat terlepas saat aku balik badan karena sudah kait belakangnya sudah di lepas. Sementara kakiku kanaku menyilang di atas kaki kiri, berusaha menutupi vaginaku yang sudah basah. Aku malu jika ketahuan Abah Ono kalau aku menikmati perlakuannya. Tangan kiriku juga menutupi daerah kemaluanku.
Aku memiringkan kepalaku, aku tidak mau menatap wajah abah Ono. Dia juga tidak berusaha menatap wajahku, kami saling membuang muka. Setelah mengolesi tangannya dengan minyak, Abah Ono kembali memijit kakiku dari bawah. Dia memijat jari-jariku sampai terdengar bunyi pletek. Dia kemudian berusah membuka lebar kakiku. Aku sedikit melawan, karena kalau terbuka, berarti vaginaku akan terlihat jelas olehnya. Perlawanan yang sia-sia, aku sudah kalah secara mental dan tenaga. Dia angkat kaki kananku lalu meletakan ujung kakiku di atas pundaknya. Sementara kaki kiriku dia geser ke samping. Posisi abah Ono sekarang semakin maju ke arahku. Lalu dia mulai memijat kakiku dari atas sampai bawah. Dari betis, sampai paha. Oh sungguh geli dan nikmat sekali.
Dia meraih tanganku, lalu berusaha memindahkannya. Aku pura-pura tidak mau. Tapi akhirnya tanganku berhasil digesernya. Dia menyibak celana dalamku kesamping. Lalu kami saling berpandangan. Aku melihatnya dengan mata sayu, tampak ekspresi sedih di wajahku, dan dengan tampang memelas, aku menggelengkan kepalaku.
“baa..h jangan!” air mataku mengalir.
Tapi abah Ono yang sudah terbakar birahi, tidak mempedulikanku. Jarinya masuk ke liang vaginaku. Dia mengocok-ngocoknya dengan pelan. Semakin lama jarinya semakin cepat keluar masuk di dalam vaginaku. Dari mulanya satu jari, dia masukan dua jari, lalu menjadi tiga jari. Tubuhku menggelinjang hebat, seperti cacing kepanasan. Aku mau melepaskan diriku, tapi kakiku terkunci, sehingga aku tidak bisa berbuat banyak. Aku berusaha menahan rangsanganya, tapi akhirnya pecah juga.
“Ahhhhh ..... AHHHH... OOHHHHHH.... A..PA YANG ABAH LAKUKAN?”
“OOHHHHH.... Ahhhhhh...”
“Maafin abah neng, abah gak kuat liat tubuh neng Dita. Dari tadi abah tahan-tahan, tapi tubuh neng dita begitu menggoda. Udah cantik, putih, dadanya gede, pantatnya semok, pas tangan abah nempel di kulit neng Dita kerasa mulus banget neng”
Kocokan jarinya semakin liar saja. Pertahanku sudah jebol, aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Terlebih perkataanya malah membuatku juga semakin bernafsu.
“AHHHHH... AHHHHH... BAH... TO...LONG HENTIKAN”
Dia menurunkan kaki kananku, apa dia menuruti perkataanku dan menganggap ini salah. Tapi ternyata dugaanku yang salah. Dia menarik celana dalamku, berusaha melepaskannya. Bukannya menolak, malah aku mengangkat pantatku, sehingga memudahkannya melorotkan celana dalamku. Setelah melempar celana dalamku ke samping Abah Ono menekuk kedua kakiku ke atas lalu membukanya lebar-lebar. Terpampanglah dengan jelas vagina basahku di hadapan Abah Ono. Dia mendekatkan wajahnya ke vaginaku, menghirup aroma surga dunia. Hal ini membuat cairan vaginaku semakin banyak. Wajahnya semakin mendekat. Yang aku rasakan hanya ada benda basah yang merangsang klitorisku.
Lidahnya menyapu klitorisku dengan liar, menjilatinya penuh rakus. Lidahnya bergerak lincah ke atas, ke bawah, ke kanan, lalu ke kiri. Kadang ia juga melalakukan gerakan memutar, lalu menyedot klitorisku.
Ohhhh.. OHHHHHH... Bah... terusin.
Kini lidahnya turun ke bawah. Menyisir setiap lekukan bibir vaginaku yang sudah banjir dengan cairan kenikmatan. Abah Ono terus menjilati bibir luar vaginaku. Sementara bagian dalam liang vaginaku semakin gatal saja, ingin digaruk. Mendapat kenikmatan seperti itu bibir ku tiada hentinya meracau liar. Aku berteriak-teriak, mendesah liar, bahkan tubuhku tidak hentinya bergeliat di atas matras. Mataku masih terpejam, aku tidak dapat menahan rangsangan yang diberikan lidah abah Ono. Selama ini aku tidak pernah merasakan nikmat seperti ini. Suamiku tidak pernah memberikan oral sex seperti ini. Kami biasanya hanya melakukan sex seperti biasa, foreplay dilanjut dengan eksekusi, lalu selesai. Tak pernah ia menjilati vaginaku seperti yang dilakukan abah Ono. Aku tidak tahu, ternyata nikmatnya sungguh tidak dapat dijelaskan. Aku seperti melayang ke udara, sengatan listrik menjalar ke seleluruh tubuhku, bahkan sampai ke setiap jengkal ujung jariku. Aku merasa semua beban hilang, yang ada hanya rasa kenikmatan, aku jadi ingin rasa ini terus berlanjut selamanya, tak ingin berhenti.
Walalupun aku semakin berharap mendapat kenikmatan, tapi akal sehatku masih belum menyerah. Ada sedikit pergolakan timbul dalam diriku. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini oleh lelaki yang bukan suamiku, lebih parah lagi laki-laki ini sudah tua dan berasal dari kampung, yang status sosialnya jelas jauh berbeda dengan keluargaku. Maka aku berusaha sekuat tenaga mengarahkan tanganku untuk meraih kepala abah Ono dan berusaha menyingkirkannya dari vaginaku. Tapi saat aku berhasil meraih rambut kepalanya, tiba-tiba lidahnya merangsek masuk ke dalam vaginaku, dia menggoyang-goyangkan lidahnya dalam vaginaku, menggaruk rasa gatal yang aku rasakan dari tadi, memberikan rasa nikmat yang lebih nikmat lagi.
“Aaaaa.......hHHHH A....Baaaaah..... E.....nak”
Bukannya menyingkirkan kepalanya, kedua tanganku malah semakin menekan kepala abah Ono ke arah vaginaku, membuat lidahnya semakin masuk dalam ke vaginaku. Kumis tipisnya juga menempel pada bibir vaginaku, yang malah membuat vaginaku semakin geli saja. Hidungnya menekan klitorisku, aduh rasanya semakin enak. Seluruh wajah abah Ono terbenam sempurna dalam vaginaku. Aku semakin menekan kepalanya masuk, aku ingin mendapat kenikmatan lebih. Tubuhku pun sudah bergerak tanpa kendali, pantat dan pinggulku bergoyang-goyang, seperti meminta untuk dipuaskan. Kedua kakiku yang semula menggantung bebas di udara kini melipat di belakang kepala abah Ono. Mengunci kepalanya agar tidak bisa kemana-mana. Diperlakukan seperti itu, libah dan bibir abah Ono semakin liar mengobol-ngobol vaginaku.
“Ahhhh.....HHHH,, AHHH.. Ahhhhhhhh”
“A,,,Ku, maaa....uuuu Ke..lu...aRRRRR”
Lidah abah Ono semakin ganas mengubek vaginaku, sedangkan goyanganku pun semakin liar. Aku berteriak-teriak tidak karuan. Mataku terpejam saking enaknya, kedua tanganku masih menekan kepala abah ono. Aku jambak rambutnya yang sebagian sudah ditumbuhi uban. Sementara pinggulku semakin bergerak dengan cepat menyambut setiap ransangan yang diberikan abah Ono.
“OOOHhhhhh.. teruuuuus Baahhhh... E...Naaaak”
“Ahh...Ahhh... ahhhh Abaaah.. aku keluuuuuaaaaarr”
Aku mengencingi wajah abah Ono. Betapa nikmat, squirting dan orgasme di saat yang bersamaan. Punggungku sampai menekuk ke udara saking nikmatnya. Nafasku terengah-engah seperti habis berolahraga. Badanku lemas semua dan tanpa aku sadari air mataku jatuh membahasi pipiku. Tapi aku merasa senang, ada rasa bahagia mencapai kenikmatan yang belum pernah aku rasakan. Efek orgasme masih terasa dalam tubuhku, tubuh bagian bawahku, dari perut sampai kaki, masih berkedutan yang membuat tanganku menjambak rambutku sendiri.
“Hah... Hah.. Hah....”
Abah Ono beranjak mundur, dia melepaskan kuncian kakiku. Dia berdiri, aku pikir dia akan pergi meninggalkanku dalam keadaan bugil seperti ini. Tapi ternyata dia melepaskan celana dan mengeluarkan penisnya yang sudah sangat tegang. Aku yang sudah kehabisan tenaga sampai terperanjat di atas matrasku melihat penisnya yang sangat besar dan panjang. Aku belum pernah melihat penis selain kepunyaan suamiku. Aku pikir penis suamiku sudah cukup besar karena tidak jauh berbeda ukurannya dari dildo yang biasa aku gunakan untuk masturbasi, itupun sudah besar menurutku. Tapi melihat penis abah Ono yang sudah berumur ini dengan ukuran yang tiga kali lipat ukuran penis suamiku membuat tubuhku bergidik. Apalagi dengan ukurannya yang sangat panjang, aku dapat merasakan pintu rahimku tersodok-sodok jika penis itu masuk ke dalam vaginaku. Yang tambah mengerikan lagi adalah urat-urat besar yang menghiasi penis hitam abah Ono dan ereksinya yang mengacung sempurna ke udara, bahkan aku melihatnya sampai melewati pusarnya sendiri, membuat mulutku menganga tak percaya. Aku sampai mundur dengan sisa tenagaku karena takut dengan apa yang akan diperbuatnya. Aku hanya bisa menggelengkan kepala ke arah abah Ono, air mataku semakin deras mengalir, tanganku berusaha mencari apa saja yang bisa menutup tubuhku, namun sia-sia. Wajahku memelas, memohon agar abah tidak melakukan apa yang aku pikirkan. Perlakuannya tadi sudah lebih dari cukup, abah sudah mendapat banyak bonus dariku. Tapi kalau sampai dia ingin memasukan penisnya, aku tidak mau. Aku masih istri setia, kehormatan rumah tangga ada di tangan istrinya. Aku tidak mau menghianati suamiku, dan menyerahkan kehormatan keluarga pada kakek jelek ini.
Tepat saat dia membungkuk dan melangkah maju ingin meraih tubuhku, tangisan Keanu pecah dari dalam kamarnya. Sepertinya dia bangun karena terganggu dengan teriakanku dari tadi. Aku lihat si abah berhenti dan sedikit ragu. Ekspresinya berubah menjadi takut dan bingung. Mungkin dia mengira ada orang lagi di rumah ini, atau mungkin dia kasihan pada bayiku yang menangis, aku tidak tahu, yang jelas setelah itu dia memakai kembali celananya dan berusaha pergi. Kepalanya celingukan seperti mencari sesuatu, aku pikir dia mencari minyak urutnya, tapi ternyata dia mengambil benda lain.
“abah ambil ini ya neng, kenang-kenangan dari neng Dita!”
Aku diam sejenak. Membuang muka darinya, sungguh malu terhadap diriku sendiri. Aku mengangguk saja menyetujui permintannya. Abah Ono mengambil celana dalamku. Dia menciumnya sebelum memasukannya ke saku celana.
Setelah abah Ono pergi, aku merebahkan tubuhku di atas matras, mencoba menerima kenyataan telah dilecehkan oleh seorang kakek tua. Walaupun terlihat seperti pelecehan, tapi jujur aku juga menikmatinya. Mataku menatap kosong langit-langit rumahku, hanya ditemani tangisan anaku yang semakin keras dari dalam kamarnya.
Besambung
BONUS BOKEP KLIK TOMBOL DIBAWAH
ููุณุช ููุงู ุชุนูููุงุช for "Prank Call (Episode 6: Dita dan Abah Ono)"
ุฅุฑุณุงู ุชุนููู