Prank Call (Episode 10: Dita dan Tukang Sayur Langganannya) Tamat

 


Aku edit rekaman adegan tadi menggunakan laptopku. Aku blur muka abang ojek itu dan aku potong bagian dia meremas susuku dan adegan setalahnya. Jadi yang aku kirim hanya saat abang itu datang membawa pizza sampai aku menurunkan handuku. Suara juga aku hilangkan, agar tidak terdengar percakapan Pak Muklis meminta meremas susuku.

Sent. Video itu terkirim ke email si penelepon. Tak lama kemudian telepon rumahku berdering.

”Halo” dengan ragu aku menyapa

“hahahahhhaaa.... sungguh berani sekali kamu sayang, seorang istri cantik, memamerkan tubuh indahnya kepada orang lain. Hahhahha”

“Diam KAU. Ini semua karena ulahmu” aku membentak

“hehehehe... tapi kamu suka kan sayang?”

“....”

“aku yakin sekarang vaginamu sudah basah dan minta disodok sex toys ku kan?”

Aku ragu untuk menanggapi perkataannya. Aku sudah terpuaskan tadi dengan permainan lidah dan mulut pak Muklis, sampai lututku lemas sekali, aku sudah tidak perlu sex toys darinya sekarang ini. Kalau aku salah bicara, bisa-bisa dia curiga aku telah berbuat lebih dengan Pak Muklis.

“bo...lehkah?” aku pura-pura meminta persetujuaanya untuk menggunakan sex toys.

“HAHHAHAAAA... sudah kuduga sayang. Kamu tidak bisa bohong kan? Jawabannya tentu saja TIDAK BOLEH. Tapi kamu boleh masturbasi dengan alat lain, selain sex toys yang aku berikan.”

“maksudnya” aku tidak mengerti

“Kamu boleh pake alat yang ada di rumah kamu sayang, seperti TERONG atau TIMUN, jangan lupa pilih yang ukurannya lebih besar dari ukuran penis suamimu. HAHHAHHAAAA” dia puas sekali mempermalukan aku.

“DASAR GILA! Mana mungkin aku mau melakukan itu”

“terserah, daripada kamu tersiksa. Silakan menikmati sensasi sodokan baru dari alam, aku juga mau menikmati tubuh indahmu dalam adegan bersama abang ojek. hehehehehe”

Dia menutup teleponnya.

Kamis, 24 April

Bi Indri pagi ini datang hanya untuk mengabarkan bahwa anaknya sedang sakit, jadi dia tidak bisa bekerja seharian di rumah. Bi Indri hanya menyiapkan sarapan seadanya, dan kemudian pamit pulang lagi. Aku memakluminya, karena aku juga punya anak kecil, pasti pikirannya tidak akan bisa konsentrasi untuk bekerja.

Menjelang siang, aku berencana untuk memasak. Tadinya aku pikir lebih gampang memesan makanan lewat ojek online aja, tapi aku ingat kejadian kemarin, dan sedikit takut jika nanti yang datang adalah Pak Muklis lagi.

Aku pergi ke dapur untuk memeriksa bahan makanan, ternyata bahan sayuran sudah habis, berarti kemarin aku lupa menuliskan di list belanjaan. Untung abang sayur sebentar lagi lewat, biasanya jam segini dia sudah mangkal di ujung gang. Aku lihat ke luar, memang sudah ada abang sayurnya, dan sedang dikerubuni oleh ibu-ibu. Jika keluar sekarang aku sangat malu, karena hanya memakai daster tanpa daleman. Bisa-bisa aku jadi bahan gunjingan ibu-ibu sekomplek. Aku berniat menunggu sampai ibu-ibu itu pergi dulu.

Setelah cukup sepi, aku cepat-cepat pergi ke kamar untuk mengambil dompet. Sewaktu melewati cermin aku melihat pantulan tubuhku di cermin, sangat seksi sekali. Aku tidak menyangka sekarang aku terbiasa berpakaian seperti ini, tidak hanya di dalam rumah, tapi di luar rumah. Aku coba angkat bagian bawah daster dan menurunkan bagian atasnya.

Sungguh beruntung abang tukang sayur jika bisa melihat poseku sekarang. Aku rapikan kembali pakaianku dan pergi untuk belanja.

“mas, sayurannya masih ada?” aku hampiri abang sayur yang sedang sibuk membereskan dagangannya setelah diserbu ibu-ibu.

“ada mbak” alangkah terkejutnya ekspresi yang ditunjukan abang sayur.

“ih Mas Parjo, ampe segitunya ngeliat saya, kayak ngeliat hantu aja”

“eehh.. a..nu, kayak ngeliat bidadari”

“bidadari dari mananya sih. Biasa aja”

Aku mulai mencari-cari bahan masakan yang aku butuhkan. Sementara mas parjo sesekali curi-curi pandang ke arahku.

“mbak Dita kemana aja, baru keliatan. Sibuk urusin suami ya?”

“hehehe nggak kok, suami saya kalau siang gini, sibuk kerja, paling ngurusnya malem ama pagi aja”

Mas parjo terlihat menelan ludahnya sendiri, entah karena dia ragu untuk berbicara atau karena tak tahan melihat belahan dadaku.

“oh, emang kalau malem ngurusin apa aja, hehehehee?” dia nyengir kuda

“ya biasa lah mas, suami istri, kayak mas parjo gak pernah aja” apa yang aku katakan? Selain sudah terbiasa berpakaian tanpa daleman, sekarang aku terbiasa berkata hal yang aku anggap tabu dulunya.

“istri saya kan di kampung mbak Dita, jadi emang jarang, ehehheh”

“oalah dikampung toh, pasti kangen dong yah”

“iya mbak, kangen banget. Dah lama juga kepengen, tapi gimana lagi. Gak ada lawannya”

Sudah hentika Dita, percakapan ini tidak perlu dilanjutkan.

“mbak Dita kok dari tadi ngeliatin terong ama timun mulu”

“eh, nggak kok” Aku jadi malu dan salah tingkah. Entah mengapa sejak tadi aku memang tertuju pada terong dan timun yang dijual si abang, aku teringat si penelepon gelap yang mengijinkan aku bermasturbasi menggunakan benda itu. aku jadi penasaran bagaimana sensasinya. Aku berpura-pura mencari sayuran yang lain.

“mbak Dita ingat suami ya? Masih siang loh ini mbak” dengan suara pelan dia menusukku tajam.

Apa karena aku berpakaian terbuka dan menantang seperti ini ya, jadi mas Parjo berani menggodaku seperti itu, atau karena aku selalu menimpali perkataanya, jadi dia merasa aku biasa-biasa aja. Tapi aku akui ada sensasi menyenangkan saat berbicara masalah yang nyerempet sex dengan pria lain, selain suami.

“ah, nggak, cuman penasaran aja, ukurannya bisa gede gitu ya”

“ada yang lebih gede dari itu loh mbak, kalau mbak dita mau?”

Degh. “e..mang punya mas parjo GEDE?” tak terasa pertanyaan itu meluncur dari mulutku.

“ada tuh di plastik item di rak bawah, itu lebih gede dari yang saya taruh di atas”

Duh malu sekali, ternyata yang dia maksud memang terong sungguhan, aku kira terong yang ada di balik celananya. Mataku malah mengarah ke sana, dan sepertinya sudah tegang juga, karena sangat menonjol. Mas Parjo sudah sangat terangsang dengan pembicaraan ini, terlebih karena istrinya juga di kampung, jadi dia tidak bisa melampiaskan nafsunya begitu kepengen. Aku malah iseng ingin mengerjainya.

“mas parjo kalau lagi kepengen, gimana tuh kan istrinya di kampung?”

“ya gimana lagi mbak, palingan kalau emang gak ketahan, onani aja pake tangan”

Aku tersenyum mendengar jawaban polos dan jujurnya.

“Kayak gini ya mas?” Aku mengocok-ngocok terong di hadapan mas Parjo

Dia terdiam sejenak. “aduh jangan diterusin mbak! Ngilu liatnya”

“hahahaha bilang aja kepengen”

“hahahhaa kalau iya gimana mbak? Emang mbaknya mau ngocokin?”

Aduh aku jadi panik sendiri. Kamu sudah kelewatan dita. Cepat bayar dan pulang aja! Si abang ini juga ngomongnya asal ceplos aja, gak disaring. Apa aku yang kelewatan mancing.

“jadi berapa semuanya mas?” aku mengalihkan topik pembicaraan

“beli apa aja mbak?”

Aku menyebutkan belanjaan yang aku ambil.

“jadi totalnya 75 ribu mbak”

Aku lihat uangku hanya 50 ribu, perasaan tadi aku bawa lebih, aduh malu ini.

“eh maaf mas, aku cuma bawa 50 ribu nih, bentar ya ambil ke rumah dulu”

“eh gak usah mbak, gak apa-apa gak usah bayar. Tapi sebagai gantinya, mau gak mbak Dita kocokin terong saya kayak tadi?”

“kayak gini?” aku mempraktekan lagi?

“bukan yang itu mbak, tapi yang ini” dia menunjuk penisnya sendiri. Dia memintanya dengan muka penuh belas kasihan, seperti pengemis di lampu merah. Aku jadi kasian, apalagi istrinya jauh di kampung halaman. Walaupun ragu, tapi aku tidak bisa menolaknya.

“nanti keliatan orang mas” ucapku lirih, sepertinya muka aku juga memerah karena malu.

“di sebelah situ gak bakal ada yang liat mbak, ketutupan” dia menunjuk sisi yang dekat dengan tembok.

Posisi gerobak sayur ini memang mangkal di ujung gang, dan gang komplek aku yang ini buntu, jadi terhalang tembok tinggi. Dengan posisi gerobak sayur yang sejajar dengan tembok komplek, jika mas parjo berdiri di bagian sisi yang sebelahan dengan tembok, jadi tidak akan terlihat sebagian tubuh dari perut atas sampai betisnya.

Dengan ragu aku berpindah posisi dari sisi sebaliknya menuju sisi dekat tembok. Aku pura-pura memilih-milih sayuran agar kalaupun ada yang lihat, aku keliatan seperti sedang memilih sayuran. Begitu pula dengan mas Parjo yang berpindah dari sisi belakang gerobak, yang biasa dia gunakan untuk mendorong dan mengendalikan gerobak, ke sisi dekat tembok.

Lumayan pikirku bisa menghemat pengeluaran, walau gak material juga sih. Anggap saja aku menolong mas Parjo yang kesepian karena jauh dari istrinya. Lagian aku juga udah pernah dijilatin abang ojol, apa salahnya membuat enak mas parjo.

Kini posisi kami sudah berdekatan. Aku sangat deg-degan. Kami tetap pura-pura memilih sayuran agar tidak membuat curiga. Mas Parjo melorotkan sedikit celananya, dan terpampanglah ‘terong’ hitam miliknya yang sangat besar. Lebih besar dari penis suamiku, tapi lebih kecil dari penis abah Ono. Mas Parjo meraih tanganku.

“aduh halus banget tangan mbak Dita”

Aku tersipu malu. Aku memang selalu merawat diriku mas.

Dia arahkan ke penisnya, dan membingku untuk mulai mengocok dan mengurut penisnya.

“ahhh,,, hmmmm.....” mas Parjo merem melek dengan sentuhan tanganku. Tangannya kini sudah tidak memegan tanganku, jadi tanganku yang bergerak sendiri.

Secara perlahan aku naikan kecepatan kocokanku. Membuat mas Parjo semakin dilanda kenikmatan. Sebenarnya aku tidak terlalu pandai mengocok penis. Aku bahkan jarang mengocok penis suamiku, jadi aku hanya melakukan sebisaku saja. Dia kembali meraih tanganku dan mengarahkannya ke biji zakarnya. Dia membuat tanganku mengesek-gesek dua buah bijinya, sesekali meremasnya seperti gerakan petik mangga. Ini semakin membuatnya keenakan setengah mati.

Aku kembali ke penisnya dan mengocoknya, kini dengan tempo yang tinggi. Aku juga mulai terangsang dan menikmati sensasi mengocok penis orang di tempat terbuka seperti ini.

Tapi di sela sesi yang penuh kenikmatan ini, ada seseorang yang keluar dari gerbang rumah di depan kami. Ternyata ibu Ani. Karena kaget, aku melepaskan tanganku dari penis mas Parjo, tapi ditahannya.

“siang!” dia menyapa “eh, ada mbak Dita juga. Mas sayurannya masih lengkap?”

“siang ibu Ani” aku tersenyum

“masih lengkap bu, silakan” mas Parjo begitu tenang, padahal penisnya sedang aku kocok. Iseng, aku cubit penisnya “awww” dia terperanjat kesakitan.

“eh kenapa mas?”

“gak apa-apa bu Ani, kayaknya kaki saya digigit semut”

“oh, hati-hati... ahahhaha” Ibu Ani melanjutkan pencariannya. Sementara aku hanya tersenyum karena berhasil ngerjain mas Parjo.

Selama ibu Ani berada di hadapan kami, aku masih terus aktif mengocok penis mas Parjo, pegel juga sih, karena belum keluar juga dari tadi. Sudah lebih dari 7 menit atau mungkin 10 menit, aku tidak tahu. Tapi semakin kami terlibat dalam obrolan asyik bertiga, aku juga sangat menikmati adegan ini.

Dasar ibu-ibu komplek, ibu Ani malah bergosip tentang para tetangganya yang banyak ribut sama suami. Ribut ini lah, ribut anaklah, ribut soal uang bulanan lah, bahkan katanya ada yang ribut karena urusan ranjang. Dibilang suaminya tidak bisa memuaskan istrinya di ranjang.

“hih, rumit amat ya masalah rumah tangga” dia nyerocos sendiri.

Kami berdua hanya kadang membalas ocehannya tanda menyetujui atau kadang hanya tersenyum. Yang tidak diketahui ibu Ani, bahwa tanganku sedang mengocok-ngocok penis mas Parjo sedari tadi. Tidak hanya tanganku, tapi tangan mas Parjo sekarang mulai berani meremas-remas pantatku, aku tidak bisa berbuat banyak, karena kalau aku menolak, takut ketahuan ibu Ani. Kini dia sudah menyibakan dasterku ke atas, dan memasukan jarinya ke vaginaku. Aku meringis dibuatnya. Tapi Ibu Ani hanya menangkap ekspresiku sebagai tanggapan atas ceritanya. Jadi dia tidak curiga sama sekali.

“eh kalau mbak Dita nyari sayuran apa?”

“kalau mbak Dita mah nyarinya terong GEDE bu... hahahaha” cerocos mas Parjo.

“hhahahaha.... ngapain cari terong GEDE, kayak gak punya suami aja” Ibu Ani ini ceriwis sekali orangnya, kayak gak punya beban hidup.

“cobain deh bu Ani, nanti pasti bu Ani suka” aku pencet penis mas Parjo yang membuatnya matanya melotot keluar dan tubuhnya terperanjat ke atas.

“ah gak mau ah, kalau kegedean nanti sakit” bu Ani menjawab dengan suara pelan.

“ih dasar bu Ani.. hahahahah” aku ketawa melihat ekspresinya.

Remasan tangan mas Parjo di pantatku semakin membuatku terangsang. Tangannya dengan jail juga menjamah bibir vaginaku dan mengocoknya dari arah belakang. Sambil terus menimpali gosip dari bu Ani aku menahan rangsangan kenikmatan ini setengah mati. Betapa sensasi yang sungguh membuatku terbang ke awan, saling memberi rangsangan di alam terbuka sambil bergosip tentang bersama tetangga.

Aku merasa cairan vaginaku keluar banyak, vaginaku terasa sangat becek. Setelah cukup lama mengobel vaginaku, mas Parjo mengeluarkan jarinya. Dia mengambil timun dari rak paling atas. Untuk apa pikirku, tapi sedetik kemudian aku tahu maksudnya. Dia memasukan timun tersebut ke dalam vaginaku. Ukurannya lumayan kecil, tidak sebesar terong-terong yang tersaji di hadapanku, namun tetap saja, membuat aku terbang melayang.

“awwwhmm” aku menggigit bibirku saat timun itu perlahan di dorong mas Parjo dari arah belakang ke dalam vagina basahku. Aku sedikit menungging, agar memudahkan timun itu masuk ke dalam vaginaku. Bles. Timun itu masuk tanpa kesulaitan berarti.

“mbak Dita kenapa?” bu Ani menatapku curiga.

“kayakya mag ku kambuh bu, tadi pagi telat sarapan”

“oalah, makanya bu, jangan telat sarapan. Kemarin anak saya juga mag nya kambuh karena telat sarapan bla...bla...bla....” aku sudah tidak fokus mendengar celotehan bu Ani.

Tanganku kini semakin cepat mengocok penis mas Parjo, seiring dengan makin cepat juga mas Parjo mengobel-ngobel vaginaku dengan sebuah timun. Kalau saja tidak ada ibu Ani, mungkin aku sudah mendesah hebat tak karuan. Rasanya enak sekali ternyata masturbasi menggunakan sayuran. Entah karena efek sayurannya atau karena dibantu oleh orang lain, karena selama ini aku hanya merasakan sensasi masturbasi seorang diri. Ditambah aku juga memegang benda kenyal yang sedari tadi aku kocok. Sudah cukup lama aku mengocok, dan jujur, pegal sekali, namun penis mas Parjo masih tak ada tanda-tanda akan mencapai puncaknya.

Kocokan timun di dalam vaginaku semakin cepat saja. Aku sudah tidak dapat menahannya lagi. Wajahku meringis menahan sensasi menahan orgasme.

“eh mbak Dita, kenapa, kayaknya sakit banget, mau saya ambilkan obat mag?”

“GGggg...ak U.....sah bu!”

“atau cepat pulang aja, istirahat di rumah” bu Ani semakin panik.

“Iiiyaaaaa.. maka.sih Bu Anniiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii” aku keluar di hadapan bu Ani.

Tubuhku jatuh tersungkur di atas gerobak, untung tanganku bertumpu pada sisi gerobak. Mas Parjo juga dengan sigap meraih tubuhku, sehingga aku tidak jatuh tersungkur ke tanah.

“eeehh mbak DITAAA” bu Ani malah panik “gimana ini?” “mas Parjo! Mas Parjo!”

“iya bu Ani tenang aja, ini udah saya bantu” mas Parjo menenangkan kepanikan bu Ani.

Sementara aku sudah kehabisan tenaga. Lututku sangat lemas sekali. Tubuhku masih kelejotan akibat orgasme hebat. AWAS KAU PARJO. Telah membuatku orgasme di hadapan bu Ani. Ibu Ani beranjak menuju sisi sebelahku. Hal itu membuat mas Parjo panik, dia cepat-cepat memasukan penisnya ke dalam celana, takut ketahuan bu Ani. Tapi dia lupa mencabut timun dari dalam vaginaku. Setelah beres, dia cepat menurunkan dasterku menutupi pantatku.

“Ayo mbak Dita, saya antar pulang ya! Mas Parjo tolong bawain barang belanjaannya mbak Dita!”

Aku dipapah oleh ibu Ani sepanjang jalan menuju rumahku. Rasanya sulit sekali untuk berjalan, karena timun itu masih tertinggal di vaginaku. Apalagi dengan kondisi vaginaku yang sangat basah, aku takut timun itu tiba-tiba jatuh ke bawah. Aku terus berusaha menjepit timun itu dengan kuat menggunakan sisa tenaga otot vaginaku. Padahal jarak rumah aku tidaklah jauh, namun aku merasa itu perjalan paling lama yang pernah aku lakukan.

PARJO SIALAN! Lagi-lagi aku menghardiknya dalam hati. Kenapa dia lupa mencabut timunnya tadi. Kalau sampai timun ini jatuh berlumuran cairan vagina dan ketahuan bu Ani, satu komplek, bahkan seluruh dunia bisa tahu, seorang Dita memasukan timun ke vaginanya sampai orgasme. Betapa malunya aku dan keluargaku jika hal itu terjadi, makanya aku mati-matian berusaha menjepit timun ini.

Semakin lama aku berjalan, timun itu terus bergoyang di dalam sana. Otot-ototku vaginaku juga sudah mulai mendapat kekuatan pasca orgasme tadi. Tiba-tiba libidoku naik lagi, tubuhku mulai terangsang lagi. Setiap gesekan di dalam vagina memberi rasa enak dan nikmat.

Setelah sampai di depan gerbang, aku berterima kasih kepada bu Ani dan mas Parjo.

“saya pamit dulu ya mbak Dita, jangan lupa sarapan ya!”

“iiiya bu”

Setelah itu bu Ani pergi.

“saya juga pamit ya mbak Dita” parjo nyengir kuda, dia merasa bersalah tidak mencabut timunnya.

Aku melotot kepadanya dan mengacungkan belanjaanku ke atas, seperti hendak memukulnya.

“ampun mbak Dita”

“pergi sana!”

“iya mbak, ta..pi maaf, timun yang itu belum dibayar”

“hah?” dasar sialan. Dia hanya ketawa cengengesan.

Dengan kesal aku taruh belanjaanku di bawah, aku angkat daster bagian depan. Aku tarik nafas panjang, dan dengan sekali hentakan, timun itu meloncat keluar. Mas Parjo kemudian mengambil timun yang sangat basah berlumuran cairan vaginaku.

“indah sekali pemandangan yang baru aku lihat. Terima kasih mbak Dita cantik”

Diciumnya bau cairan vaginaku yang menempel di timun itu.

“hmmmm wangi sekali”

DASAR PARJO MESUM. Aku ambil barang belanjaanku dan masuk ke dalam rumah.

BONUS BOKEP KLIK TOMBOL DIBAWAH



0 comments:

Post a Comment