Ritual Gunung Kemukus Season II ~ Menuju Puncak (Chapter 14 : Dendam Tanpa Akhir)
Model : Miss Aprillia jasmine
"A Ujang..!" Ningsih melihat ke arah kami bergantian dengan mata terbelalak.
Lilis yang berhasil mengendalikan diri lebih dahulu segera merangkul Ningsih dan mengajaknya masuk menghampiriku yang masih kaget dengan kehadirannya yang begitu tiba tiba.
"Teteh yang pengen ngerasaim A Ujang ngentotin Ambu. Jangan marah sama A Ujang dan Ambu ya, Ningsih!" Lilis merangkul Ningsih disertai pemintaan maaf.
Berbeda dengan Ambu yang tidak terkejut maupun takut melihat kedatangan Ningsih, dia justru menarikku dan mendorongku celentang lalu meraih kontolku yang langsung dikangkanginya. Ambu menekan.pinggulnya hingga kontolku amblas di memeknya yang hangat dan basah.
"Ambu,!" aku terkejut saat kontolku sudah tertelan memeknya. Tanpa memperdulikan kehadiran Ningsih, Ambu malah memompa kontolku dengan liar.
Ningsih tertawa geli melihatku dan Lilis yang ketakutan dengan kehadirannya. Dia malah terlihat tenang melihat Ambu sedang memompa kontolku.
"Kok Ningsih malah ketawa?" Lilis bertanya heran melihat keanehan Ningsih. Ningsih tidak marah seperti dugaannya.
"Kan waktu Ambu ke sini Ningsih pernah minta Ambu ngentot sama A Ujang, Ningsih pengen ngintip A Ujang lagi ngentot sama Ambu, gak taunya Teh Lilis ngidam yang sama." perkataan Ningsih membuatku dan Lilis bengong. Pantes Ambu tidak terusik dengan kehadiran Ningsih, malah semakin agresif.
"Uh, ennnak banget kontol mantu Ambu." Ambu mendesis lirih, pinggulnya bergoyang menggoda ke dua anaknya.
Benar benar keluarga gila, ibu dan anak mempunyai nafsu sama besar. Norma norma kehidupan telah sirna, terjatuh ke jurang nista yang menyeret mereka menjadi pemuja birahi. Tanggallah hubungan ibu dan anak. Keberanianku muncul, rasa sungkan sudah hilang ke dasar jiwaku yang terdalam. Tanganku meremas dada Ambu yang bergoyang indah, memancing setiap pria untuk menjamahnya. Mungkin ini yang dibilang posisi WOT.
Mendengar apa yang dikatakan Ningsih membuat Lilis terlihat lega. Lilis mengangkangi wajahku. Dalam keadaan biasa, aku pasti akan marah saat pantanya yang montok tepat di atas wajahku. Lidahku langsung menyapu memek Lilis dengan rakus. Bahkan cairan memeknya menetes ke mulutku. Dunia yang gila, aku melayani nafsu dua oranga wanita yang bukan istriku, sementara istriku menjadi penonton.
"Edun, memek ambu ennnak dientot mantu.... Ambu kelllluarrrrr, Jang...!" aku tidak bisa melihat espresi Ambu saat mendapatkan orgasme, wajahku tertutup pantat indah Lilis yang menggerakkan memeknya di mulutku.
Aku bisa merasakan, Ambu bangun dari pangkuanku. Melepaskan kontolku dari jepitan memeknya. Lilis segera menggantikan posisi Ambu, memeknya memeknya segera menelan kontolku yang berlumuran lendir memek Ambu.
Pandangan mataku terbebas, baru aku bisa melihat wanita yang aku cintai begitu asik menonton suaminya sedang melayani nafsu sex kakak dan ibunya. Bibirnya tersenyum manis melihatku.
"Enak gak memek Ambu, A?" Ningsih mencium bibirku. Kami berciuman saat Lilis memacu kontolku dengan lembut, sangat lembut gesekan yang terjadi antara kontolku dan dinding memeknya yang lembut dan lunak.
"Ampun A, memek Lilis enak banget disodok kontol A Ujang....!" Lilis begitu menikmati kegilaan kami dalam berpacu birahi. Tidak ada lagi batas abtara kakak ipar maupun ibu mertua, semuanya lebur dalam nafsu birahi purba.
"A, enak gak memek Ambu?" Ningsih kembali bertanya setelah bibir kami terlepas. Matanya menatapku lembut dan sorot matanya terlihat aneh. Sorot mata yang tidak kuketahui maknanya.
"Ningsih gak marah?" tanyaku heran melihat sorot matanya yang berbinar indah.
"Lilis kelllluarrrrr, A....!" kurasakan memek Lilis berkedut menyambut orgasme yang dahsyat. Bisa kurasakan Lilis menekan pinggulnya dengan keras.
"Ningsih kok gak buka baju?" tanyaku heran melihat Ningsih yang berpakaian lengkap dengan jilbab yang membuat wajahnya semakin cantik. Ya, sekarang Ningsih memakai jilbab.
"Ningsih cuma pengen nonton..." Ningsih tertawa melihat Lilis bangkit dari pangkuanku, sehingga kontolku terlepas masih dalam keadaan tegak perkasa.
"Aa belom keluar...!" protesku entah ke siapa.
"Sini keluarin di memek Ambu." kata Ambu berbaring di sampingku dengan kaki mengangkang lebar memperlihatkan belahan memek tembemnya yang mulus tanpa bulu. Benar benar tidak ditumbuhi bulu, bukan karena dicukur.
"Tuh katanya keluarin di memek Ambu.!" Ningsih membantuku bangun. Aku segera merangkak di atas tubuh montok Ambu yang sangat menggiurkan, tubuhnya tidak kalah dengan wanita berusia 30an mungkin terbiasa bekerja membuat tubuhnya tetap kencang.
Ningsih memegang kontolku dan mengarahkan ke memek Ambu yang agak terbuka siap menerima hujaman kontolku yang perkasa. Dengan mudah kontolku menembus lobang yang telah melahirkan istriku. Sensasi yang sangat dahsat kurasakan saat kontolku memompa memeknya. Bukan rasanya yang berbeda, tapi sensasinya yang sangat jauh berbeda. Aku tidak bisa menggambarkannya secara detil, karena hanya busa dirasakan.
Dan sensasinya mampu membuatku tidak mampu bertahan lebih lama lagi, pejuhku memancar dengan deras ke dasar lobang terdalam. Lobang yang telah melahirkan wanita yang sangat kucintai.
"Ambu, Ujang kelllluarrrrr...!" aku mengeram memuntahkan sejuta kenikmatan tiada tara.
"Ambu juga kelllluarrrrr lagi, Jang...!" Ambu memelukku dengan keras, bibirnya menggigit bibirku hingga berdarah.
Aku berteriak kecil membuat Ambu menyadari yelah menggigit bibirku hingga berdarah.
"Aduh maaf, Jqng. Ambu gak sadar gigit bibir kamu, saking enaknya dientot kamu." kata Ambu menatapku dengan perasaan bersalah.
"Gak apa apa, Mbu. Lilis dan Ningsih juga sering gigit pundak Ujang." kataku membelai pipi ambu yang halus dan terlihat masih kencang. Orang yang baru mengenalnya pasti tidak akan percaya Ambu sudah berumur 50 tahun.
"A, ditungguin Ibu. Ada yang mau dibicarain. Penting." Ningsih menyadarkanku dari pesona Ambu yang begitu menggairahkan. Ambu masih berada di atas tubuhku dengan kontolku masih dalam cengkeraman memek Ambu.
Ambu tertawa dan bangkit dari atas tubuhku, membuatku meringis gilu dan nikmat saat kontolku terlepas dari memeknya.
******
"Jang duduk, ibu mau bicara.!" kata ibu menyuruhku duduk di hadapannya. Ibuku duduk di samping Mang Udin yang terlihat sudah lebih segar. Aku kagum dengan kemampuan Mang Udin yang bisa pulih dengan cepat padahal lukanya cukup parah bahkan nyaris merenggut nyawanya.
"Mau bicara apa, Bu?" aku sudah menebak, pasti ibu akan membicarakan masalah pernikahannya dengan Mang Udin, itu sebabnya Mang Udin ada di sini mendampingi ibuku.
"Mang Udin mau menikahi ibumu, tapi...?" Mang Udin tidak meneruskan perkataanya, wajahnya terlihat gelisah. Mungkin dia takut aku tidak setuju. Aku berusaha sabar menunggu Mang Udin menyelesaikan perkataanya.
Aku tidak bisa menghalangi keinginan Ibu untuk menikah lagi. Sudah saatnya Ibu bahagia setelah belasan tahun mengorbankan hidupnya untuk membesarkan anak anaknya. Mungkin dengan menikah lagi ibu akan menemukan kebahagiaannya. Ada seseorang yang akan selalu menjaganya, karena sekuat apapun kami berusaha untuk membahagiakan dan menjaga ibuku, akan berbeda rasanya kalau yang menjaga dan yang membahagiakannya adalah suaminya. Aku merasa yakin Mang Udin akan mampu melakukannya.
"Ujang setuju kalau ibu mau nikah lagi." kataku memecahkan keheningan yang berlangsung agak lama.
"Terimaksih, Jang. Ibu bahagia bisa mengerti keinginan Ibu, tapi persoalannya...!" kembali ibu tidak meneruskan ucapannya seperti yang dilakukan Mang Udiin. Aku ikut gelisah melihat wajah ibu dan Mang Udin yang gelisah. Sebenarnya apa yang akan mereka bicarakan sampai susah untuk mengucapkannya. Aku sudah menyatakan persetujuanku, lalu apa lagi yang menghalangi mereka untuk menikah. Apa ayahku yang menjadi halangan mereka untuk menikah?
"Ada seseorang yang tidak akan membiarkan Ibu menikah dengan pria lain." kata ibu dengan sura gemetar. Entah takut atau marah.
Atau mungkin aku yang marah mendengar ada seseorang yang berusaha menghalangi kebahagian ibuku. Siapa orang yang berani melakukannya? Dia akan berhadapan denganku karena ingin merusak kebahagiaan ibuku.
"Siapa orang yang berani menghalangi ibu buat menikah? Apa ayah?" tanyaku marah. Orang itu akan menyesal karena berani melakukannya.
"Shomad..." ibuku berkata pelan, nyaris tidak terdengar olehku. Mendengar nama itu kembali disebut membuatku tertegun kaget.
Berarti benar cerita Mang Karta dan Bi Narsih tentang cinta segitiga antara ayahku, Ibu dan Pak shomad. Apa benar dia yang merusak kebahagiaan keluargaku terutama ibuku. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, aku akan berusaha melindungi kebahagiaan ibuku dengan taruhan nyawaku.
"Siapa sebenarnya Pak Shomad itu, Bu?" tanyaku pura pura tidak mengenal pria yang menjadi momok buat ibuku.
"Ayahmu, Mang Karta dan Shamad adalah sahabat karib. Mereka berguru silat ke Abahmu (kakekku). Shomad dulu mengejar ngejar ibu, tapi ibu lebih memilih ayahmu. Karena ibu jatuh cinta ke ayahmu. Sampai terjadi perkelahian antara ayahmu dan Shomad, Untung Mang Karta bisa melerai perkelahian mereka. Ahirnya itu menikah dengan ayahmu. Sedangkan Shomad hilang entah ke mana. Setelah menikah ibu ikut ayahmu tinggal di Jakarta. Saat kamu berusia 1 tahun, ibu kembali bertemu dengan Shomad di Jakarta.." ibuku terdiam beberapa saat seperti berusaha mengingat kejadian lebih dari dua puluh tahun yang lalu.
"Suatu hari ayahmu datang dengan Shomad, ternyata setelah perkelahian itu Shomad nerantau ke Jakarta. Ayahmu waktu itu masih jadi kuli angkut pasar dengan Mang Karta. Tapi semenjak bertemu dengan Shomad, ayahmu dan Mang Karta malah jadi preman pasar. Padahal ibu tidak setuju ayahmu jadi preman seperti itu. Ibu lebih senang ayahmu jadi kuli angkut dapat uang halal dari pada jadi preman dengan uang banyak tapi hasil dari meras orang. Uang haram." kembali ibu terdiam. Matanya terlihat berlinang tanpa dapat dicegahnya.
Hatiku miris setiap kali melihat ibuku bersedih. Aku sadar bahwa aku belum bisa membahagiakannya. Sekuat apapun aku berusaha mengambil tanggung jawab ayahku untuk membahagiaknnya, ternyata aku belum bisa membahagiakannya. Bahkan aku selalu membuatnya terluka. Aku ingat saat aku pergi pertama kali merantau ke Jakarta, menurut cerita yang aku dengar, hampir setiap hari ibu menangisiku karena merasa gagal.
"Ahirnya ibu memutuskan untuk kembali ke kampung karena tidak rela melihat ayahmu semkin tidak terkendali menjadi jagoan yang ringan tangan. Hingga ahirnya ayahmu dianggap mati karena hanyut di sungai." ibuku menarik nafas panjang berusaha mengumpulkan kekuatannya yang semakin terkikis.
"Suatu hari Shomad datang melamar ibu setelah kematian ayahmu. Tapi ibu menolaknya. Shomad marah dan mengancam akan membunuh siapa saja pria yang berni mendekati ibu. Abah marah mendengar ancaman Shomad dan mengusir Shomad sampai terjadi perkelahian. Untung abahmu bisa mengalahkan Shomad." kata ibuku mengahiri ceritanya.
Ternyata almarhum abah seorang jawara silat yang hebat. Aku beruntung telah berhasil menyerap seluruh ilmu silatnya sampai berumur 15 tahun. Aku dilatih oleh Abah. Satu satunya kelemahanku adalah aku belum terlatih dalam pertempuran jalanan sehingga aku mudah dikalahkan. Aku masih terlalu hijau.
"Yang mencelakai Mang Udin adalah Shomad..!" kata Mang Udin membuatku sangat terkejut dan juga lega karena bukan ayahku yang melakukannya.
"Shomad membuktikan ancamannya untuk mencelakai siapa saja pria yang mendekati ibu." ibu mengusap air mata yang tiba tiba membasahi pipinya yang halus. Ibuku benar benar cantik dan kecatikannya selalu membuat kagum Lilis dan istriku Ningsih.
Aku benar benar marah dengan Shomad. Keinginanku untuk keluar dari dunia hitam harus aku tarik. Aku harus bergabung dengan Mang Karta dan Bi Narsih menyusun rencana untuk menghancurkan Shomad agar ibuku bisa bahagia tanpa ada yang menggunya.
Benar kata Bi Narsih, aku tidak bisa mundur. Secara tidak langaung aku telah diseret oleh Shomad dalam dendam masa lalunya. Aku adalah anak pion yang digunakan untuk memancing ayahku keluar dari tempat persembunyiannya.
"Jadi yang membuat Mang Udin hampir tewas adalah, Shomad?" aku benar benar tidak pernah menduganya.
Belum sempat Mang Udin menjawab, dari arah pintu yerdengar ucapan salam. Betapa terkejutnya aku melihat Ayahku dan Bu Dhea berdiri di depan pintu.
"Kang Gobang?" ibuku berteriak melihat ayahku berdiri di ambang pintu. Matanya melotot seperti melihat hantu yang sangat menakutkan.
"Aku akan membiarkanmu menikahi mantan istriku Kokom kalau kamu bisa mengalahkanku, Tompel!" ayahku berkata dingin tidak menghiraukan keberadaanku dan juga ibu. Matanya tertuju ke arah Mang Udin, tatapan matanya begitu dingin dan penuh ancaman.
Mendengar ayahku berani mengancam dan mengusik kebahagiaan ibuku, membuatku sangat marah. Kebencianku semakin menumpuk dan berubah menjadi kemarahan yang tidak mampu lagi aku tahan. Mang Udin sedang terluka, tentu Mang Udin tidak akan mampu menghadapi ayahku. Untuk bergerak saja dia harus menahan sakit.
Tanla memberi peringatan, aku mendorong ayahku keluar menuju pekarangan. Ayahku hanya tertawa kecil sambil mundur ke belakang mencari ruang yang lebih luas. Dia menatapku tajam, setajam sembilu. Di pekarangan ayahku memasang kuda kuda siap menerima seranganku.
"Pergi dari sini, jangan pernah berani mengganggu ibuku lagi atau kamu akan kubunuh...!" kataku mengancam dan aku sendiri kaget dengan ancaman yang keluar dari mulutku. Aku belum pernah mengancam orang.
Ayahku hanya tertawa dingin dan tiba tiba kepalan tanganya mengarah ke arah wajahku, cepat dan bertenaga.
Bersambung...
No comments for "Ritual Gunung Kemukus Season II ~ Menuju Puncak (Chapter 14 : Dendam Tanpa Akhir)"
Post a Comment