Anak Badung OVA [Pengantar ke Season 2]


"Ah, bangsat!" kataku. Kemana perginya Putri dan ibunya?

Sudah beberapa tahun ini aku mencari tapi hasilnya nihil. Aku sekarang tinggal di sebuah gubuk derita. Tempat yang tak layak disebut dengan namanya rumah. Ini semua karena kebodohanku. Aku dulu adalah orang kaya. Sangat kaya. Hingga kemudian perselingkuhan menghancurkan diriku dan juga rumah tanggaku. Bodohnya aku pergi dan menceraikan istriku. Ternyata wanita yang aku selingkuhi malah hanya ingin hartaku.

Aku sangat menyesal sekarang. Namaku Johnny Amartand. Aku bukan orang asli Jawa. Orang daerah timur. Sejak dulu aku sudah merantau. Hingga kemudian aku bertemu dengan Juni. Awalnya aku sangat menyayanginya. Namun karena ketamakanku terhadap duniawi akhirnya aku pun menceraikannya. Kisahku sangat pilu. Semuanya hanya berakhir dengan penyesalan.

Bertahun-tahun yang lalu aku mencoba mencarinya. Di rumahnya dulu sudah tidak ada orang. Kata para tetangganya rumahnya sudah sepi, pindah bersama orang tuanya ke luar pulau. Harapanku untuk bisa kembali kepadanya pun pupus. Bertahun-tahun juga aku rindu Putri anak semata wayangku. Bagaimana keadaanmu sekarang nak? Apakah kamu sudah jadi gadis yang cantik yang selalu manja kepada bundamu? Aku hanya punya fotonya sewaktu ia masih bayi. Setiap hari hanya penyesalan. Itulah yang aku alami.

Tapi hari ini aku harus survive. Paling tidak seperti itu. Dari seorang pengusaha kaya yang punya kantor dan gedung sendiri. Sekarang hanya menjadi tukang penjual lele di pasar. Aku hanya punya 3 kolam lele. Usaha ini sudah aku tekuni selama bertahun-tahun dan aku hidup dari ini. Kecil memang, karena tenagaku terbatas. Sebenarnya kalau ada modal, aku bisa lebih besar lagi membangun bisnis ini. 

Setelah menjual lele di pasar hingga siang hari, aku beralih profesi sebagai juru parkir di sebuah mall. Baru setelah itu aku cari makan, kongkow-kongkow sebentar dengan orang-orang lalu pulang. Selalu seperti itu. Berulang-ulang dan aku tak pernah bosan.

Aku tak punya keluarga lagi. Kedua orang tuaku sudah meninggal saat aku tinggalkan tanah Makassar. Satu-satunya keluargaku sekarang hanyalah putriku. Dan tentu saja mantan istriku kalau ia masih mau balik kepadaku. Tapi rasanya mustahil. Sebab aku meninggalkannya terlalu lama dan mungkin sudah ada lelaki baik-baik yang menikahinya. Bisa jadi lelaki itu lebih kaya dari aku. Atau lebih tampan dari aku atau lebih lembut dari aku.

"Bang John!" seru seseorang dari luar gubukku.

Aku buru-buru keluar. Tampak Pak Gunadi seorang yang berprofesi sebagai sopir taxi sudah ada di depan rumah.

"Ada apa ya pak?" tanyaku.

"Kamu ingin uang tambahan tidak?" tanyanya.

"Emangnya ada?" aku sangat gembira sekali.

"Di mall, butuh orang tuh untuk bikin panggung. Kebetulan supervisornya aku kenal dan ia sedang butuh tenaga. Kalau kamu ingin aku bisa antarkan sekarang," katanya.

"Wah boleh boleh!" kataku dengan senang hati.

"Ya sudah, ganti baju kita berangkat sama-sama," katanya.

Setelah itu aku ganti baju dan dandan sedikit necis. Pertukangan bukanlah hal yang sulit aku lakukan. Sebab aku sudah terbiasa melakukan pertukangan. Rumahku yang hanya terdiri kayu balok dan tripleks ini akulah yang membangunnya sendiri. Orang-orang hampir saja tak percaya aku mampu melakukannya. Sejurus kemudian kami sudah berada di mobil taxi milik Pak Gunadi. Tak butuh waktu lama hingga kami sudah keluar dari perkampungan kumuh.

"Pak John inikan orangnya tekun dan ulet. Orang-orang kampung sini percaya sama bapak. Dan kita kan juga udah lama berteman. Paling tidak bagi-bagi rejekilah," kata Pak Gunadi. "Nanti kalau sudah masuk ke mall tanya saja bagian security, mencari Pak Aryo bagian supervisi. Nanti kalau sudah ketemu sama Pak Aryo, bilang kamu direkomendasikan olehku. Ia sudah aku beritahu."

Aku manggut-manggut saja. Setelah beberapa jam berputar-putar dan terjebak macet. Aku pun sampai. Segera aku lakukan apa yang ditunjukkan oleh Pak Gunadi tadi. Aku pun diarahkan ke ruangan di mana aku bertemu dengan orang yang dimaksud. Di sana aku tak sendirian. Banyak juga tukang-tukang yang lain. Sambil menunggu semuanya berkumpul, kemudian kami dibriefing. 

Mall ini akan ada pertunjukan artis ibu kota dan juga band-band terkenal. Maka dari itulah kami menata panggung. Awalnya aku enjoy saja bekerja. Saling membantu dan berkenalan dengan beberapa pekerja lainnya. Tak ada yang aneh hari itu, hingga setelah jam makan siang dan istrihat terjadilah sesuatu.

Kami istirahat di kantin. Diberi kupon oleh Pak Aryo. Kami bebas makan apa saja dengan kupon itu. Tapi cukup untuk satu porsi dan satu orang. Di mall ini ada area tempat makan. Banyak restoran-restoran yang membuka stand di sini. Mulai dari fastfood terkenal semisal McD, KFC, Hokben dan lain-lain. Aku sih pilih yang biasa-biasa saja. Pesan nasi goreng dan es teh. 

Entah kenapa aku hari itu duduk di meja yang sepi. Berdekatan dengan meja yang sudah dipakai oleh keluarga lainnya. Pengunjung mall itu sangat banyak. Dan mungkin memang meja itu ditakdirkan untukku. Sambil menunggu makanan datang aku pandangi lagi wajah anakku. Aku lagi-lagi menyesalinya. Dan mungkin akan menjadi penyesalan seumur hidupku. Keluargaku oh keluargaku. Di mana kalian sekarang?...

"Mas, ini juga pesen buat orang-orang di rumah ya?" celoteh seorang wanita yang duduknya di meja sebelahku. Kerudungnya berwarna hijau. Tampak ia sedang menggendong bayi. Wajah bayi itu lucu sekali. Jadi ingat sama anakku. Di meja itu ada seorang lelaki yang badannya tegap. Tidak terlalu tinggi maupun pendek. Perawakannya bersahaja. Tersirat rasa kegembiraan di wajah pria ini. Dan di kursi yang lain ada 2 orang anak. Lelaki dan perempuan. Yang paling besar adalah seorang perempuan. Wajahnya tampaknya tak asing bagiku. 

"Iya, aku sudah pesenkan koq. Tunggu aja dulu," kata si lelakinya. 

"Bunda, Faiz masih haus, boleh ya pesan minum lagi?" tanyanya.

"Bisa sayang. Ah iya, Putri juga?" tanya si ibu. 

"Udah cukup masih banyak koq," kata anak perempuan itu. 

Putri? Tunggu dulu. Apa aku tak salah dengar? Jangan-jangan dia ini Juni. Iya, wajah anak perempuan itu mirip sekali dengan wajah istriku. Iya mirip. Tak salah lagi. Tapi aku bisa apa? Aku hanya bisa diam mengamati mereka semuanya.

"Sebentar bunda mau ke standnya dulu," kata si ibu. Wajahnya aku bisa melihat. Itu....itu....aku tak percaya...itu Juni. Mulutku gemetar. Aku mencoba menahan perasaan ini. Aku ingin minta maaf kepadanya, tapi melihat ada lelaki yang bersamanya aku pun mengurungkan niatku untuk menyapanya. Bisa jadi itu suaminya dan aku...aku tak berdaya.

"Biar aku saja, kamu duduk aja di sini," kata si suaminya.

"Gak apa-apa mas, lagian aku juga ingin beli yang lain. Bentar yah," kata wanita itu. Iya, ia pasti Juni. Aku tak akan lupa wajahnya. Sekarang sudah berbalut jilbab. Dan ia sudah punya anak banyak.

Juni pun pergi ke stand yang masih antri. Lelaki yang bisa jadi suaminya itu tampak asyik bercengkrama dengan Putri dan anak lelaki yang dipanggil Faiz. Pesananku tiba. Seorang pelayan muda menghampiriku dan meletakkan pesananku di meja. Aku tak lagi nafsu makan. Aku hanya bisa memandangi Putri. Ia sekarang sudah besar. Aku mencoba berusaha menahan air mataku, tapi tak bisa. Lelehan air mata itu pasti terlihat jelas oleh orang-orang kalau mereka melihatnya.

Saat itulah Juni kembali lagi ke mejanya. Ia melintasiku. Ia bahkan tak mengenali aku lagi. Mungkin di hatinya sudah tidak ada lagi aku. Iya. Aku orang yang bodoh. Melakukan kesalahan yang sangat fatal. Seandainya dulu aku tak melakukannya, mungkin sekarang ini aku bahagia bersama Juni. Pesanan meja mereka sudah datang. Mereka makan bersama seperti keluarga utuh yang bahagia. Cemburunya aku. Aku sangat cemburu. 

Cukup lama aku terdiam. Aku pun menyuapi diriku pelan-pelan. Nasi goreng yang harusnya lezat pun rasanya hambar di mulutku. Mulutku pun malas untuk membuka. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa. Padahal di sebelahku ada orang-orang yang dulu sangat aku cintai. Kini mereka sudah tidak ingat lagi tentang aku.

"Tadi udah dibayar belum?" tanya sang suami.

"Aduh lupa, pantesan belum dikirim coba deh mas ke kasir dulu," kata Juni.

"Ikut pah!" Faiz berjingkat.

"Ikut juga!" Putri ikut-ikutan.

"Ya ya ya, ayo!" lelaki itu pun menggandeng putriku dan putranya. 

Juni tampak masih menyuapi anaknya yang masih bayi itu dengan biskuit. Bahagianya mereka. Aku pun berusaha memanggilnya, "J..jj..Juni?!"

Ia melirik ke arahku. DEG! Mata kami beradu. Tiba-tiba sorot matanya berubah. Raut wajahnya berubah menjadi amarah. Ia melihat sekitar dan melihat suaminya dari kejauhan.

"Mas Johny?" katanya. "Mau apa kamu?"

"A...a..aku ...aku tak sengaja berada di sini," kataku.

"Kita sudah tak ada hubungan lagi mas, kita sudah cukup!" katanya. 

"Iya, aku tahu. Aku tahu. Aku hanya ingin bisa melihat putriku. Kumohon biarkan aku bisa melihatnya, jangan usir aku," kataku. "Anggap saja aku orang lain. Biarkan aku melihatnya sejenak. Aku selama ini sudah salah kpadamu dan aku menyesal. Seluruh hidupku hancur. Aku yang salah."

Juni tak menanggapi. Raut mukanya benar-benar menunjukkan bahwa ia sangat membenciku. 

"Aku bukan Juni lagi. Aku adalah Aula. Aula Rahmawati binti Tengku Nadhim, aku bertemu dengan ayah kandungku mas kalau dulu mas remehkan aku karena miskin, ketahuilah sekarang kekayaanku tak terbatas dan aku mendapatkan orang-orang yang mencintaiku. Pergilah. Aku muak melihatmu! Kau tidak ada lagi di hatiku. Pergi sekarang!" katanya.

"Juni, biarkan aku sebentar saja di sini. Hingga kalian pergi. Walaupun aku tak bisa memeluk putriku, setidaknya biarkan aku melihatnya dari jauh," kataku.

Juni diam. Ia menyuapi anaknya lagi. Kemudian menatapku tajam, "Mas Doni sangat ingin menghajarmu atas apa yang kau lakukan terhadapku. Kalau ia sampai tahu kamu adalah mantan suamiku, kau tak akan keluar dari tempat ini hidup-hidup. Kebencianku kepadamu sama dengan kebenciannya terhadapmu. Kau telantarkan Putri begitu saja, sekarang kau memohon untuk bisa dekat dengannya? Aku tak bisa memberikannya mas. Tidak bisa!"

Aku lalu menunduk. Kututupi wajahku. Air mataku tak terbendung lagi. Tampak suaminya, putri dan anak laki-lakinya datang lagi ke meja. 

"Pulang?" tanya suaminya.

"Ayo mas!" Juni bangkit. Suaminya membawa bungkusan-bungkusan makanan yang ada di meja. Kemudian mereka pergi. Putri....aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Mungkin ini adalah terakhir kali aku melihatnya dan akan menjadi penyesalanku seumur hidup.

BONUS BOKEP BISA KLIK TOMBOL DIBAWAH


No comments for "Anak Badung OVA [Pengantar ke Season 2]"