Ritual Gunung Kemukus Season II ~ Menuju Puncak (Chaptet 19 : Penghianat)

Model : Indri Velissa



Aku masuk tanpa mengucapkan salam. Lilis tersenyum menyambut kedatanganku lalu bangun mencium tanganku. Wajahnya terlihat tenang membuatku lega. Setidaknya orang orang yang jumlahnya 10 orang ini bukanlah lawan, mungkin saja mereka adalah kawan jadi kehawatiranku tidak beralasan sama sekali.

"A, kenalin mereka adalah teman teman Mang Udin yang akan menjaga kita dari ancaman." Lilis mengenalkan mereka satu persatu. Ternyata ke 10 orang itu adalah jago bayaran yang bertugas melindungi keluargaku. 7 orang di antara mereka akan tinggal di rumah yang tepat berhadapan dengan rumah kami. Ternyata rumah kosong itu adalah rumah Lilis warisan dari Pak Budi. Sedangkan sisanya akan tinggal di rumah kontrakan yang tepat berada di belakang.

Gila, Lilis seperti sedang membangun sebuah benteng dengan grombolan preman untuk melindungi kami, lalu dari mana dia mendapatkan uang untuk membayar mereka, tentu bukan uang sedikit. Jumlahnya pasti besar. Kalau Mang Karta rasanya tidak aneh dia bisa membangun sebuah markas. Mang Karta hanya menyediakan rumah untuk mereka para preman yang sudah insyaf dan menempuh jalan baru. Mereka berjualan keliling untuk mata pencaharian mereka. Tapi Lilis sengaja mengumpulkan orang yang harus digaji. Sebegitu besarkah rasa takut Lilis sampai harus menggaji orang.

Setelah memberi instruksi ahirnya mereka bubar menuju posisi yang harus mereka tempati. 7 orang segera masuk rumah yang sudah hampir setahun kosong yang terletak di seberang rumah yang kami tempati sedangkan sisanya menuju rumah kontrakan di belakang.

"Uang dari mana untuk membayar mereka, Lis?" tanyaku setelah mereka pergi meninggalkan kami di ruang tamu.

"Kita tidak punya kewajiban untuk menggaji mereka. Merwka dikirim ayah buat melindungi kita dari ancaman musuh musuh ayah." Lilis menjawab tenang.

"Siapa yang Lilis maksud ayah?" tanyaku heran. Apa mungkin ayahku yang sengaja mengirim orang untuk melindungi kami atau hanya untuk mengawasi gerak gerik kami.

"Ayah Gobang." Lilis terlihat benar benar tenang lebih tenang dari biasanya.

"Untuk apa?" ya, apa sebenarnya tujuan ayahku. Aku harus memberi tahu Bi Narsih. Mungkin dia tahu apa tujuan ayahku yang sebenarnya.

"Tentu saja untuk melindungi kita dari bahaya, apa lagi Shomad sudah mulai bergerak. Dia tidak akan segan segan menghabisi kita." Lilis mengingatkanku tentang bahaya yang sedang kami hadapi.

Tiba tiba aku teringat dengan 5 orang yang mengikutiku ke Markas Mang Karta semalam, aku tidak melihat mereka tadi. Apa mereka juga orang kirimana ayahku.

"5 orang yang kemarin apa anak buah ayah?" tanyaku curiga, bisa saja mereka diakui sebagai anak buah almarhum Pak Budi padahal anak buah ayahku.

"Itu anak buah almarhum, sayang." Lilis malah tertawa melihat kecurigaanku yang berlebihan.

"A Ujang istirahat dulu, sepertinya A Ujang cape banget. Semalam habis berkelahi dengan grombolan Shomad." tanpa menunggu jawabanku, Lilis menuntunku masuk kamar Ningsih. Ningsih yang sedang duduk di ruang keluarga menatap heran tanpa bicara melihat Lilis menuntunku masuk kamar. Baru saja aku merebahkan diri, Ningsih masuk.

"A, ada telpon dari Lastri katanya penting." kata Ningsih.

"Bilang, nanti aja nelpon lagi." kata Lilis.

"Tadi juga Ningsih sudah bilang begitu, tapi katanya penting benar." Ningsih membela diri.

"Iya, biar A Ujang angkat." kataku melerai cekcok kecil dua adik beradik. Aku segera mengangkat gagang telpon yang berada di ruang tamu.

"Hallo, ada apa Las?" tanyaku.

"Hallo, A. Bisa ke pasar sekarang gak? Penting banget, A..!" suara Lastri terdengar cemas. Aku menyanggupi untuk datang saat itu juga.

"Lis, Ning Aa mau ke pasar katanya penting banget." aku berpamitan walau dari wajahku kedua wanita yang menjadi pendamping hidupku itu terlihat keberatan. Tapi aku juga tidak bisa menolak panggilan Lastri, apa lagi aku sangat jarang ke pasar. Malah Ningsih yang rutin ke pasar melihat kios dua hari sekali.

"A Ujang ditemenin sama anak buah almarhum ya!" Lilis menawariku pengawal untuk menemaniku. Tentu saja aku menolak mentah mentah. Aku seorang pemain solo tidak perlu pengawal. Setelah berdebat agak lama ahirnya Lilis mengalah.

"Bener A Ujang gak butuh pengawal?" sekali lagi Lilis bertanya saat mengantarku ke dalam garasi mengambil motor yang terparkir di sana.

"Masa ke kios aja harus bawa pengawal, Lis. Aman kok." kataku sambil mencium keningnya dengan mesra. Tidak aku perdulikan wajahnya yang terlihat cemas saat mencium tanganku.

Aku segera memacu motor dengan kecepatan sedang. Namun saat motor yang kukendarai memasuki jalan raya utama sebuah mobil berhenti tepat di depan memaksaku menghentikan motorku. Saat itulah dari arah belakang ada motor lain yang berhenti tepat di sampingku. Ternyat dua orang yang membuntutiku ke Gunung Kemukus. Mau apa mereka menghentikanku, apa ada masalah sangat penting. Atau mereka disuruh mengawalku seperti saat di Gunung Kemukus

"Kang, turun dulu" kata orang yang dibonceng turun lebih dulu.

Tanpa curiga aku turun, ini adalah kesalahan fatal. Aku tidak memperhatikan gulungan koran yang dipegang orang itu. Terlambat buat menyadarinya, sebuah pisau belati yang tertutup gulungan koran sudah menusuk perutku. Aku terhuyung ke belakang sambil memegang perutku yang bersimbah darah. Sebuah tendangan menghantam kepalaku.

******

Pov Lilis

Lilis menjatuhkan telpon yang diterimanya yang mengabarkan Ujang masuk RS karena percobaan pembunuhan. Belum pernah Lilis sepanik ini, orang yang dicintainya sekarat di RS.

"Teh, ada apa?" Ningsih kaget melihat Lilis yang jatuh terduduk di kursi yang tepat berada di samping meja tempat telpon berada.

"A Ujang masuk RS, kondisinya kritis." Lilis tidak mampu menahan tangisnya. Ketegaran dan kekuatan yang selama ini dimilikinya hilang tidak berbekas. Lilis menangis sekeras kerasnya dalam pelukan Ningsih yang tertegun tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ahirnya Ningsih ikut menangis mendengar kabar dari kakaknya. Mereka menangis sambil berpelukan.

Tiba tiba Lilis sadar tidak tahu di RS mana Ujang saat ini dirawat. Dia telah menjatuhkan gagang telpon sebelum orang itu selesai bicara. Lilis segera mengambil gagang telpon yang menggantung karena dijatuhkan Lilis.

"Hallo....hallo....halo..!" sia sia Lilis memanggil orang yang menelponnya tadi. Telpon sudah terputus.

"Kita ke RS, ajak ibu sekalian." Lilis berkata tegas. Dia harus bisa mengendalikan diri dan mencari RS tempat Ujang dirawat. Walau belum mengetahui di mana Ujang dirawat, tapi Lilis berusaha berpikir sederhana, pasti dibawa ke RS terdekat dari tempat kejadian yang tidak jauh dari rumah. Lilis tahu RS mana itu.

Ningsih disuruhnya bersiap, lalu Lilis pergi menemui calon ibu mertua mengabarkan kejadian yang menimpa Ujang. Lilis takjub melihat Ibu yang terlihat lebih tegar dan tenang mendengar kabar keadaan Ujang. Mereka langsung ke RS dengan naik mobil yang dibawa Lilis.

Sesampai RS Lilis turun sendiri, sementara Ningsih dan ibu disuruh menunggu di mobil sampai mendapatkan kepastian Ujang dirawat.RS ini. Dengab tergesa gesa setengah berlari Lilis memasuki RS dan bertanya ke bagian IGD apakah ada pasien baru masuk dengan nama Jalu. Lilis berteriak nyaring tanpa mampu ditahannya karena benar ada pasien bernama.Jalu.

******

Pov Ningsih

Ningsih berdiri gelisah, air matanya sudah habis menangisi keadaan suaminya yang masih dalam keadaan kritis sejak kemaren belum sadarkan diri. Seseorang berusaha membunuhnya, untung ada orang yang melihat dan membawanya ke RS sehingga byawanya bisa diselamatkan sementara. Sementara. Ningsih kembali terjatuh, untung ada seseorang yang dengan sigap menahan tubuhnya. Orang itu memapahnya duduk di bangku ruang tunggu RS.

"Kita berdoa supaya Ujang sembuh." suara ibu mertuanya terdengar serak karena sama.seperti dirinya, ibu mertuanyapun menangis semalaman.

"Iya, bu..!" Ningsih berusaha untuk lebih tegar menghadapi semuanya. Harus siap kehilangan orang yang dicintainya demi anak yang masih dalam kandungannya. Apa pun yang terjadi dia harus tetap tegar

Pertama kali mereka bertemu di Gunung Kemukus, Ningsih datang untuk melakukan Ritual Sex di Gunung Kemukus, ritual yang harus dilakukannya untuk membuang semua kesialannya. Walau untuk itu dia harus kehilangan keperawanannya. Pria yang beruntung mendapatkan keperawanannya adalah Ujang. 3 x Ningsih mau menikah dan 3 x pula calon suaminya meninggal tidak wajar. Apakah semua kesialannya masih belum berahir dan sekarang harus kehilangan suami dan juga ayah dari anaknya yang akan segera lahir.

Ningsih menggigit bibir hingga berdarah. Rasa sakit akibat luka dibibir tidak dirasakannya. Rasa was was dan takut kehilangan pria yang dicintainya menghilangkan rasa sakit di bibirnya yang terluka kalau saja Ibu mertuanya tidak melihat, darah dari lukanya akan mengalir jatuh. Ibu mertuanya dengan sigap membersihkan darah di bibirnya, herannya tidak ada rasa sakit maupun perih saat kapas menyentuh lukanya.

Ningsih tidak bereaksi saat ibu mertua memeluknya dan mendekap kepalanya menyender ke dada waniya yang sudah melahirkan suaminya. Satu satunya keinginammya adalah Ujang bangun dan memeluknya sambil mengatakan semuanya baik baik saja tidak ada yang perlu dihawatirkan.

"Ning, makan dulu! Dari kemarin Ningsih belum makan. Kasian si Dede." Ningsih menatap Ningsih yang datang membawa bungkusan nasi yang dibelinya entah di mana. Perlahan Ningsih menggeleng.

"Ningsih harus makan, Teteh suapin ya?" Lilis membuka salah satu bungkisan da memberikan satu bungkus untuk ibu yang terpaksa menerima bungkusan nasi.

Ningsih memaksakan diri menerima suapan nasi yang teras pait, bahkan mulutnya tidak mampu mengunyah nasi yang berada di dalam mulutnya. Tanpa mengunyahnya lagi Ningsih menelannya dengan bantuan air yang diminumnya.

******

Aku terbangun di sebuah ruangan terbuka yang gelap. Satu satunya penerangan adalah bintang bintang yang bertebaran di langit. Kasur yang aku tiduri berubah menjadi batu besar pipih yang biasa aku temui di lereng Gunung Salak. Susunan batu yang biasa di sebut megalitikum, atau Abah almarhum kakekku menyebutnya Salaka Dhomas. Aku ingat sering diajak ke sini oleh kakekku untuk mengasah indra dan insting bersilatku.

"Ini adalah tempat ibadah para penganut Agama Sunda Purba. Sunda wiwitan atau yang sekarang dikenal dengan nama buhun. Di sini dulu guru silat Abah sering melatih Abah hingga mencapai kemampuan seperti sekarang." kembali semua ingatan itu muncul.

Abah mulai bersilat dengan jjrus jurus yang sudah kuhafal.diluar kepala. Jurus yang terlihat cepat dan bertenaga, jurus yang mudah dingat dan dipraktekan. Tapi yang paling sulit adalah melatih reflek dan juga naluri. Ada yang aneh, du dalam kegelapan aku bisa melihat semua gerakan Abah tanpa ada satupun yang aku lewati.

"Abah...!" aku berteriak memanggilnya ketika Abah tiba tiba lenyap dari hadapanku. Suasana sangat sepi tanpa ada suara apaun, bahkan suara daun yang bergoyang terkena anginpun tidak terdengar. Hanya suara nafasku yang berat terdengar jelas.

Kembali aku kehilangan kesadaranku. Saat aku terbangun bukan lagi di Salaka Dhomas tempat yang sering aku kunjungi bersama Abah. Sekarang aku berada di sebuah tempat yang tidak asing lagi, Gunung Kemukus dan aku berada di Bangsal Sonyoyuri tempat Pangeran Samudra dimakamkan. Lalu siapa yang ada di sampingku berdoa dengan khusus sampai menangis. Suara isak tangisnya terdengar menggangguku. Aku menoleh ke arah suara yang mengganggu itu. Bukankah yang menangis adalah Ningsih? Tapi aku tidak bisa melihat wajahnya yang sperti tertutup kabut gelap. Begitu khusu Ningsih berdoa untuk dirinya agar tidak kehilangan orang orang yang dicintainya. Agar semua kesialannya hilang.

Suasana sekelilingku kembali berubah, bukan lagi bangsal Sonyoyuri, tapi aku sedang terbaring di sebuah ranjang besi. Ada apa dengan tanganku? Aku melihat dua buah botol berisi cairan tergantung di atasku. Satu botol berwarna merah membuatku ngeri. Apa mungkin botol itu berisi darah? Darah dari mana? Apa diambil dari tubuhku.

"A, bangun !" suara Ningsih terdengar samar samar memanggilku. Mataku terlalu berat untuk terbuka. Aku mendengar suara pintu yang terbuka dengan keras. Mataku tetap tidak mampu terbuka.

Seseorang masuk mendatangiku. Aku berusaha bergerak bersiap menghadapi kemungkinan terburuk, bisa saja orang itu yang menusuk dadaku. Aku memaki dengan kata kata paling kasar yang pernah aku dengar. Orang itu menempelkan sesuatu di dadaku. Benda itu terasa dingin, tapi entah kenapa tubuhku tidak bisa bergerak. Aku berusaha sekuat mungkin menyingkirkan benda itu tapi kedua tanganku tidak mampu aku gerakkan.

"Alhamdulillah Bu, masa kritisnya sudah lewat." itu suara lelaki. Apa Ningsih atau Lilis selingkuh dan menghianatiku. Aku marah dan terus memaki dengan kata kata kasar. Kata kata yang tidak pernah aku ucapkan.

Di mana aku sekarang? Di mana lelaki yang tadi meraba dadaku? Tempat apa ini? Hanya sebuah tanah lapang yang luas tanpa ada bangunan maupun pohon. Apakah aku berada di padang pasir yang tidak berujung seperti yang sering aku lijat dalam film film. Tapi kenapa aku tidak menginjak pasir melainkan tanah yang keras dan juga tempat ini tidak mempunyai matahari padahal sekelilingku terang benderang seperti siang hari.

Hei siapa itu? Ada 2 orang datang menghampiriku, wajah mereka terlihat sangat menyeramkan dan mereka sangat tinggi dan sangat besar. Tinggiku hanya seperut mereka. Aku berteriak sekeras kerasnya meminta tolong kepada siap saja yang bisa mendengar suaraku.

"Ibuuuu, tolong Ujang...!" aku berteriak memanggil ibu saat salah seorang di antara mereka menari tanganku. Reflek tanganku memukul perut orang itu. Buk, pukulan yang sangat keras dan berakibat fatal buat diriku sendiri. Aku merasakan sakit yang luar biasa di perutku. Tempat yang sama dengan pukulanku yang mengenai perut orang itu.

Aku menyerah kalah, orang itu menyeretku ke pinggir sebuah jurang yang sangat dalam sehingga dasarnya tidak terlihat. Apakah orang ini akan melemparku ke.dalam jurang yang dalam ini?

Bersambung

No comments for "Ritual Gunung Kemukus Season II ~ Menuju Puncak (Chaptet 19 : Penghianat)"