Ritual Gunung Kemukus Season II ~ Menuju Puncak (Chapter 15 :Antara Benci dan Rindu)

Model : Rina Perscilla




Reflek aku menangkis dan sekaligus membalas pukulannya sama sama mengarah ke dagunya yang terbuka tanpa pertahanan. Perkiraan yang salah, karena dengan sedikit gerakan pukulanku dapat dihindari. Dan sebuah tendangan balasan tepat mengarah ke arah perutku. Cepat tanpa terlihat. Tapi naluriku bisa merasakannya. Reflek aku bergerak mundur menghindar.

"Hahaha, reflek dan instingmu sudah semakin bagua, Jalu." ayahku terlihat tersenyum sinis, melihatku yang bisa menghindar dari tendangannya yang licik dan tidak terlihat.

Aku menatapnya marah, pandangan matanya yerlihat seperti melecehkanku. Aku bergerak memulai serangan dengan kekuatan penuh dan tidak terduga, aku yakin apabila tepat mengenai dagunya akan berakibat patal. Hanya dengan sedikit gerakan pukilanku meleset mwmbuat tubuhku terhuyung karena tenaga yang kukerahkan terlalu bertenaga. Belum sempat aku mengendalikan diri, swbuah sapuan di kak membuatku terjatuh.

Reflek aku berguling menjauh darinya, mengambil jarang apa bila dia melakukan serangan susulan. Benar benar jago tua yang hebat dan berpengalaman, aku dapat dijatuhkan dengan cepat. Padahal aku merasa kemampuan bertarung jalananku sudah meningkat, tapi aku bisa dijatuhkan dengan singkat.

"Kamu seperti Karta, bertindak dengan emosi. Kamu tolol karena tidak bisa mengendalikan diri." dia menatapku, tidak bergerak melakukan serangan susulan seperti perkiraanku.

Mendengar perkataannya yang kuanggap sebagai sebuah penghinaan untukku dan Mang Karta, membuatku semakin marah. Aku bangkit dan melakukan serangan bertubi tubi dengan jurus jurus Cimande yang kupelajari dari Abah. Jurus jurus yang sudah kulatih selama belasan tahun. Hebat, ayahku bisa bergerak cepat mwnangkis atau kadang menghindari semua seranganku. Bahkan kadang pukulannya malah tepat mengenai dadaku. Herannya pukulannya yang cepat terasa tidak bertenaga saat mengenaiku.

Dia benar benar menganggapku remeh, seranganku semakin tidak terkendali untuk segera menjatuhkannya. Dia harus tahu, aku tidaklah selemah yang disangkannya. Jurus jurusku sudah terlatih dan pukulanku sudah sangat kuat. Kulatih setiap hari memukul samsak sehingga tanganku menjadi kapalan.

Dan tanpa bisa kuhindari, sebuah bantingan yang sangat cepat dan akurat membuatku terjatuh untuk kedua kalinya.

"Anak tolol, kendalikan dirimu saat bertarung. Jangan terpancing oleh musuhmu." ayahku berkata dengan suara dingin.

"Bukan begitu cara bertarung yang benar, Jang. Lihat ibu." kata ibu yang tiba tiba sudah bergerak menyerang ayahku.

Aku kaget melihat ibu menyerang ayahku dengan cepat. Gerakannya terlihat cepat dan bertenaga. Bahkan bisa dikatakan lembut sesuai dengan kodratnya sebagai wanita. Aku tahu ibuku ahli bela diri karena kadang kami berlatih bersama. Tapi yang membuatku terkejut adalah ibu berani menghadapi pertempuran yang sesungguhnya.

Ibu yang selama.ini kuanggap sebagai wanita yang lembut sekarang berubah menjadi singa betina yang garang. Ayahku terlihat sangat kaget melihat ibuku bisa bertarung dengan hebat. Gerakannya cepat dan bertenaga walau masih tetap terlihat luwes tidak mengurangi kodratnya sebagai wanita.

Tidak sperti saat menghadapiku, ayahku terlihat sangat berhati hati melayani serangan ibuku
Dia bukan hanya sekedar menghindar, bahkan terlihat membalas serangan ibuku dengan bersungguh. Hebat, ibuku bisa menghindari pukulan ayahku bahkan membalasnya.

"Cukup..!" teriak ayahku meloncat mundur. Matanya menatap kagum ibuku yang berdiri dengan kuda kuda yang kokoh.

"Kita sudah tidak ada hubungan apa apa lagi, Kang. Jangan pernah mengganggu kami." ibuku berkata dengan tenang.

"Aku datang bukan untuk mengganggu kalian, aku hanya ingin kamu menasihati Jalu agar tidak ikut campur urusan kami para orang tua." ayahku berkata dingin. Matanya menatapku tajambisa Mendengar perkataannya yang melecehkan dan juga melihat keberanian ibu. Harga diriku sebagai lelaki terusik. Aku kembali menyerangnya dengan cepat, hanya saja sekarang emosi dan kemarahanku mulai berkurang bahkan bisa kukendalikan. Sekarang aku bertarung demi harga diriku. Aku berusaha tenang dan konsentrasi dalam setiap gerakanku.

Hasilnya sungguh luar biasa. Ayahku terlihat kaget menghadapi seranganku. Bahkan beberapa kali seranganku hampir mengenainya dan membuatnya tidak bisa terus bertahan. Dia membalas serabganku dengan bersungguh sungguh. Sekarang aku bisa menghadapi serangannya dengan tepat. Aku bisa dengan cepat mengambil keputusan kapan harus menghindari serangan, kapan harus menangkis serangannya dan pada saat yang tepat aku membalas serangannya.

"Bagus, harus seperti ini bertarung." kata ayahku sambil membalas pukulanku yang bisa dihindarinya dengan susah payah.

"Sudah, cukup..!" teriakan Mang Udin terdengar berpengaruh.

Terbukti ayahku mundur dan menyuruhku berhenti.

"Cukup Jalu, kamu hebat. Ingat, saat bertarung harus seperti tadi, kendalikan emosimu. " kata ayahku sambil menatap ibuku.

"Aku tidak akan mengganggu kalian kalau kalian akan menikah. Hanya aku ingin kalian tetap waspada, Shomad tidak akan diam. Terima kasih sudah menjadi ibu yang baik untuk anak anakku." katanya dengan wajah menunduk lalu pergi meninggalkan kami begitu saja.

Tidak ada salam perpisahan, ayahku pergi begitu saja meninggalkan kami yang berdiri mematung melepaskan kepergiannya. Entah apa yang kurasakan saat ini. Aku sendiri tidak tahu. Ada rasa benci yang membuatku sangat marah melihat wajahnya. Dan satu sisi aku juga tidak bisa memungkiri betapa aku sangat merindukan kehadirannya.

Aku tersadar saat ibu memelukku dan mengajakku masuk ke dalam. Langkahku terasa ringan mengikuti langkah kaki ibu. Pikiranku kosong.

******

Pov Anis

Anis mengelus lerutnya yang semakin membesar. Kehamilan yang membuat sangat marah dan membenci dirinya sendiri. Kenapa harus dirinya harus mengalami penderitaan yang terus menerus seolah tanpa ahir. Kecantikan yang dimilikinya justru membuatnya menderita dan terjerumus ke dalam lembah nista yang berkepanjangan.

Dimulai dari perkenalannya dengan Gobang, lalu mereka melakukan ritual di Gunung Kemukus. Anis merelakan keperawanannya demi cintanya kepada pria itu. Tindakan yang disesalinya seumur hidup.

Sehabis ritual pria itu mengingkari janjinya, mencampakkanya begitu saja. Sakit membutakan matanya, dia ingin membalasnya. Dan seorang pria datang dengan janji manis lainnya. Namanya Codet. Pria itu mengaku kenal dengan seorang dukun sakti yang mampu membuat seseorang bertekuk lutut dan tergila gila kepadanya.

Anis percaya karena Codet dengan wajahnya buruk mempunyai seorang istri yang sangat cantik. Dia sangat berharap dengan bantuan Codet dia bjsa membjat pria itu bertekuk lutut mengemis cinta kepadanya. Tentu tidak ada yang gratis di dunia ini. Anis hatus rela melayani nafsu sex Codet agar mendapatkan bantuan pria itu. Sekali lagi dia melakukan kesalahan fatal dalam hidupnya.

Anis hamil dan pria itu justru menghilang stelah meminum obat yang diberikan olehnya. Terpaksa Anis menerima Codet sebagai suaminya untuk menutupi aibnya dan juga aib keluarganya.

Setelah sekian belas tahun Anis mendapatkan kabar dari seorang temannya yang melihat pria itu berada di Gunung Kemukus. Dengan tekad bulat Anis mendatangi Gunung Kemukus berharap dengan pria itu dan yang ditemuinya justru anak pria itu. Entah kenapa justru Anis kembali jatuh cinta pada orang yang salah. Dia jatuh cinta pada anak pria itu. Dia berharap bisa memiliki anak pria itu.

Beruntung dia mempunyai seorang paman, atau lebih tepatnya suami dari Bibinya yang bersedia membantunya untuk mendapatkan pria itu. Sekali lagi tidak ada yang gratis dalam hidup ini. Bantuan yang ditawarkan harus dibayar dengan kehangatan tubuh indahnya yang membuat setiap lelaki ingin mencicipinya walau hanya semalam.

Sekali lagi Anis membiarkan pamannya mencicipi kehangatan tubuhnya dan kembali musibah itu datang, Anis hamil bukan dari pria yang dicintainya. Anis merasa bersukur karena Pamannya menepati janji. Anis dapat menikah dengan pria yang dicintainya walau harus mengandung anak pamannya.

Saat Anis larut dalam masa lalunya, pamannya masuk dan memeluknya dari belakang. Anks bisa melihat wajah pamannya dari kaca meja rias. Wajah yang ahir ahir ini membuatnya merasa muak dan takut. Tapi dia tidak mempunyai pilihan lain. Anis harus bersedia melayani nafsu pamannya agar Ujang tetap menjadi suaminya. Dia tidak mau kehilangan pria yang dicintainya.

Anis pasrah saat pamanya mengangkat tubuhnya dan meletakkannya di ranjang besi. Anis memalingkan wajahnya saat pria itu menciumi wajahnya dan beralih ke leher jenjangnya. Anis mengutuk pria tua itu yang meremas dadanya dengan kasar. Sakit bukan hanya di tubuhnya tapi juga sampai dengan dengan jiwanya.

Hampir saja air matanya keluar saat pria itu menelanjangi tubuhnya. Tanpa pemanasan, pria itu memaaukkan kontolnya ke dalam memeknya yang masih kering. Anis merintih kesakitan, memeknya seperti bergesekan dengan amplas, air matanya mengalir tanpa bisa ditahannya.

Pamannya memompa memeknya dengan kasar tanpa memperdulikannya yang merintih kesakitan. Justru pamannya seperti menikmati melihat air matanya dan jerit kesakitannya. Dia berharap pamannya segera memuntahkan pejuhnya agar dia tidak tersiksa lebih lama lagi.

Tapi keinginanya bertolak belakang dengan kenyataan yang dialaminya. Pamanya tidak juga memuntahkan pejuhnya. Anis tahu pamannya bisa bertahan lama. Kontol pamannya mampu bertahan lama dan Anis harus merasakan sakit itu selama lebih dari sepuluh menit.

Anis memejamkan matanya membayangkan Ujang yang sedang memacu memeknya, berharap dengan cara itu rasa sakitbya akan berkurang dan berganti dengan rasa nikmat yang akan membawanya ke puncak kenikmatan. Tapi banyangan Ujang buyar saat pamannya membisikkan sesuatu yang membuatnya ketakutan. Sebuah ancamab yang akan dilaksanakan oleh pamannya.

"Tolong, jangan lakukan itu..!" Anis memohon. Rasa takutnya mengalihkan rasa sakit di memeknya.

"Asal kamu mau melakukan sesuatu untukku..!" pamannya tertawa licik. Kontolnya semakin cepat memompa memeknya.

Anis bergidik ngeri melihat seringai licik pamannya sehingga memeknya yang terasa sakit tidak dirasakannya lagi. Dia harus mencegah pamannya mencelakai suaminya. Satu satunya pria yang dicintainya. Pria yang membuatnya bisa tersenyum lepas.

"Apa yang harus Anis lakukan?" Anis merintih menahan isak tangisnya.

Pamannya tidak menjawab, pria itu memompa memeknya dengan brutal. Ahirnya kontol pria itu memuntahkan cairan pejuh yang sudah menghamilinya.

*†****

Aku menatap kagum dengan kemampuan ibuku dalam sebuah pertarungan yang sebenarnya. Sehingga ayahku terlihat kewalahan menghadapi serangannya yang terarah dan penuh perhitungan.

"Kamu sudah hebat. Jurus, reflek, kecepatan dan juga kekuatanmu sudah mumpuni. Satu satunya kelemahan kamu adalah tidak mampu mengontrol emosimu." Mang Udin memberi tahukan kelemahanku dalam pertarungan jalanan.

"Kamu seperti Kang Karta. Selalu mengikuti kata hati dan tidak bisa berpikir panjang." ibu meneruskan perkataan Mang Udin.

Ya memang benar, aku gampang terpancing dan terbawa suasana. Aku selalu bertindak tanpa berpikir lagi. Sesuatu yang kutiru dari Mang Karta tanpa aku sadari. Tidak heran Bi Narsih selalu menyamakan aku dengan Mang Karta.

"Kamu itu lebih cocok jadi anak Mang Karta dari pada anak Kang Gobang." itu yang selalu dikatakan Bi Narsih kepadaku dan selalu diamini oleh ibuku. Jujur, aku selalu senang kalau dibandingkan dengan Mang Karta. Aku bahagia sekali mendengarnya.

"Kamu harus belajar mengendalikan dirimu, Jang." ibu membelai rambutku.

"Tadi setelah ibumu bertarung dengan Kang Gobang, gaya bertarungmu langsung berubah. Kamu bisa mengimbangi Kang Gobang bahkan membuatnya sedikit kewalahan. Ingat, belajar menguasai diri, karena yang kita hadapi adalah Shomad yang pernah menhebak ayahmu dan juga ham0ir membunuhku." kata Mang Udin tenang.

Aku tersenyum malu karena diberitahukan kelemahanku. Sekali lagi aku melihat ibuku dengan perasaan kagum. Wanita yang terlihat lembut dan lemah ini ternyata mempunyai kemampuan bela diri yang menakjubkan.

"Terus kita harus bagaimana? Apa kita biarkan Shomad terus menerus mengganggu ibu?" tanyaku menhembalikan topik pembicaraan ke Shomad.

"Kita saat ini menunggu intruksi dari Bibimu, dia lebih tahu apa yang harus kita lakukan." kata ibuku yang terlihat lebih tenang.

"Kang Gobang juga sudah mulai bergerak, dia pasti sudah menyebar orang orangnya di sekitar sini untuk menjaga ibu dan keluargamu dari gangguan Shoy." Mang Udin menambahkan perkataan ibu dan itu membuatku sedikit lebih tenang. Entah dari mana Mang Udin tahu ayahku sudah menyebar orang orangnya untuk melindungi keluargaku. Mungkin karena pengalamannya berkecimpung di dunia hitam cukup lama.saat.

"A Ujang, ada telpon...!" kata Lilis yang tiba tiba datang tanpa mengucapkan salam.

"Dari siapa, Lis?" tanyaku heran melihat wajah Lilis yang terlihat merah seperti menahan marah. Matanya menatapku tajam penuh ancaman.

"Dari Anis, istri muda kamu..!" aku berharap apa yang kudengar dari mulut Lilis itu salah.

"Siapa, Lis?" tanyaku berusaha memastikan apa yang kudengar.

"Dari Anis istri muda kamu....!" Lilis berkata dengan suara keras.

Bersambung.

Maaf, apdet lebih pendek.

No comments for "Ritual Gunung Kemukus Season II ~ Menuju Puncak (Chapter 15 :Antara Benci dan Rindu)"