Ritual Gunung Kemukus Season II ~ Menuju Puncak (Chapter 13 : Terseret Dendam Masa Lalu)
Model : Miss Acha
Aku jadi teringat dengan awal pertemuanku dengan Anis, dia mengutarakan maksudnya ke Gunung Kemukus waktu itu.
"Anis ke sini dan nekat nelakukan ritual, agar Anis bisa bertemu dengan Kang Gobang. " itulah yang dikatakan Anis waktu itu. Trrnyata Anis sudah mengetahui keberadaan ayahnya di Gunung Kemukus.
Aku menatap ke dua gadis cantik yang duduk dengan gelisah. Sesekali mereka melihat ke arahku seperti terdakwa yang sedang menunggu vonis bersalah mereka.
"Sebenarnya ayah kalian meninggal karena apa?" pertanyaan yang akan membuat ke dua gadis itu terluka, tapi aku harus tahu penyebab kematiannya. Yeruyama aku harus tahu apa hubungan ayahku dengan Pak Shomad.
"Ayah meninggal karena dibunuh oleh seseorang." Rani menjawab sedih. Kesedihan karena diingatkan kematian ayahnya yang begitu tragis.
"Ayah kalian pasti meninggalkan uang cukup banyak, kalian bisa hidup dengan uang itu. Kalian bisa pulang ke rumah kalian." aku berusaha mengorek lebih dalam kondisi mereka yang sebenarnya.
"Ayah memang meninggalkan kami uang dan rumah. Tapi kami takut pulang. Musuh ayah banyak." Rani memberanikan diri menatapku. Tatapan yang ingin dikasihani.
Aku menarik nafas, tidak tahu melakukan apa dengan ke dua gadi cantik ini. Kehidupanku sendiri sudah pelik, ditambah dengan mereka. Mau jadi apa hidupku nanti. Merwka berdua cantik, tentu banyak pria yang bersedia menampung hidup mereka.
"Tolong kami, A. Jangan usir kami dari sini. Kami takut." Rani berjongkok dihadapanku, tangannya mengelus pahaku. Dia tentu berpikir akan menyogokku dengan tubuhnya. Niatnya terlihat jelas olehku. Apa lagi mereka telah menyerahkan keperawanan mereka kepadaku. Melayaniku setiap saat bukan lagi masalah buat mereka.
Ahirnya aku menyanggupi untuk membiarkan ke dua gadis itu tetap di markas sambil menunggu langkah apa yang akan diambil Mang Karta maupun Bi Narsih. Saat ini aku masih begitu bergantung pada mereka. Aku meninggalkan ke dua gadis itu.
Aku memacu motor ke rumah Bi Narsih. Aku ingin tahu tentang siapa Pak Shomad sehingga photo bersama dengan ayahku dan Mang Karta. Markas dan rumah Mang Karta lumayan jauh.
******
Aku senang sekali melihat Mang Karta sudah bisa berjalan normal walau lukanya masih dibalut perban dan harus melakukan kontrol rutin ke RS. Mang Karta tertawa menyambut kedatangannku.
"Jalu, dari mana saja kamu baru datang?" tangannya mengelur rambutku seperti yang selalu dilakukannya saat aku masih kecil.
"Ujang, Mang!" aku protes dengan panggilan namaku yang mengingatkanku dengan ayahku. Jalu adalah satu satunya warisan yang kudapatkan dari ayahku, sosok yang sudah terlanjur aku benci. Sedangkan Ujang adalah nama panggilan yang disematkan oleh Mang Karta sejak aku kecil dan selalu aku pakai hingga sekarang.
"Kamu sebentar lagi punya anak, jadi bapak. Kalau anak kamu lelaki, akan kamu panggil Ujang. Masa ada dua Ujang di dalam satu rumah." Mang Karta kembali tertawa lucu membayangkan ada dua Ujang dalam satu rumah. Ayah dan anak.
"Jalu sekarang nama yang paling cocok buat kamu. Terdengar gagah dan keren." Mang Karta meneruskan perkataannya. Tangannya merangkul pundakku, mengajakku masuk ke dalam rumah.
"Nama kampungan." aku tetap belum mau dipanggil Jalu walau itu adalah nama yang tertulis di KTP dan KK.
Di dalam Bi Narsih sudah menyiapkan kopi dan pisang goreng kesukaanku dan Mang Karta. Entah kenapa, apa yang disukai Mang Karta pasti aku akan ikut menyukainya. Secara tidak sadar sejak kecil aku selalu ingin meniru apa yang dilakukan Mang Karta. Bahkan aku menganggap diriku sebagai anak Mang Karta dari pada anak ayahku.
"Kopinya, Jang." aku senang sekali mendengar Bi Narsih masih memanggilku Ujang, aku memeluk dan mencium pipinya sebagai ucapan terima kasih. Begitu menyadari kehadiran Mang Karta, aku tersipu malu.
"Mang Karta kenapa gak pernah cerita tentang Pak Shomad?" tanyaku sambil menyerahkan photo dan surat tantangan yang kubawa dari Gunung Kemukus.
Mang Karta membuka amplop berisi photo dan juga surat tantangan. Wajahnya terlihat kaget dan tegang. Ekspresi wajahnya terlihat jelas. Lalu Mang Karta menyerahkan photo dan surat ke Bi Narsih yang melihatnya sekilas. Wajah Bi Narsih terlihat lebih tenang dibandingkan Mang Karta. Ekspresi wajahnya lebih datar. Kemampuanny mengendalikan diri Bi Narsih memang luar biasa.
Mang Karta melihat Bi Narsih seperti meminta pertimbangan apa yang harus dilakukannya. Wajahnya terlihat letih.
"Ini Kang Shomad, Ayahmu dan juga Mamangmu dulunya adalah tiga serangkai. Tuga serangkai yang selalu bersama, belajar silat dan ilnu kanuragan di tempat yang sama. Kang Shomad adalah kakaknya Mang Kardi almarhum suami Bibi." Bi Narsih tidak meneruskan ceritanya. Bi Narsih melihat ke Mang Karta seakan minta bantuan untuk meneruskan ceritanya yang terhenti.
"Ayahmu dan Shomad sama sama mencintai ibumu, tapi ayahmu yang berhasil mendapatkan ibumu." Mang Karta meneruskan cerita Bi Narsih.
"Sebelum ayahmu menikahi ibumu, ayahmu dan Shomad berkelahi untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan ibumu. Ayahmu kalah dan hampir terbunuh kalau saja Mamang tidak keburu datang. Mamang berusaha melerai perkelahian mereka, tapi Shomad marah dan menyerang Mamang. Jadi Mamang dan ayahmu berkelahi melawan Shomad, kami mengeroyoknya hingga Shomad kalah dan meninggalkan kami. Tapi Shomad mengancam akan membalas dendam dan menghancurkan kami." Mang Karta terdiam mengingat kejadian yang lampau. Kejadian yang tidak pernah dia bayangkan akan berbuntut panjang.
"Saat aku dan Gobang menjadi jawara di beberapa tempat di Jakarta, ternyata Shomad sudah lebih dulu jadi Jagoan di beberapa tempat. Bahkan dia dibekingi orang orang penting. Dia juga mengendalikan jaringan narkoba dan prostitusi terbesar di Jakarta." Mang Karta meminum kopi yang sudah dingin. Entah apa yang dirasakannya saat ini.
"Suatu hari Shomad mengajak kami bertemu, dia mengajak kami bekerja sama merampok beberapa toko emas terbesar di Jakarta yang menurut informasi yang dia terima, ada emas batangan yang cukup banyak. Mamang tidak mau ikut. Jadi yang ikut ayahmu, Shomad dan juga Codet. Ternyata perampokan itu sebuah jebakan yang dipersiapkan Shomad buat ayahmu. Di toko terahir yang dirampok, ayahmu ditinggalkan sendiri. Ayahmu dikepung polisi, untung Japra berhasil menyelamatkan ayahmu yang waktu itu sudah mulai keracunan. Japra membawa ayahmu pulang, seminggu kemudian Mamag dan ayahmu bertarung dan ayahmu hanyut di sungai. Jadi begitu polisi datang mereka tidak menemukan ayahmu. Mungkin itu alasan ayahmu memalsukan kematiannya." Mang Karta menyudahi ceritanya yang cukup panjang.
"Lalu, kenapa setelah kematian ayah, Pak Shomad tidak mendekati ibu?" tanyaku heran.
"Karena kakekmu masih hidup dan Shomad tidak akan berani memaksa ibumu." Bi Narsih menjelaskan.
Aku ingat, Abah atau Kakekku adalah guru silat paling dihormati.
Kisah yang panjang dan masih terus berlanjut hingga sekarang. Bi Narsih dan Mang Karta belum tahu aku sudah menikahi Anis keponakan istrinya Pak Shomad. Apa reaksi mereka kalau tahu aku sudah bermain api dengan musuh terbesar ayahku. Untuk sementara aku harus tetap merahasiakannya.
"Sekarang Kang Karta percaya sama Narsih kan, kalau Kang Karta sedang diadu domba dengan Kang Gobang oleh seseorang. Kuat dugaan Narsih orang itu adalah Kang Shomad. Dan pasti ada penghianat di antara kita. Kang Karta harus lebih berhati hati jangan gampang terprovokasi." Bi Narsih menatap Mang Karta.
"Iya. Akang akan mendengar pendapat Narsih sekarang." Mang Karta menepuk pundak Bi Narsih.
Berarti Codet juga terlibat menjebak ayahku. Apa mungkin ayahku terlibat dalam rencana pembunuhan Codet. Bisa jadi ayahku dendam dan merencanakan pembunuhan Codet.
Lalu kenapa Pak Shomad menyuruhku menikahi Anis kalau dia tahu aku adalah anak musuh besarnya. Aneh sekali. Aku tidak biasa berpikir rumit, bagiku semua hal harus dipikirkan dan dijalani secara sederhana dan apa adanya. Bukan dengan tipu muslihat yang licik dan culas sperti sekarang.
"Sekarang apa yang akan kamu lakukan setelah kehilangan posisi kamu di Club malam?" tanya Mang Karta membuyarkan lamunanku.
"Kembali ngurus kios di pasar." aku menjawab dengan suara agak tersedak karena kaget oleh pertanyaan Mang Karta yang tiba tiba.
"Kamu bisa melupakan kejadian yang saat ini sedang kamu hadapi?" kembali Mang Karta bertanya.
"Maksud Mang Karta?" tanyaku tidak mengerti arah pembicaraanya.
"Kamu sudah tahu tentang ayah kamu dan secara tidak langsung kamu sudah terlibat di dalamnya. Apa kamu bisa menghindar dari semuanya?" Bi Narsih menjelaskan maksud Mang Karta. Matanya menyelidiki pikiranku. Entah bagaimana caranya Bi Narsih selalu bisa membaca apa yang aku pikirkan. Inilah salah satu hal yang membuatku takluk dan kagum kepadanya.
"Ayahmu sedang berusaha menyingkirkanmu dari perselisihan masa lalu kami. Tapi ayahmu salah, kamu sudah terjerumus terlalu jauh. Shomad telah menyeretmu dalam perselisihan ini dan itu yang tidak diketahui oleh ayahmu." Bi Narsih berusaha menjelaskan situasi yang sedang kuhadapi. Situasi yang menyeretku.
"Ujang gak tau, Bi.!" Situasi yang kuhadapi terlalu rumit. Aku hanya bisa berharap keluargaku tidak ikut terseret dalam situasi ini.
"Mamang sudah berencana untuk bergerak, karena hanya ini cara bertahan terbaik." Mang Karta terlihat menari nafas gelisah.
Aku tidak tahu apa yang dimaksud bergerak oleh Mang Karta. Dunia yang begitu asing, penuh dengan tipu daya yang licik. Dunia yang tidak cocok buatku yang berpikiran lurus. Lalu sekarang apa yang harus kulakukan kalau menurut Bi Narsih aku sudah terseret terlalu jauh dan sulit untuk mundur. Apa Bi Narsih tahu hubunganku dengan Anis?
"Ujang pulang dulu, ada Ambu di rumah." kataku berpamitan setelah otakku tidak lagi mampu berpikir. Biarlah semuanya mengalir seperti air. Aku hanua ingin bisa menikmati hidup dengan orang yang kucintai. Itulah impianku dan impian semua orang.
******
"Ningsih mana Lis?" aku tidak melihat Ningsih sejak aku pulang. Di kamar juga tidak ada, hanya ada Ambu yang sedang asik menonton tv.
"Lagi bantuin ibu di warung. Kan rencananya warung mau dipindah ke pinggir jalan raya." Jawab Lilis yang sedang asik membaca tabloid wanita kesukaanya.
"Kok A Ujang gak tahu warung mau dipindah ke depan?" tanyaku heran. Sejak aku pulang dari Kemukus aku belum menemui ibuku. Lilis dan Ningsih tidak menyinggung hal itu.
"Makanya kalau pulang dari mana mana temuin Ibu. Lihat keadaanya. Ibu tinggal di belakang bukan di kampung." Lilis mencibir ke arahku. Bibirnya yang merah alami terlihat sangat menggemaskan.
Aku duduk di samping Lilis dan menciun bibirnya yang menggemaskan. Lilis membalasnya dengan mesra, kami berciuman tanpa menghiraukan kehadiran Ambu diantara kami.
"Kalian ini, kalau mau ciuman di kamar. Jangan di depan Ambu. Kalau Ambu kepengen bagaimana?" suara Ambu tidak mampu mengusik keasikanku mencumbu bibir Anis yang sangat menggairahkan.
"Ambu pengen ikutan?" tanya Lilis tertawa setelah ciuman panjang kami selesai. Matanya melihat ambj dengan senyum menggoda.
"Hush, Ambu masa disuruh nyobain punya mantu sendiri." Ambu yerlihat tersipu malu dengan godaan Lilis.
"Gak apa apa, Ambu. Kan Ambu udah pernah nyobain kontol A Ujang." Lilis semakin memancing Ambu untuk bergabung. Benar benar gila apa yang dilakukan Lilis. Apa calon istriku punya kelainan sehingga terobsesi melakukan 3some dengan ibunya sendiri.
"Ich, jangan sembarangan kalo ngomong." Ambu terlihat kaget, wajahnya menjadi merah.
"Lilis liat sendiri, Ambu ngentot sama A Ujang di sini. Tapi Lilis gak marah. Lilis pengen 3some sama Ambu." Lilis berjalan menghampiri Ambu dan menarik tangannya masuk kamar. Herannya Ambu tidak berusaha menolak tarikan tangan anaknya yang sudah kerasukan sex.
Aku terkejut dengan kegilaan Lilis, namun tak ayal mataku melihat pantat Ambu yang gempal bergoyang goyang memancing birahiku yang tiba tiba bangkit membayangkan 3some dengan ibu dan anak yang sama sama cantik.
"Jang, kok bengong aja?" goda Ambu yang sudah bisa mengendalikan dirinya dan terbawa oleh kegilaan anaknya. Yangannya melambai agar aku mengikuti masuk kamar.
Aku tidak bisa menolak keinginan Ibu dan anak yang menjadikanku pejantan tangguh. Hidupku berubah menjadi budak sex sejak aku mekakukan ritual di Gunung Kemukus. Mulai dari kegilaan Bi Narsih dan Desy yang menjeratku dalam hubungan terlarang ibu dan anak. Sekarangpun aku kembali terjerat hubungan terlarang Lilis dan Ambu.
Di kamar aku melihat Lilis menelanjangi Ambu yang berdiri pasrah membiarkan anak yang sudah dibesarkannya berbuat semaunya. Apa yang mendasari Ambu berbuat begitu? Kasih sayang seorang ibu atau demi kepuasan sex yang membutakan akal sehat. Hanya Ambu yang bisa menjawabnya. Sedangkan aku sebagai mantu yang berbakti adalah memenuhi keinginan liarnya.
"A, kok diem aja? Liat tetek Ambu sudah keras pengen diisep.!" protes Lilis menyadarkanku yang terpesona oleh keindahan tubuh bugil mertuaku yang montok tapi kulitnya begitu putih dan halus seperti kulit anak anaknya.
Tanpa menunggu perintah kedua kalinya, tanganku meremas dada Ambu yang besar dan masih kencang diusianya yang ke 50. Dengan posisi masih berdiri aku membungkuk menghisap pentil dadanya yang sudah mengeras. Harum sekali dada Ambu.
"Aduh, mantu kurang ajar, tetek merua sendiri diembat." Ambu menekan kepalaku ke dadanya yang indah dan menggiurkan setiap pria yang melihatnya.
Sensasi sangat berbeda menngumuli payudar montok ibu mertuaku dihadapan anaknya yang begitu menikmati tontonan gratis di depan matanya.
Posisi berdiri dengan badan membungkuk mempermainkan dada montok Ambu, tidak begitu leluasa, leher dan punggungku terasa sangat pegal. Aku mengangkat Ambu dan merebahkannya di atas springbed empuk.
Lilis menarik tanganku saat akan menyusul Ambu, tangannya begitu cekatan menelanjangiku dan membebaskan kontolku dari kurungannya yang terasa pengap. Lilis rupanya ingin merangsangku lebih dulu, dia berjongkok membelai kontolku dan melahapnya dengan rakus.
"Aduh Lilis, !" aku mengerang nikmat merasakan kontolku terbenam di mulut Lilis yang terasa hangat dan nikmat. Lilis terlihat begutu menikmatinya, tidak ada rasa jijik menggerakkan kontolku dalam mulutnya yang selalu dijaga kebersihannya.
"Udah sayang!" aku berusaha menjauhkan kontolku dari mulut Lilis, kutarik tangannya dengan lembut agar berdiri sejajar denganku. Perlahan aku melepaskan seluruh pakaian yang menempel di Tubuhnya, dimulai dengan jilbabnya hingga ahirnya tubuhbya bugil seperti aku dan Ambu.
Tiba tiba Ambu menarikku ke dalam pelukannya. Bibirnya menyanbar mulutku dengan bernafsu. Tidak ada lagi rasa malu yang menghalangi nafsunya. Ambu begitu ganas mencumbuku di hadapan anaknya. Semuanya buta oleh nafsu yang menjerumuskan manusia berprilaku sebagai binatang yang melanggar norma norma.
Ambu mendorongku rebah, wajahnya langsung menghampiri kontolku yang sudah tegang sempurna. Sungguh liar mertuaku ini, melahap kontolku yang baru saja keluar dari mulut anaknya. Tanpa sadar aku menjambak rambut Ambu yang tebal dan masih tetap hitam. Tanpa kisadari, aku menggerakkan kepala Ambu memompa kontolku. Sungguh menantu sangat kurang ajar. Hampir saja aku memuntahkan pejuh ke mulut Ambu,. Aku segera menarik Ambu menjauh dari kontolku.
"Udah ,Mbu. Ujang pengen ngejilatin memek Ambu." aku menarik Ambu agar terlentang. Kakinya tanpa kusuruh langsung mengangkang lebar selebarnya memperlihatkan memek tembemnya yang indah tanpa bulu.
Tanpa menunggu waktu, aku membenamkan wajahku di selangkangan Ambu yang menebarkan aroma memabukkan, sehingga setiap pria yang mengirup dan melihatnya akan kehilangan kesadarannya. Kehilangan akal sehatnya. Begitu juga aku yang kehilangan kesadaran, memek wanita yang sudah melahirkan istriku kujilati dengan rakus. Setiap cairan yang keluar dari memeknya kuseruput hingga tidak tersisa.
Tiba tiba pintu kamar terbuka disertai teriakan Ningsih yang terkejut melihatku sedang menjilati memeknya Ambu dalam keadaan tubuh kami bugil.
Bersambung....
Aku jadi teringat dengan awal pertemuanku dengan Anis, dia mengutarakan maksudnya ke Gunung Kemukus waktu itu.
"Anis ke sini dan nekat nelakukan ritual, agar Anis bisa bertemu dengan Kang Gobang. " itulah yang dikatakan Anis waktu itu. Trrnyata Anis sudah mengetahui keberadaan ayahnya di Gunung Kemukus.
Aku menatap ke dua gadis cantik yang duduk dengan gelisah. Sesekali mereka melihat ke arahku seperti terdakwa yang sedang menunggu vonis bersalah mereka.
"Sebenarnya ayah kalian meninggal karena apa?" pertanyaan yang akan membuat ke dua gadis itu terluka, tapi aku harus tahu penyebab kematiannya. Yeruyama aku harus tahu apa hubungan ayahku dengan Pak Shomad.
"Ayah meninggal karena dibunuh oleh seseorang." Rani menjawab sedih. Kesedihan karena diingatkan kematian ayahnya yang begitu tragis.
"Ayah kalian pasti meninggalkan uang cukup banyak, kalian bisa hidup dengan uang itu. Kalian bisa pulang ke rumah kalian." aku berusaha mengorek lebih dalam kondisi mereka yang sebenarnya.
"Ayah memang meninggalkan kami uang dan rumah. Tapi kami takut pulang. Musuh ayah banyak." Rani memberanikan diri menatapku. Tatapan yang ingin dikasihani.
Aku menarik nafas, tidak tahu melakukan apa dengan ke dua gadi cantik ini. Kehidupanku sendiri sudah pelik, ditambah dengan mereka. Mau jadi apa hidupku nanti. Merwka berdua cantik, tentu banyak pria yang bersedia menampung hidup mereka.
"Tolong kami, A. Jangan usir kami dari sini. Kami takut." Rani berjongkok dihadapanku, tangannya mengelus pahaku. Dia tentu berpikir akan menyogokku dengan tubuhnya. Niatnya terlihat jelas olehku. Apa lagi mereka telah menyerahkan keperawanan mereka kepadaku. Melayaniku setiap saat bukan lagi masalah buat mereka.
Ahirnya aku menyanggupi untuk membiarkan ke dua gadis itu tetap di markas sambil menunggu langkah apa yang akan diambil Mang Karta maupun Bi Narsih. Saat ini aku masih begitu bergantung pada mereka. Aku meninggalkan ke dua gadis itu.
Aku memacu motor ke rumah Bi Narsih. Aku ingin tahu tentang siapa Pak Shomad sehingga photo bersama dengan ayahku dan Mang Karta. Markas dan rumah Mang Karta lumayan jauh.
******
Aku senang sekali melihat Mang Karta sudah bisa berjalan normal walau lukanya masih dibalut perban dan harus melakukan kontrol rutin ke RS. Mang Karta tertawa menyambut kedatangannku.
"Jalu, dari mana saja kamu baru datang?" tangannya mengelur rambutku seperti yang selalu dilakukannya saat aku masih kecil.
"Ujang, Mang!" aku protes dengan panggilan namaku yang mengingatkanku dengan ayahku. Jalu adalah satu satunya warisan yang kudapatkan dari ayahku, sosok yang sudah terlanjur aku benci. Sedangkan Ujang adalah nama panggilan yang disematkan oleh Mang Karta sejak aku kecil dan selalu aku pakai hingga sekarang.
"Kamu sebentar lagi punya anak, jadi bapak. Kalau anak kamu lelaki, akan kamu panggil Ujang. Masa ada dua Ujang di dalam satu rumah." Mang Karta kembali tertawa lucu membayangkan ada dua Ujang dalam satu rumah. Ayah dan anak.
"Jalu sekarang nama yang paling cocok buat kamu. Terdengar gagah dan keren." Mang Karta meneruskan perkataannya. Tangannya merangkul pundakku, mengajakku masuk ke dalam rumah.
"Nama kampungan." aku tetap belum mau dipanggil Jalu walau itu adalah nama yang tertulis di KTP dan KK.
Di dalam Bi Narsih sudah menyiapkan kopi dan pisang goreng kesukaanku dan Mang Karta. Entah kenapa, apa yang disukai Mang Karta pasti aku akan ikut menyukainya. Secara tidak sadar sejak kecil aku selalu ingin meniru apa yang dilakukan Mang Karta. Bahkan aku menganggap diriku sebagai anak Mang Karta dari pada anak ayahku.
"Kopinya, Jang." aku senang sekali mendengar Bi Narsih masih memanggilku Ujang, aku memeluk dan mencium pipinya sebagai ucapan terima kasih. Begitu menyadari kehadiran Mang Karta, aku tersipu malu.
"Mang Karta kenapa gak pernah cerita tentang Pak Shomad?" tanyaku sambil menyerahkan photo dan surat tantangan yang kubawa dari Gunung Kemukus.
Mang Karta membuka amplop berisi photo dan juga surat tantangan. Wajahnya terlihat kaget dan tegang. Ekspresi wajahnya terlihat jelas. Lalu Mang Karta menyerahkan photo dan surat ke Bi Narsih yang melihatnya sekilas. Wajah Bi Narsih terlihat lebih tenang dibandingkan Mang Karta. Ekspresi wajahnya lebih datar. Kemampuanny mengendalikan diri Bi Narsih memang luar biasa.
Mang Karta melihat Bi Narsih seperti meminta pertimbangan apa yang harus dilakukannya. Wajahnya terlihat letih.
"Ini Kang Shomad, Ayahmu dan juga Mamangmu dulunya adalah tiga serangkai. Tuga serangkai yang selalu bersama, belajar silat dan ilnu kanuragan di tempat yang sama. Kang Shomad adalah kakaknya Mang Kardi almarhum suami Bibi." Bi Narsih tidak meneruskan ceritanya. Bi Narsih melihat ke Mang Karta seakan minta bantuan untuk meneruskan ceritanya yang terhenti.
"Ayahmu dan Shomad sama sama mencintai ibumu, tapi ayahmu yang berhasil mendapatkan ibumu." Mang Karta meneruskan cerita Bi Narsih.
"Sebelum ayahmu menikahi ibumu, ayahmu dan Shomad berkelahi untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan ibumu. Ayahmu kalah dan hampir terbunuh kalau saja Mamang tidak keburu datang. Mamang berusaha melerai perkelahian mereka, tapi Shomad marah dan menyerang Mamang. Jadi Mamang dan ayahmu berkelahi melawan Shomad, kami mengeroyoknya hingga Shomad kalah dan meninggalkan kami. Tapi Shomad mengancam akan membalas dendam dan menghancurkan kami." Mang Karta terdiam mengingat kejadian yang lampau. Kejadian yang tidak pernah dia bayangkan akan berbuntut panjang.
"Saat aku dan Gobang menjadi jawara di beberapa tempat di Jakarta, ternyata Shomad sudah lebih dulu jadi Jagoan di beberapa tempat. Bahkan dia dibekingi orang orang penting. Dia juga mengendalikan jaringan narkoba dan prostitusi terbesar di Jakarta." Mang Karta meminum kopi yang sudah dingin. Entah apa yang dirasakannya saat ini.
"Suatu hari Shomad mengajak kami bertemu, dia mengajak kami bekerja sama merampok beberapa toko emas terbesar di Jakarta yang menurut informasi yang dia terima, ada emas batangan yang cukup banyak. Mamang tidak mau ikut. Jadi yang ikut ayahmu, Shomad dan juga Codet. Ternyata perampokan itu sebuah jebakan yang dipersiapkan Shomad buat ayahmu. Di toko terahir yang dirampok, ayahmu ditinggalkan sendiri. Ayahmu dikepung polisi, untung Japra berhasil menyelamatkan ayahmu yang waktu itu sudah mulai keracunan. Japra membawa ayahmu pulang, seminggu kemudian Mamag dan ayahmu bertarung dan ayahmu hanyut di sungai. Jadi begitu polisi datang mereka tidak menemukan ayahmu. Mungkin itu alasan ayahmu memalsukan kematiannya." Mang Karta menyudahi ceritanya yang cukup panjang.
"Lalu, kenapa setelah kematian ayah, Pak Shomad tidak mendekati ibu?" tanyaku heran.
"Karena kakekmu masih hidup dan Shomad tidak akan berani memaksa ibumu." Bi Narsih menjelaskan.
Aku ingat, Abah atau Kakekku adalah guru silat paling dihormati.
Kisah yang panjang dan masih terus berlanjut hingga sekarang. Bi Narsih dan Mang Karta belum tahu aku sudah menikahi Anis keponakan istrinya Pak Shomad. Apa reaksi mereka kalau tahu aku sudah bermain api dengan musuh terbesar ayahku. Untuk sementara aku harus tetap merahasiakannya.
"Sekarang Kang Karta percaya sama Narsih kan, kalau Kang Karta sedang diadu domba dengan Kang Gobang oleh seseorang. Kuat dugaan Narsih orang itu adalah Kang Shomad. Dan pasti ada penghianat di antara kita. Kang Karta harus lebih berhati hati jangan gampang terprovokasi." Bi Narsih menatap Mang Karta.
"Iya. Akang akan mendengar pendapat Narsih sekarang." Mang Karta menepuk pundak Bi Narsih.
Berarti Codet juga terlibat menjebak ayahku. Apa mungkin ayahku terlibat dalam rencana pembunuhan Codet. Bisa jadi ayahku dendam dan merencanakan pembunuhan Codet.
Lalu kenapa Pak Shomad menyuruhku menikahi Anis kalau dia tahu aku adalah anak musuh besarnya. Aneh sekali. Aku tidak biasa berpikir rumit, bagiku semua hal harus dipikirkan dan dijalani secara sederhana dan apa adanya. Bukan dengan tipu muslihat yang licik dan culas sperti sekarang.
"Sekarang apa yang akan kamu lakukan setelah kehilangan posisi kamu di Club malam?" tanya Mang Karta membuyarkan lamunanku.
"Kembali ngurus kios di pasar." aku menjawab dengan suara agak tersedak karena kaget oleh pertanyaan Mang Karta yang tiba tiba.
"Kamu bisa melupakan kejadian yang saat ini sedang kamu hadapi?" kembali Mang Karta bertanya.
"Maksud Mang Karta?" tanyaku tidak mengerti arah pembicaraanya.
"Kamu sudah tahu tentang ayah kamu dan secara tidak langsung kamu sudah terlibat di dalamnya. Apa kamu bisa menghindar dari semuanya?" Bi Narsih menjelaskan maksud Mang Karta. Matanya menyelidiki pikiranku. Entah bagaimana caranya Bi Narsih selalu bisa membaca apa yang aku pikirkan. Inilah salah satu hal yang membuatku takluk dan kagum kepadanya.
"Ayahmu sedang berusaha menyingkirkanmu dari perselisihan masa lalu kami. Tapi ayahmu salah, kamu sudah terjerumus terlalu jauh. Shomad telah menyeretmu dalam perselisihan ini dan itu yang tidak diketahui oleh ayahmu." Bi Narsih berusaha menjelaskan situasi yang sedang kuhadapi. Situasi yang menyeretku.
"Ujang gak tau, Bi.!" Situasi yang kuhadapi terlalu rumit. Aku hanya bisa berharap keluargaku tidak ikut terseret dalam situasi ini.
"Mamang sudah berencana untuk bergerak, karena hanya ini cara bertahan terbaik." Mang Karta terlihat menari nafas gelisah.
Aku tidak tahu apa yang dimaksud bergerak oleh Mang Karta. Dunia yang begitu asing, penuh dengan tipu daya yang licik. Dunia yang tidak cocok buatku yang berpikiran lurus. Lalu sekarang apa yang harus kulakukan kalau menurut Bi Narsih aku sudah terseret terlalu jauh dan sulit untuk mundur. Apa Bi Narsih tahu hubunganku dengan Anis?
"Ujang pulang dulu, ada Ambu di rumah." kataku berpamitan setelah otakku tidak lagi mampu berpikir. Biarlah semuanya mengalir seperti air. Aku hanua ingin bisa menikmati hidup dengan orang yang kucintai. Itulah impianku dan impian semua orang.
******
"Ningsih mana Lis?" aku tidak melihat Ningsih sejak aku pulang. Di kamar juga tidak ada, hanya ada Ambu yang sedang asik menonton tv.
"Lagi bantuin ibu di warung. Kan rencananya warung mau dipindah ke pinggir jalan raya." Jawab Lilis yang sedang asik membaca tabloid wanita kesukaanya.
"Kok A Ujang gak tahu warung mau dipindah ke depan?" tanyaku heran. Sejak aku pulang dari Kemukus aku belum menemui ibuku. Lilis dan Ningsih tidak menyinggung hal itu.
"Makanya kalau pulang dari mana mana temuin Ibu. Lihat keadaanya. Ibu tinggal di belakang bukan di kampung." Lilis mencibir ke arahku. Bibirnya yang merah alami terlihat sangat menggemaskan.
Aku duduk di samping Lilis dan menciun bibirnya yang menggemaskan. Lilis membalasnya dengan mesra, kami berciuman tanpa menghiraukan kehadiran Ambu diantara kami.
"Kalian ini, kalau mau ciuman di kamar. Jangan di depan Ambu. Kalau Ambu kepengen bagaimana?" suara Ambu tidak mampu mengusik keasikanku mencumbu bibir Anis yang sangat menggairahkan.
"Ambu pengen ikutan?" tanya Lilis tertawa setelah ciuman panjang kami selesai. Matanya melihat ambj dengan senyum menggoda.
"Hush, Ambu masa disuruh nyobain punya mantu sendiri." Ambu yerlihat tersipu malu dengan godaan Lilis.
"Gak apa apa, Ambu. Kan Ambu udah pernah nyobain kontol A Ujang." Lilis semakin memancing Ambu untuk bergabung. Benar benar gila apa yang dilakukan Lilis. Apa calon istriku punya kelainan sehingga terobsesi melakukan 3some dengan ibunya sendiri.
"Ich, jangan sembarangan kalo ngomong." Ambu terlihat kaget, wajahnya menjadi merah.
"Lilis liat sendiri, Ambu ngentot sama A Ujang di sini. Tapi Lilis gak marah. Lilis pengen 3some sama Ambu." Lilis berjalan menghampiri Ambu dan menarik tangannya masuk kamar. Herannya Ambu tidak berusaha menolak tarikan tangan anaknya yang sudah kerasukan sex.
Aku terkejut dengan kegilaan Lilis, namun tak ayal mataku melihat pantat Ambu yang gempal bergoyang goyang memancing birahiku yang tiba tiba bangkit membayangkan 3some dengan ibu dan anak yang sama sama cantik.
"Jang, kok bengong aja?" goda Ambu yang sudah bisa mengendalikan dirinya dan terbawa oleh kegilaan anaknya. Yangannya melambai agar aku mengikuti masuk kamar.
Aku tidak bisa menolak keinginan Ibu dan anak yang menjadikanku pejantan tangguh. Hidupku berubah menjadi budak sex sejak aku mekakukan ritual di Gunung Kemukus. Mulai dari kegilaan Bi Narsih dan Desy yang menjeratku dalam hubungan terlarang ibu dan anak. Sekarangpun aku kembali terjerat hubungan terlarang Lilis dan Ambu.
Di kamar aku melihat Lilis menelanjangi Ambu yang berdiri pasrah membiarkan anak yang sudah dibesarkannya berbuat semaunya. Apa yang mendasari Ambu berbuat begitu? Kasih sayang seorang ibu atau demi kepuasan sex yang membutakan akal sehat. Hanya Ambu yang bisa menjawabnya. Sedangkan aku sebagai mantu yang berbakti adalah memenuhi keinginan liarnya.
"A, kok diem aja? Liat tetek Ambu sudah keras pengen diisep.!" protes Lilis menyadarkanku yang terpesona oleh keindahan tubuh bugil mertuaku yang montok tapi kulitnya begitu putih dan halus seperti kulit anak anaknya.
Tanpa menunggu perintah kedua kalinya, tanganku meremas dada Ambu yang besar dan masih kencang diusianya yang ke 50. Dengan posisi masih berdiri aku membungkuk menghisap pentil dadanya yang sudah mengeras. Harum sekali dada Ambu.
"Aduh, mantu kurang ajar, tetek merua sendiri diembat." Ambu menekan kepalaku ke dadanya yang indah dan menggiurkan setiap pria yang melihatnya.
Sensasi sangat berbeda menngumuli payudar montok ibu mertuaku dihadapan anaknya yang begitu menikmati tontonan gratis di depan matanya.
Posisi berdiri dengan badan membungkuk mempermainkan dada montok Ambu, tidak begitu leluasa, leher dan punggungku terasa sangat pegal. Aku mengangkat Ambu dan merebahkannya di atas springbed empuk.
Lilis menarik tanganku saat akan menyusul Ambu, tangannya begitu cekatan menelanjangiku dan membebaskan kontolku dari kurungannya yang terasa pengap. Lilis rupanya ingin merangsangku lebih dulu, dia berjongkok membelai kontolku dan melahapnya dengan rakus.
"Aduh Lilis, !" aku mengerang nikmat merasakan kontolku terbenam di mulut Lilis yang terasa hangat dan nikmat. Lilis terlihat begutu menikmatinya, tidak ada rasa jijik menggerakkan kontolku dalam mulutnya yang selalu dijaga kebersihannya.
"Udah sayang!" aku berusaha menjauhkan kontolku dari mulut Lilis, kutarik tangannya dengan lembut agar berdiri sejajar denganku. Perlahan aku melepaskan seluruh pakaian yang menempel di Tubuhnya, dimulai dengan jilbabnya hingga ahirnya tubuhbya bugil seperti aku dan Ambu.
Tiba tiba Ambu menarikku ke dalam pelukannya. Bibirnya menyanbar mulutku dengan bernafsu. Tidak ada lagi rasa malu yang menghalangi nafsunya. Ambu begitu ganas mencumbuku di hadapan anaknya. Semuanya buta oleh nafsu yang menjerumuskan manusia berprilaku sebagai binatang yang melanggar norma norma.
Ambu mendorongku rebah, wajahnya langsung menghampiri kontolku yang sudah tegang sempurna. Sungguh liar mertuaku ini, melahap kontolku yang baru saja keluar dari mulut anaknya. Tanpa sadar aku menjambak rambut Ambu yang tebal dan masih tetap hitam. Tanpa kisadari, aku menggerakkan kepala Ambu memompa kontolku. Sungguh menantu sangat kurang ajar. Hampir saja aku memuntahkan pejuh ke mulut Ambu,. Aku segera menarik Ambu menjauh dari kontolku.
"Udah ,Mbu. Ujang pengen ngejilatin memek Ambu." aku menarik Ambu agar terlentang. Kakinya tanpa kusuruh langsung mengangkang lebar selebarnya memperlihatkan memek tembemnya yang indah tanpa bulu.
Tanpa menunggu waktu, aku membenamkan wajahku di selangkangan Ambu yang menebarkan aroma memabukkan, sehingga setiap pria yang mengirup dan melihatnya akan kehilangan kesadarannya. Kehilangan akal sehatnya. Begitu juga aku yang kehilangan kesadaran, memek wanita yang sudah melahirkan istriku kujilati dengan rakus. Setiap cairan yang keluar dari memeknya kuseruput hingga tidak tersisa.
Tiba tiba pintu kamar terbuka disertai teriakan Ningsih yang terkejut melihatku sedang menjilati memeknya Ambu dalam keadaan tubuh kami bugil.
Bersambung....
ليست هناك تعليقات for "Ritual Gunung Kemukus Season II ~ Menuju Puncak (Chapter 13 : Terseret Dendam Masa Lalu)"
إرسال تعليق