Ritual Gunung Kemukus Season II ~ Menuju Puncak (Chapter 22 : Jejak Sang Penghianat)
Model : Devi Savila
"Gak usah ke depan, A. Kang Japra cuma mau ngabarin Ayah Gobang..." Lilis seperti ragu untuk meneruskan perkataanya.
"Kenapa, Lis?" tanyaku tidak sabar.
"Ayah Gobang meninggal..!" Jawab Lilis mengagetkanku. Rasanya seperti tidak percaya mendengar kabar yang tiba tiba ini. Entah kenapa tidak ada rasa sedih maupun kehilangan seperti saat Abah meninggal. Aku menangis sepanjang hari. Apa karena aku menganggap ayahku sudah lama mati.
"Ayahku meninggal?" tanyaku hanya untuk memastikan kabar yang tiba tiba ini. "Meninggal karena apa?" aku meneruskan pertanyaanku dengan suara datar seolah olah itu hal biasa bukan sebuah berita duka.
"Duel dengan, Shomad. Keduanya tewas berbarengan." Lilis memperhatikan wajahku. Mungkin merasa aneh dengan responku yang dingin.
Shomad, mereka berduel dan mereka mati berbarengan. Kembali perkataan Lilis terdengar dan semakin jelas menyadarkanku.
Penyebab kematian ayahku justru membuatku terkejut. Apa mungkin ayahku menyangka dalang yang berusaha membunuhku adalah Shomad sehingga dia sengaja mengajak Shomad duel hingga mereka berdua sama sama tewas. Dengan kematian ayahku dan Shomad, berarti masalah di keluargaku sudah selesai. Dendam puluhan tahun sudah berahir. Entah kenapa aku justru merasa lega. Dan raut wajahku tidak lepas dari perhatian Lilis.
"A Ujang lega mendengar kabar Ayah A Ujang dan Shomad meninggal?" Lilis menatapku tajam. Aku heran bagai caranya sampai Lilis tahu apa yang aku pikirkan. Benar benar wanita cerdas yang mampu membaca pikiran lawan bicaranya. Andai aku mempunyai kemampuan seperti itu, aku tidak akan gampang dicelakai orang.
"Bukankah itu artinya masalah kita sudah berahir?" tanyaku memastikan apa yang aku katakan itu benar. Tentu saja benar, tidak ada lagi dendam antara dua musuh bebuyutan yang sudah tewas bersamaan.
"A Ujang gak sedih ?" Lilis menatapku heran.
"Dia memang ayah Aa, tadi selama belasan tahun semua orang tahu dia sudah meninggal, saat Aa tahu dia masih hidup rasanya aneh. Kalau sekarang dia benar benar meninggal, Aa memang sudh sewajarnya." kataku tenang. Mungkin aku anak durhaka. Entahlah.
"A Ujang sekarang istirahat ya. Biar cepet sembuh. Lilis mau ke Ibu ngabarin Ayah Gobang meninggal" Lilis menuntunku masuk kamar Ningsih yang sejak tadi hanya diam mendengarkan pembicaraan kami.
Aku merebahkan tubuhku di spring bed empuk yang nyaman. Aku tau, kematian ayahku akan menjadi biasa saja bagi kami. Tidak akan ada tahlilan selama seminggu. Karena setahun sekali kami selalu mengadakan tahlil untuk ayahku. Bahkan waktu kematian pertamanya kami mengundang orang untuk mengaji di makamnya selama 40 hari 40 malam karena kematiannya yang tidak wajar kami anggap sebagai karma dari perbuatannya.
*****
Setelah mengabarkan kematian Gobang ke calon ibu mertua dan juga Mang Udin, Lilis masuk kamar almarhum Pak Budi yang sekarang menjadi ruang kerjanya berdua dengan Ujang. Entah kenapa mendengar kematian Gobang dan Shomad membuatnya ketakutan, ada sesuatu yang menurutnya janggal. Sesuatu yang sangat mengerikan sedang mengintai keluarganya. Orang orang yang dicintainya.
Lilis membuka brankas miliknya mencari buku Diary peninggalan mendiang suaminya. Buku DIARY selama.sepuluh tahun, selama itu pula suaminya selalu menulis di buku DIARY. Dan inilah satu satunya petunjuk yang dia punya.
10 tahun bukan waktu yang sebentar menjadi istri seorang pria homo dan selama 10 tahun mendiang suaminya hanya menyentuhnya beberapa kali. Satu satunya yang dilakukan suaminya adalah mendidik Lilis mengetahui seluk beluk bisnis mendiang suaminya. Lilis diajari semua hal yang berkaitan dengan bisnisnya.
"Untuk apa Lilis diajari hal begini?" tanya Lilis pada suatu waktu
"Agar kamu bisa mengambil alih semua aset Aa kalau teejadi sesuatu pada A Budi." jawaban yang dirasanya mengada ada. Dan yernyata apa yang pernah dikatakan mendiang suaminya terjadi. Dan Lilis sudah terbiasa melakukan hal hal yang biasa dan dikerjakan olehnya.
Lilis melakukannya dengan terpaksa, belajar tentang Akutansi, Manajemen dan banyak hal berkaitan dengan bisnis yang dikelola mendiang suaminya secara otodidak. Puluhan bahkan ratusan buku yang tebal tebal jadi makanan sehari harinya. Pada ahirnya dia sangat menyukainya. Inilah satu satunya cara untuk menghilangkan beban hidup yang dirasakannya. Inilah cara untuk tetap membuatnya waras.
Begitu besarkah kepercayaan mendiang suaminya atau hanya untuk menutupi rasa bersalahnya yang tidak mampu memberikan kebahagiaan kepadanya. Sebagai penembus rasa bersalahnya.
Lilis mengabaikan hal itu. Sekarang dia merasakan sebuah bahaya mengintai yang siap mencelakakan dirinya dan orang orang yang dicintainya.
Lilis membatalkan niatnya membaca tumpukan buku DIARY mendiang suaminya yang sudah dibacanya berulang kali. Rasanya tidak ada satupun yang terlewat. Lagi pula dengan membacanya kembali dia tidak akan dapat mengetahui penyebab kematian Gobang. Lilis hanya merasa ada hubungan dengan rencana pembunuhan pria yang dicintainya Ujang, dengan kematian Gobang.
Lalu kenapa Gobang mengirim orang orangnya untuk melindungi mereka. Apa ini karena Gobang mencium sesuatu yang tidak beres sehingga dia harus mengirim orang orangnya untuk melindungi semua keluarganya. Sepertinya begitu.
Lilis mengangkat gagang telpon yang berada di meja, dia harus menelpon seseorang untuk memastikan bahwa orang yang dikirim Gobang bukanlah penghianat yang dikirim untuk mengawasi keluarganya. Kecurigaannya semakin kuat mengingat kejadian pria yang dicintainya hampir terbunuh.
******
"Kang Gobang dan Shomad tewas...!" Narsih terduduk lesu mendengar kabar yang diterimanya dari Dhea lewat telpon. Dia nyaris tidak mempercayai dengan apa yang didengarnya tadi. Matanya menatap kosong. Narsih berusaha mengendalikan dirinya. Perlahan Narsih mengatur nafasnya agar lebih tenang.
Baru jam 3 sore, berarti masih 2-3 jam lagi Kang Karta pulang. Narsih ingin segera memberitahukan kabar yang diterimanya tentang kematian Gobang. Kabar yang diterima dari Dhea. Dia harus merundingkan segala sesuatunya dengan Karta. Narsih merasakan ada sesuatu yang janggal di sini. Tapi dia belum tahu kejanggalan seperti apa.
Sudah hampir satu tahun dia memantau gerakan Shomad yang tenang. Hingga ahirnya sejak beberapa bulan lalu tiba tiba ada gerakan dari mendiang Budi yang mengorek keterangan tentang Gobang. Narsih benar kaget, apa lagi Budi bahkan mencium keberadaan Gobang di Gunung Kemukus. Hanya Narsih yang tahu di mana Gobang berada, lalu dari mana Budi tahu Gobang ada di Gunung Kemukus?
Narsih benar benar merasa tertipu, ternyata niat Budi yang sebenarnya ke Gunung Kemukus adalah mencari keberadaan Gobang. Budi bahkan sengaja melibatkan Ujang untuk memancing Gobang keluar dari tempat persembunyiannya.
Siapa yang bermain di balik semua ini? Apa Dhea? Lalu motivasinya apa.
Narsih duduk dengan lesu, semua kecerdasannya berusaha digunakan untuk menemukan jawaban dari teka teki yang dihadapinya. Telpon yang berbunyi mengagetkannya. Segera Narsih mengangkatnya, ternyata dari Lilis menanyakan tentang orang yang dikirim Gobang untuk menjaga keluarganya. Lilis curiga ada penghianat yang mengawasi gerak gerik mereka sehingga Ujang hampir tewas terbunuh
Mungkin Lilis benar, bertepatan dengan kedatangan orang yang dikirim Gobang, Ujang celaka dan hampir tewas dibunuh. Ini sudah jelas, ada orang yang menginginkan kematian mereka. Dimulai dengan mencelakai Ujang untuk memancing kemarahan Gobang yang langsung menantang duel Shomad. Lalu mereka sama sama tewas. Dengan begitu orang itu akan mampu menguasai dunia hitam yang ditinggalkan Shomad dan Gobang.
*****
Hampir dua minggu beristirahat total di rumah tanpa mengerjakan apa pun membuatku merasa jenuh. Aku benar benar dimanjakan oleh dua bidadari cantik yang setia melayaniku. Mereka begitu ketat melarangku melakukan sesuatu yang mereka anggap berat. Menurut mereka dokter menyuruhku beristirahat total selama sebulan dan luka diperutku dinyatakan sembuh.
Hari hari yang aku lalui terasa membosankan, lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur dan sebuah hobi baru yang muncul karena aktifitas fisikku yang terbatas. Membaca. Berbagai macam buku aku baca walau kadang kala aku tidak mengerti arti yang terkandung dalam buku itu. Yang penting buatku adalah membaca agar waktu bisa berjalan lebih cepat lagi hingga aku sembuh. Membosankan memang.
Waktu terasa berjalan dengan lambat hingga ahirnya dokter menyatakan luka dalam bekas operasiku dinyatakan sembuh dan aku bisa beraktifitas dengan normal, hal yang pertama aku lakukan adalah berlatih silat di halaman belakang dengan ditemani Mang Udin yang menjadi spring fatnerku. Jurus jurus silat yang sangat aku rindukan kembali aku mainkan dengan sangat bersemangat sampai tidak memperhitungkan staminaku yang jauh berkurang.
Walau awalnya gerakanku masih terasa kaku. Mang Udin begitu sabar meladeniku, tidak memaksaku untuk bergerak secepat dan sekuat dirinya. Aku baru sembuh jadi harus mulai beradaptasi kembali. Yang paling kurasakan adalah gerak reflekku yang jauh berkurang.
"Jangan dipaksakan, Jalu. " kata Mang Udin melihatku yang ngos ngosan kehabisan nafas. Staminaku terkuras dalam waktu singkat.
"Besok lagi kita latihan, Mang Udin mau ngurus pernikahan yang tinggal beberapa hari lagi." kata Mang Udin menyudahi latihan kami.
Ya, pernikahan Mang Udin dan ibuku tinggal beberapa hari lagi dan aku tidak membantu. Bahkan bisa dikatakan tidak membantu sama sekali karena kondisiku. Untung saja Lilis bisa menangani semuanya. Wanita yang hebat dan aku beruntung mendapatkannya. Mereka sepertinya tidak membutuhkan bantuanku karena semuanya sudah selesai. Mang Udin pergi hanya untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Kematian ayahku seperti sudah dilupakan sama sekali.
Tidak ada yang bisa dikerjakan untuk membantu pernikahan ibuku. Lilis juga masih melarangku untuk ke pasar melihat kios. Terlalu berbahaya menurut Lilis setelah kejadian tempo hari.
Ingin aku menelpon Anis, tapi tidak bisa aku lakukan di rumah tanpa diketahui Lilis dan Ningsih atau salah satu diantara mereka. Bisa kacau kalau mereka tahu tentang hubunganku dengan Anis. Padahal aku sangat ingin tahu tentang keadaabya setelah Shomad tewas.
"A Ujang dari tadi melamun saja. Lagi mikirin apa, sich?" tabya Ningsih memeluk leherku dari belakang membuatku terkejut. Aku bisa mencium bau tubuh Ningsih yang khas dan membuatku merasa nyaman setiap kali berdekatan dengannya. Hampir dua bulan aku tidak memberinya nafkah batin dan sekarang gairahku bangkit saat Ningsih mencium leherku.
"Duduk donk, Ning. Aa kangen..!" kataku menyuruh Ningsih duduk di sampingku.
"Aa ada ada aja, tiap saat Ningsih ada masa bilang kangen." Ningsih menggodaku. Ningsih tetap memelukku dari belakang sambil menciumi leherku.
"Sama Lilis gak kangen, A?" tanya Lilis yang tiba tiba muncul dari kamar kerja bekas kamar mending Pak Budi.
Perutnya terlihat semakin membuncit sama dengan Ningsih. Mereka sepertinya akan melahirkan dalam waktu bersamaan. Menurut perkiraan dokter 3 bulan lagi aku akan menjadi seorang ayah dari dua anak yang akan lahir dari dua wanita. Aku benar benar bahagia masih punya kesempatan melihat ke dua anakku yang akan segera lahir. Lilis duduk disampingku.
"A Ujang udah kuat belom ngelayanin kami berdua?" Lilis berbisik menggodaku. Tangannya meraba kontolku yang sudah mulai tegang akibat Ningsih yang terus menerus mencium leherku.
"A Ujang sudah bangun aja kontolnya..!" Lilis berseru takjub.tanpa meminta persetujuanku Lilis membuka celana pangsi yang kupakai buat berlatih silat sehingga kontolku terbebas dari kurungannya.
"Lilis gak sabar amat, sudah kangen sama kontol Aa ya?" aku berbalik menggoda Lilis yang mengabaikannya. Aku melenguh nikmat saat kontolku mulai masuk mulutnya yang mungil.
"Teh Lilis curang, Ningsih yang ngebangunin kontol A Ujang, malah Teh Lilis yang nyamber duluan." Ningsih merajuk manja melihat Lilis yang bernafzu nyepong kontolku yang besar sehingga dia harus membuka mulutnya lebih lebad lagi.
Aku nenoleh ke arah Ningsih yang masih memeluk leherku. Tanpa perlu nenjelaskan maksudku Ningsih mencium bibirku dengan mesra. Kami berciuman dengan penuh perasaan. Ciuman yang penuh cinta dan kasih sayang.
Aku merasakan kontolku tidak lagi disepong. Ternyata Lilis sudah berdiri membuka bajunya hingga bugil. Perutnya yang buncit tidak mengurangi keundahan tubuhnya. Payudaranyapun terlihat semakin membengkak. Aku tergoda untuk menghisapnya, apakah sudah mengeluarkan ASI apa belum. Tapi keinginanku harus kupendan, Lilis membelakangiku, tanganya meraih kontolku yang sudah tegak sempurna agar berada pas di lobang memeknya yang pasti sudah basah.
Perlahan Lilis menurunkan pinggulnya menelan seluruh batang kontolku hingga tidak ada yang tersisa. Begitu nikmat membuat bulu di sekujur tubuhku merinding nikmat setelah 2 bulan kltidak pernah menikmatinya.
Ningsih kulihat berjalan ke hadapan kami dalam keadaan sudah bugil. Dia berdiri dihadapan Lilis, entah apa yang diinginkannya.
"Teh, jilatin memek Ningsih, donk!" kata yang diucapkan Ningsih membuatku terkejut. Bagaimana bisa Ningsih meminta Lilis menjilati memeknya. Itukan artinya jeruk makan jeruk.
Gila, Lilis mengabulkan keinginan Ningsih, sementara pinggulnya terus bergerak mengocok kontolku, wajahnya terbenam di selangkangan Ningsih yang menatap sayu ke arahku. Pemandangan yang membuatku semakin bergairah menikmati sensasi yang terasa semakin dahsyat.
"Ternyata enak juga memek Ningsih dijilatin Teh Lilis...!" Ningsih mendesis nikmat saat jilatan demi jilatan Lilis menggegelitik itilnya, tangannya memegang kepala Ningsih.
"Aa, Lilis gak kuat mauuu kelllluarrrrr..." Lilis menjauhkan wajahnya dari selangkangan Ningsih, tpinggulnnya semakin cepat bergoyang menyambut birahi pertamanya setelah dua bulan.
"Gantian Terus, memek Ningsih udah gatel..!" Ningsih menarik tangan Lilis yang masih menikmati sisj sisa orgasmenya.
"Ningsih, masih enak nich..!" kata Lilis sambil tertawa menggoda tapi Lilis tetap bangun juga sehingga kontolku terlepas dari memeknya.
Melihat kontolku sudah terlepas dari cengkeraman memek Lilis, Ningsih langsung berjongkok dan melahap kontolku yang basah oleh lendir memeknya Lilis. Tidak ada rasa jijik, Ningsih begitu menikmati menjilati kontolku. Nikmat, sangat nikmat.
"Udah, Ningsih. Aa gak kuat pengen ngentot...!" aku menarik Ningsih bangun. Aku menyuruh Ningsih duduk di sofa dengan kaki mengangkang lebar sehingga memeknya yang indah terlihat agak membuka. Memek yang sebentar lagi akan mengeluarkan anakku.
Perlahan kontolku menerobos masuk memek Ningsih yang memejamkan matanya menikmati kontolku. Satu satunya kontol yang bisa menikmati memeknya.
"Ennnnak, A...!" Ningsih tersenyum bahagia. Aku bergerak pelan agr anakku tidak terganggu oleh persetubuhan ke dua orang tuanya.
"A Ujang ngentotin kami, biar waktu lahiran lebih gampang..!" Lilis mencium bibirku yang sedang menggenjok memek Ningsih.
Mendengar apa yang dikatakan Lilis membuatku semakin bergairah mengocok memek Ningsih. Mungkin benar yang dikatakannya, seorang wanita yang sedang hamil tua harus sering sering dientot agar lobangnya semakin melar sehingga memudahkan persalinannya. Ini bukan hanya sekedar sex, ini adalah tugas mulia seorang ayah untuk memberi jalan kepada anaknya.
"Terus A, entot Ningsih, enak banget kontol.. A Ujang..!" wajah cantik istriku terlihat semakin cantik saja.
Aku semakin termotivasi memberikannya kenikmatan tiada tara. Aku akan membayar lunas hutangku selama dua bulan. Aku pasti bisa memberikan kenikmatan kepada dua bidadari cantik yang menjadi pendampingku. Kontolku bergerak semakin gencar memompa memek Ningsih hingga ahirnya Ningsih tidak mampu bertahan dari badai birahi. Tubuhnya menggeliat menyambut orgasmenya.
"Aa, Ningsih kelllluarrrrr..." Ningsih menjerit kecil menyambut puncak kenikmatannya. Memeknya berkedut kencang meraih puncak orgasmenya. Orgasme yang sangat dahsyat. Yang menarikku dalam pusaran badai kenikmatan.
"Aa juga kelllluarrrrr..!" aku mengeram, kontolku terbenam hingga dasar memek Ningsih disertai semburan pejuhku yang sangat banyak. Kandungan selama dua bulan aku tumpahkan semuanya.
Suara dering telpon mengagetkan kami yang kelelahan setelah mengarungi badai birahi yang dahsyat. Bahkan dengus nafas kami belum juga pulih. Lilis segera mengangkat telpon yang tepat di samping Ningsih yang masih kelelahan menikmati sisa sisa orgasmenya yang dahsyat.
"Hallo....iya Bi, Lilis ngerti..!" Lilis menutup telpon. Hanya beberapa kata.
"Siapa, Lis?" tanyaku heran.
"Kita sudah tau siapa yang menghianatii kita. Untung saja A Ujang lolos dari maut. " kata Lilis membuatku terkejut.
Bersambung...
No comments for "Ritual Gunung Kemukus Season II ~ Menuju Puncak (Chapter 22 : Jejak Sang Penghianat)"
Post a Comment