Ritual Gunung Kemukus Season II ~ Menuju Puncak (Chapter 20 : Duel Hidup dan Mati Dua Musuh Bebuyutan)

Model : Bella elsavira



Tiba tiba ada yang menarikku terlepas dari orang yang akan melemparku ke jurang dalam tanpa dasar. Aku mengenal wajah orang yang menolongku, Abah telah berhasil menyelamatkanku dari orang yang menyeramkan itu dan membawaku berlari dan berlari semakin cepat. Kakiku ikut berlari berusaha mengimabangi kecepatan lari abah yang sangat luar bias sehingga aku merasa kakiku seperti tidak menginjak tanah. Herannya nafasku berjalan normal seperti saat aku berjalan. Nafasku tidak tersengal sengal.

Entah ke mana Abah mengajakku berlari melewati jalan setapak di tengah hutan. Aneh, di tengah hutan lebat ada jalan setapak, terlihat sering dilewati orang. Bahkan tidak ada akar di sepanjang jalan setapak yang aku lalui. Padahal jalan di hutan bukanlah jalan setapak buatan manusia, tapi jalan yang dibuat binatang buas terutama babi hutan. Sehingga akan selalu dipenuhi akar akaran dari pohon pohon besar yang berada di sekelilingnya. Dunia seperti apa yang sebenarnya aku masuki.

Ahirnya kami sampai di tanah lapang. Sepertinya aku mengenal tempat ini? Ya ini adalah pekarangan rumahku di kampung yang biasa dijadikan tempat berlatih silat murid murid Abah yang lumayan banyak.

"Belum waktunya, Jang..!" Abah tersenyum dengan senyum hasbya yang memperlihatkan mulutnya yang sudah ompong. Senyum yang kadang membuatku mentertawakannya. Apa lagi aku mendengar dari orang orang bahwa Abah memang tidak mempunyai gigi sejak bayi. Hal yang menurutku tidak masuk akal, tapi itulah kenyataannya.

"Jang....!" seseorang memanggilku dari belakang. Suara yang selalu membuatku takut sejak kecil. Aku berbalik ke arah asal suara itu. Ayahku berdiri dengan pakaian yang biasa dikenakan oleh para jawara. Pakaian serba hitam. Di pinggangnya tergantung senjata yang mengerikan, sebuah gobang sepanjang satu meter. Gobang yang menurut cerita telah memakan korban jiwa. Gobang warisan turun temurun

"Pulang Jalu, tempatmu bukan di sini." tiba tiba ayahku meraih tanganku dan melemparkan tubuhku tanpa bisa aku hindari.

Tubuhku melayang dan jatuh di sebuah ranjang besi di sebuah ruangan yang sekeliling dindingbya berwarna putih. Perutku terasa sakit dan sekujur tubuhku terasa mati rasa karena lama tidak bergerak.

"Aduh sakit... Air..!" tenggorokanku terasa sangat kering.

"Alhamdulillah, Teh A Ujang sudah sadar." jerit bahagia terdengar dari sampingku. Aku melihat Ningsih duduk dengan berlinang air mata melihatku.

"Alhamdulillah, A. Ahirnya A Ujang sadar." Suara Lilis terdengar dari sisi yang lainnya.

Perlahan ingatanku pulih. Aku teringat kejadian seseorang yang aku kenal saat di Gunung Kemukus. Seseorang yang disuruh mengikutiku ternyata seorang penghianat. Dia telah menusuk perutku hingga aku terjatuh di pinggir jalan. Tapi untungnya aku mampu bertahan, dengan perut terluka aku meminta bantuan tukang becak membawaku ke RS terdekat yang jaraknya hanya 3 km dari tempat kejadian. Bahkan aku sempat memberikan kartu namaku ke tukang becak untuk menelpon Lilis dan mengabarkan keadaanku sebelum ahirnya aku kehilangan kesadaranku.

"Ning, haus..!" ucapku lemah.

"Nanti A, nunggu dokter.." Ningsih tidak memenuhi keinginanku. Apa sebabnya ? Sebelum emosiku meledak pintu terbuka.

Ternyata yang datang dokter yang menanganiku. Dia memeriksa keadaanku dengan teliti.

"Anda sudah bisa melewati masa kritis. Luar biasa, kalau bukan anda, mungkin sudah mati." aku tidak tahu perkataan dokter sebagai sebuah pujian atau sekedar basa basi.

*******

Ahirnya aku diperbolehkan pulang oleh dokter setelah dirawat hampir tiga minggu. Aku rindu dengan suasana rumah. Aku rindu dengan kamar Ningsih dan juga kamar Lilis yang harum dan empuk. Aku rindu tidur dalam pelukan Ningsih ataupun Lilis. Aku sudah sangat merindukan semua suasana seperti itu. Suasana yang membuatku merasa nyaman dan dimanjakan oleh dua bidadari yang selalu mendampingiku.

Kabar kepulanganku sudah di dengar oleh Bi Narsih dan Mang Karta yang menyempatkan datang menjemputku di RS. Tentu saja Mang Udin juga datang, apa lagi selama di RS ibuku tidak pernah mau pulang, dia selalu mendampingi dan berjaga bergantian dengan Ningsih dan Lilis yang setia menungguku di RS walau aku berulang kali menyuruh mereka pulang. Tentu aku juga hawatir dengan kondisi kehamilan mereka.

Ningsih mendorongku yang duduk di kursi roda sementara Lilis menggenggam tanganku seakan tidak mau kehilanganku. Dan seseorang berdiri menungguku, matanya tajam menatapku. Mang Karta dan Mang Udin langsung bersiaga menghadapi segala kemungkinan yang tidak terduga. Aku masih terlalu lemah untuk bisa bergerak.

Ayahku hanya menatapku tanpa bersuara, kami salaing bertatapan cukup. Tiada yang memulai pembicaraan hanya pikiran kami yang berbicara. Lalu ayahku meninggalkan kami tanpa sepatahpun kata yang terucap.

"Mau apa, dia?" pertanyaan yang sebenarnya aku tujukan pada diriku sendiri.

"Jangan dipikirin, yang paling penting kamu harus sembuh." Mang Karta menjawab tenang.

Aku memandang punggung ayahku yang menjauh. Tiba tiba aku teringat dengan mimpiku tentang ayahku. Apakah ini adalah mimpi biasa atau sebuh pertanda. Entahlah.

Ya, kejadian penusukan yang membuatku koma seminggu lebih membuatku sadar, bahwa selama ini aku dikelilingi orang yang setiap saat bisa menikamku dari belakang. Situasi yang disebabkan oleh dendam masa lalu yang menyeretku dalam pusaran demdam dan kebencian bahkan nyawaku sendiri dipertaruhkan.

Sudah saatnya aku bangkit dan mulai bergerak melawan
Sudah saatnya aku menyerang sebelom mereka kembali menikamku. Satu satunya yang bisa aku andalkan adalah Lilis. Walau aku tahu dia wanita lemah, tapi dia mempunyai kecerdasan yang dapat menuntunku. Kecerdasan yang bisa membaca rencana lawan.

Aku menatap Lilis yang memegang tanganku sementara Ningsih kembali mendorong kursi rodaku menuju mobil yang sudah siap membawa kami pulang ke rumah.

Lega sekali saat aku menginjakkan kakiku kembali di rumah. Rasanya sudah sangat lama aku tidak pulang. Aku berjalan dengan dipapah Lilis dan Ningsih. Mereka memapahku dengan sangat berhati hati memasuki rumah.

"A Ujang mau tidur di kamar mana?" tanya Lilis.

Aku ragu untuk menjawabnya kalau aku ingin tidur d kamar Ningsih. Aku takut melukai hati Lilis karena aku lebih memilih tidur dengan Ningsih dari pada dengannya. Dan ternyata Lilis tidak perlu mendengar jawabanku.

"Lilis tahu, A Ujang pengen tidur di tempat Ningsih." Lilis tersenyum mengerti apa yang menjadi keinginanku.

*******


Gobang memegang senjata kesayangannya, sebuah gobang sepanjang satu meter yang sudah memakan banyak korban jjwa. Surat tantangan sudah dikirim ke musuh bebuyutan yang pernah menjadi sahabatnya. Tekadnya sudah bulat, salah satu di antara mereka harus mati agar tidak ada lagi korban orang yang tidak bersalah terutama keluarganya.

"Aku minta Kang Gobang membatalkan rencana berduel dengan, Shomad." kembali Dhea berusaha membujuk rencananya berduel dengan Shomad.

"Salah satu dari kami harus mati, agar tidak ada lagi korban dari keluarga dan orang orang yang aku cintai." Gobang tidak mengalihkan pandangannya dari senjata yang sudah terhunus. Senjata yang tidak akan masuk ke dalam sarungnya sebelum menghirup darah seperti kebiasaannya sejak dulu. Semacam prinsip yang harus dipegang teguh hingga maut memisahkannya dengan senjatang sebuah gobang sepanjang satu meter yang berat.

Perlahan Gobang menatap Dhea yang melihatnya debgan wajah gelisah. Wanita yang setia menyiapkan sebuah rencana yang tidak terpikir olehnya. Tidak sia sia menyelamatkan Dhea dari lembah nista, dari seorang pelacur berubah menjadi seperti sekarang. Wanita yang bisa menjalankan bisnis prostitusi kelas atas dengan konsumen para pengusaha kakap dan para pejabat. Mungkin ini terahir kali dia menatap wanita ini.

Gabang meletakkan senjatanya di atas meja, dipeluknya Dhea dengan penuh kemesraan. Aneh sekali, kenapa dia bisa memeluk Dhea selembut dan semesra ini. Hal yang belum pernah dilakukan sejak mengenal Dhea.

"Jaga anak kita dan besarkan dia. Kalau aku mati, tinggalkan dunia yang sudah membesarkanmu" Gobang mencium bibir Dhea dengan mesra dan sangat lama. Sepertinya sangat berat melepaskan bibirnya dari bibir wanita yang telah mengabdikan hidupnya. Perlahan Gobang melepaskan pelukannya.

Gobang mengambil senjatanya lalu berjalan tanpa menoleh ke belakang. Gobang takut, saat menoleh ke belakang niatnya akan melemah. Gobang berjalan dengan tangan mengepal diikuti Japra yang setia mengiringi langkahnya yang terasa berat.

Mobil sudah disiapkan, Gobang masuk ke dalam mobil terdepan berdua dengan Japra. Sedang dua mobil lagi diisi oleh anak buahnya sekedar berjaga jaga kalau Shomad main kotor mengeroyoknya. Ini adalah duel hidup dan mati, tidak ada yang boleh ikut campur dalam duel ini.

Ahirnya mereka sampai di tempat yang sudah ditentukan, sebuah tempat yang akan menjadi saksi duel dua orang jago tua. Yang akan menjadi saksi salah satu di antara mereka akan mati meregang nyawa.

Dengan langkah mantab Gobang melangkah ke dalam sebuah bangunan kosong yang terbengkalai sehingga dipenuhi oleh rumput ilalang yang tumbuh liar. Gobang menggerakkan senjatanya sebagai pemanasan agar otot ototnya menjadi lebih rileks.

Shomad sudah berdiri menunggu, di belakangnya berdiri anak buahnya yang lumayan banyak. Tangannya memegang sebuah golok sepanjang 70 centi meter. Sama seperti senjata yang dipegang Gobang, senjata Shomad juga sudah banyak memakan korban jiwa. Golok yang mengandung racun. Jangankan yertusuk, yergores sedikit saja bisa berakibat nyawa melayang.

"Ini cuma antara kita berdua, Shomad...!" Gobang berkata dingin.

"Tentu, ini antara kita berdua." Shaomad menjawab dingin.

Tak ada yang bicara, mereka sama sama menggenggam senjata dengan erat, saling mencari kelemahan untuk memulai serangan. Gobang bergerak satu langkah diikuti Shoad. Kembali mereka saling menatap dengan sudut mata. Kuda kuda sudah terpasang kokoh hanya tinggal menunggu waktu salah seorang akan memulai serangan. Serangan yang paling mematikan dan tidak terduga.

Ternyata yang memulai serangan adalah Shomad, goloknya menyabet ke arah leher. Langsung mengarah ke tempat paling mematikan. Sebuah gerak tipu yang memancing Gobang menangkisnya sehingga pertahanannya agak terbuka. Shomad merubah serangannya menjadi sebuah tusukan yang mengarah dada Gobang. Gerak tipu yang sangat mematikan, andai yang dihadapinya bukan Gobang. Pasti lawannya sudah tertusuk golok yang beracun.

Tapi Gobang sudah tau arah serangan Shomad bisa berubah karena sudah terlatih puluhan tahun. Kaki kirinya melangkah ke kanan sehingga tusukan Shomad lolos dan saat bersamaan senjatanya membabat leher Shomad dengan cepat. Gerakan senjatanya dari atas ke bawah mempunyai dua fungsi, saat sabetannya meleset, senjatanya akan mampu menangkis serangan balasan Shomad. Ya, inilah inti dari Cimande, menyerang sekaligus bertahan.

Dan tepat seperti yang dipikirkan Gobang, Shomad berhasil mengelak dan senjatanya menyerang dari bawah ke atas mengarah perutnya. Gobang tidak menarik serangannya, tapi meneruskannya memapas ke bawah. Trang. Kedua senjata mereka beradu sehingga menimbulkan percik apai. Posis Gobang lebih unggul, sehingga Shomad agar terhuyung ke belakang. Gobang tidak meruskan serangannya karena akan sangat berbahaya. Posisi Shomad memang terlihat tidak menguntungkan, tapi kalau dia memaksakan diri menyerang, bisa menjadi bumerang buat dirinya.

Melihat Gobang hanya menunggu, kembali Shomad memulai serangan, sekarang lebih cepat dan mematikan dari pada tadi. Tekadnya sudah bulat salah satu diantara mereka harus mati hari ini. Tak ada pilihan buat mundur lagi. Kembali mereka saling serang dengan ganas. Senjata mereka bergerak berusaha membinasakan musuh secepatnya hingga pada saat yang tepat sebuah tendangan Gobang mengenai perut Shomad dengan telak membuat Shomad jatuh bergulingan di tanah.

Pada saat itulah terjadi situasi yang tidak terduga. Seorang wanita tiba tiba berlari menghampiri Shomad dengan senjata terhunus menikam Shomad yang tergeletak di tanah. Tapi Shomad jago tua yang sangat berpengalam, melihat sebuah senjata mengarah ke lehernya, reflek dia menangkis hingga senjata wanita itu terlepas dari pegangannya. Tanpa rasa belas kasihan, Shomad menusuk perut wanita yang menyerangnya. Bles, goloknya tertancap di perut wanita itu.

Bersambung......

ู„ูŠุณุช ู‡ู†ุงูƒ ุชุนู„ูŠู‚ุงุช for "Ritual Gunung Kemukus Season II ~ Menuju Puncak (Chapter 20 : Duel Hidup dan Mati Dua Musuh Bebuyutan)"