Desire [Tapak Berbatu part 1]

Ingat!!!,,,, Cerita yang ane bikin ini hanya fiksi belaka, mohon maaf bila ada kesamaan nama, tempat, ataupun kejadian,,

Setapak Berbatu
“Siiip,,,beres,,,”
Aku yang asik duduk diatas potongan pohon, tersenyum melihat mba Nanda menepuk-nepuk tas carrier, sukses mem-packing ulang barang-barang dalam tas camping yang tingginya hampir setengah dari tubuh mungilnya. Matras biru tua tampak dijepit melintang dibagian atas tas.

Dengan mantap tangannya mengangkat tas, lalu meletakkan kepunggung.“Sya,, aku kedalam dulu, naruh tas,,” ucapnya, tersenyum manis, memamerkan gigi yang gingsul.

“Ok Mba, aku nunggu Oci dulu, adiknya Mas Bona,” jawabku.

Aku yang telah lama penasaran akhirnya memberanikan diri ikut serta bersama Oci, sedangkan Bona, kekasihku yang memiliki tubuh agak tambun, memang sudah beberapa kali ikut naik, meski tidak sesering teman-temannya yang lain.

So,, ini adalah pendakian pertama aku dan Oci. Cukup sulit memang untuk membujuk seorang gadis belia yang lebih senang nongkrong di mall, untuk ikut mendaki gunung yang menjajikan suasana sepi, jauh dari hingar bingar kehidupan.

“Mba Nanda yang memiliki badan mungil saja sudah bisa mendaki beberapa gunung, kenapa kamu tidak,” itulah yang kuucapkan saat memotivasi Oci untuk ikut serta dalam pendakian kali ini.

Huuuff,,,, Aku menghela nafas dengan detak jantung yang tak normal. Seharusnya kata-kata itu kutujukan pada diriku sendiri.

“Ini hanya pendakian sebuah gunung, Natasya,, bukan maju kemedan perang, jadi kenapa mesti takut, santai lah sedikit,” ucapku pada hati yang masih meragu.

Beberapa tas carrier tampak masih tergeletak begitu saja dibawah pohon, didepan rumah Dida. Kelompok pendakian ini bukanlah organisasi resmi, hanya sekumpulan beberapa teman Mas Bona yang hoby dalam mendaki gunung.


“Kurihiiing,, Kurihiiing,, Kurihiiing,,”
Aku mengangkat HP yang berdering nyaring, Oci, kepala ku segera menoleh kearah jalan mencari sosoknya. Pasti bocah itu tidak jauh dari tempatku berdiri, yakinku.

“Kak Natasyaaa,,” Oci melambaikan tangan, bergegas turun dari CBR 250 yang dikendarai Indra, pacarnya, yang ikut-ikutan melambaikan tangan kepadaku dan berlalu pergi setelah mengecup kening Oci.

Aku memperhatikan Oci yang siang itu terlihat cantik seperti biasanya, rambut lurus sepundak, dengan pipi yang chubby. mengenakan levis dan kaos lengan pendek yang sangat ketat, berusaha menampilkan siluet gumpalan payudara yang masih terlihat mungil.

Wajahnya yang begitu imut menegaskan bahwa Oci masihlah seorang gadis remaja kelas III SMP yang tengah mengalami pubertas.

“Tenang Mba, jaket ku ada didalam koq,” seru Oci, sukses menebak tingkah mataku yang tengah mencari-cari jaketnya yang tidak terlihat.

“Ehh,, jangan taruh disini, taruh diruang tamu aja, kita masih lama berangkat.”

“Ok,, eh,, Mas Bona mana? Katanya udah kesini,,”

“Lagi nyari parafin sama Gara,,” jawabku, sambil menyisir rambut panjangku dengan jari, lalu mengikat kuncir kuda.

“Kakak cantik banget kalo rambutnya diikat gitu,” ucapnya, mengomentari aksiku. Bukan suatu hal yang sering kulakukan, karena aku lebih senang membiarkan rambut sepunggung ku ini terurai.

Mata Oci turun ketubuhku, yang saat itu mengenakan celana Army selutut dengan kaos hitam bergambar tokoh kartun bertopi jerami, Luffy.

“Udah deehh,, ga usah nggodain kaka,, taruh tas dulu sanaa,” seru ku lebih dulu sebelum komentar nakalnya kembali keluar, aku tau dan sangat yakin, Oci pasti ingin mengomentari payudaraku yang tampak lebih kecil dari biasanya.

Yaaa,, aku harus membalut payudara dengan ukuran 36b ini dengan bra sport, yang menekan gumpalan daging didadaku ini hingga tampak mengecil, agar lebih nyaman bergerak.

Aku memang sangat akrab dengan adik dari kekasihku ini, mungkin karena kami sering jalan berdua, bahkan Oci sering nyempil ditengah-tengah kami saat kami sedang berkencan.

“Hahaha,,, dikempesin sama mas Bona ya?,,,” Oci tertawa memamerkan sepasang gigi kelincinya, celetukan nakalnya keluar juga, terus tertawa sambil masuk kedalam.

Tapi hanya beberapa menit, Oci sudah kembali, masih dengan tas dipunggung.

“Kak, didalam,,, adaa,, eeemmpp,,”, kulihat wajahnya sedikit bingung, ingin bilang sesuatu, aku beranjak menuju ruang tengah dimana anak-anak mengumpulkan semua tas.

Heh?!!,,, aku cukup terkejut saat mendapati dipojok ruangan tampak Mba Nanda membiarkan Dida bermain-main dengan kedua payudaranya.

Padahal setau ku Mba Nanda adalah kekasih Gara, leader dari kelompok pendakian ini, sesekali Dida berbisik ketelinga Mba Nanda yang membuat gadis manis itu tertawa.

Mba Nanda terdiam sejenak setelah Dida kembali membisiki telinganya, dengan tersenyum kepalanya mengangguk, rupanya itu adalah tanda persetujuan kepada Dida yang segera menyelipkan tangannya memasuki kaos yang melekat erat. Wajah Dida terlihat menunjukkan rasa kagum, lalu keduanya tertawa.

Mba Nanda terus tertawa cekikikan, membiarkan ulah Dida yang terlihat begitu berhasrat terhadap tubuhnya. Dapat kulihat dengan jelas bagaimana jemari Dida bergantian meremas kedua bongkahan daging empuk itu dari dalam.

“Kurihiiing,, Kurihiiing,, Kurihiiing,,”
Aku terloncat kaget, saat HP ku lagi-lagi menyalak nyaring, Mba Nanda tidak kalah kaget dan segera menarik tangan Dida keluar dari kaosnya. Tapi tidak dengan Dida, cowok itu justru terlihat santai dan melambaikan tangannya kepadaku.

Aku membalas dengan senyum kecut, wajahku memerah karena ketahuan mengintip, dengan alasan mengangkat telpon aku segera berpaling hendak keluar, sambil mengumpat,, sial!!!,,.

Tapi lagi-lagi aku terkaget ternyata Oci berada tepat dibelakangku, artinya gadis itu juga menyaksikan apa yang kulihat barusan, wajahnya pucat pasi, segera berlari keluar meninggalkan tas yang teronggok dilantai.


* * *
Truk yang akan mengangkut kami telah tiba ditempat, kulihat Oci begitu ceria, ikut membantu menurunkan tas, sambil meladeni banyolan Dida yang coba menggoda Oci.

Kami berkumpul membentuk lingkaran, Gara mengingatkan beberapa hal urgen dalam pendakian, gayanya berbicara membuatku kagum, cowok itu memang pantas didapuk sebagai pemimpin.

Ditambah dengan perawakannya yang jangkung, meski tampak kurus tapi otot-otot tangan dan kakinya terlihat begitu kekar. Namun, sifat pendiam Gara seakan memberi jarak bagi siapapun yang coba untuk lebih akrab.

Seperti biasa, Sore itu Gara mengenakan kaos hitam dengan levis kucel dan robek dibagian dengkul, ciri khas dari cowok-cowok yang cuek akan penampilan, tapi dimataku justru terlihat cool.

Dan perjalanan yang dimulai dijalan setapak yang berbatupun dimulai, rombongan kecil dengan pendakian yang direncananakan dengan tiba-tiba.

Berbagai celoteh mengisi pendakian yang mulai memasuki setapak berbatu perkampungan penduduk, berbagai guyonan silih berganti mengalir membuatku tertawa, hingga nafasku semakin tersengal.

Hangat mentari tak lagi tersisa, seiring gulita yang semakin digdaya dengan bantuan awan yang menahan cahaya bulan. Udara dingin cukup sukses menembus jaket, memaksaku menggosok-gosokkan telapak tangan yang mulai kaku.

Gara berjalan beriringan dengan Oci tepat didepanku. Dari cahaya bulan yang tengah berada dalam bentuknya yang sempurna, kulihat Gara tersenyum mendengar beberapa celetukan yang diarahkan kepada dirinya, cowok itu begitu cool, dan semakin membuatku kagum. Tapi sayangnya sudah memiliki kekasih.

Bibir Gara sesekali terdengar menjawab pertanyaan Oci yang begitu cuek, terus mengoceh meski beberapa obrolannya hanya membuat nafasnya semakin tersengal, tapi sialnya, Gara tampak mulai tertarik dengan sosok gadis mungil itu.

Jalan setapak yang kami lalui semakin terjal, membuat Mas Bona yang ada disamping mulai terlihat kepayahan, tubuhnya yang agak tambun memang menjadi tantangan tersendiri baginya.

“Ayo mas, katanya udah sering naik gunung,” ucapku, entah untuk memberi semangat atau justru menggodanya, aku sendiri tidak tau.

Teman-teman yang lainpun mulai terpecah menjadi beberapa kelompok. Meski berada dibagian belakang, aku masih merasa aman karena berjalan bersama orang-orang yang sangat mengenal jalur pendakian ini.

“Ini masih jalan kampung, kita belum masuk jalur pendakian,” ucap Mba Nanda, mengomentari jalan setapak selebar enam meter yang didominasi bebatuan.

“Kamu duluan deh, aku sama Firman ntar nyusul, lagian aku udah hapal tracknya,” celetuk Mas Bona, mulai kepayahan, berhenti menunggu Aldo, Azkia, Firman dan Achong yang tertinggal jauh dibelakang.

“Hahaha,,, Keseringan naik gunung punya kamu sih, jadi gunung yang beneran malah kewalahan,” Sialan, celetukan Mba Nanda membuatku malu, diamku seakan membenarkan apa yang diucapkannya.

Memang hampir dua-tiga kali seminggu Mas Bona mendaki tubuhku. Memacu hasratnya dilembah kewanitaanku yang dalam.

Bahkan pada saat pertama kali merasakan kenikmatan seks yang diperkenalkan oleh Mas Bona, aku hampir tiap hari mempersilahkan dirinya untuk berpetualang dengan seluruh bagian tubuhku, dan dibawah tindihan badan tambunnya jualah aku melepas keperawanan.

Aku juga tidak mengerti, bagaimana bisa aku menerima cinta Mas Bona, yang badannya begitu berat untuk dapat diterima oleh tubuhku yang langsing tapi montok dibeberapa bagian.

Mungkin karena cowok itu terlalu baik dan selalu membantuku dalam perkuliahan, atau mungkin juga karena sifatnya yang begitu pengertian, hingga membuatku merasa begitu nyaman.

“Waahh,,, kalo ndaki gunungnya Natasya, seratus kali naik-turun aku juga sanggup,” celetukan yang dilemparkan Dida sengaja dipelankan agar tidak terdengar oleh Bona yang perlahan semakin jauh tertinggal dari kami.

“Mendaki punya Mba Nanda aja deh, yang lebih gede gunungnya,” ucapku, sambil tertawa sendiri teringat peristiwa dirumah Dida, yang biasa dijadikan basecamp, Mba Nanda manyun lalu menyikut lenganku, menarikku untuk mendahului Dida.

Tidak berselang lama, aku mendengar Dida bersiul. Sialan ternyata cowok itu mengarahkan lampu senternya kepantatku yang dibalut celana Army, ketika aku ingin menegur ulahnya, cahaya senter sudah diarahkan kepada Mba Nanda, berbeda dengan responku, gadis itu malah tertawa dan menggoyang-goyangkan pantatnya meledek ulah Dida.

“Ahh,, bosen Nda ama punyamu, yang ini nih masih original,” ucap Dida, lalu kembali mengarahkan senter kepantatku, kali ini aku masa bodo, sibuk dengan pikiranku sendiri, ‘Bosen???’ apakah berarti Dida sudah pernah mencicipi tubuh Mba Nanda yang nota bene kekasih sahabatnya, Gara.

“Yang ini juga udah second, second nya Bona,” ucap Mba Nanda sambil menepuk-nepuk pantatku. Jelas aku merasa malu, tapi biarlah, lagian bokongku masih dibalut celana, meski kuyakin kain itu cukup sukses membentuk pantatku yang membulat seperti bebek.

Sepanjang perjalanan dihiasi dengan tawa, dan banyolan-banyolan yang menyerempet nakal.

“Istirahat dulu yuk,,,” ucap Dida, yang tanpa menunggu persetujuan langsung melempar tasnya ketanah.

“Asseeemm,,, aku tadi naruh tabung gas ditas mu, jangan dilempar-lempar,” seru Mba Nanda. Lalu duduk disebrang jalan setapak dari tempat Dida.

“Sudah hampir pukul 10 malam,” ucapku, tapi tidak mendapatkan respon dari keduanya, udara dingin semakin menusuk meraja, membuat hidungku terasa membeku.

aku masih bisa melihat sosok Oci dan Gara didepanku, tapi dibelakang, tampaknya Mas Bona, Firman dan Achong, cukup jauh tertinggal.

Ku coba mengatur nafas, menghirup dinginnya udara pegunungan, meski menusuk tulang, paru-paruku terasa lebih nyaman.

“Dida, ingetkan dengan tracknya?,,” tanyaku iseng, walo ada rasa takut apabila nanti kami nyasar.

“Tenang, dia sih emang hantu gunung, ga bakal nyasar, hahaha,,” sahut mba Nanda, tangannya menyelipkan rokok menthol kebibir nya yang tebal seperti Angelina Jolie.

Dida hanya terkekeh mendengar guyonan Mba Nanda.

“Nda,, sini dong,,,” panggil Dida yang diacuhkan oleh Mba Nanda, asik menghisap rokok.

“Heehh,, Ndaa,, sini ngapa,, dingin nihh,,” seru Dida lagi, sambil menggosok-gosok kedua telapak tanganya.

“Apa sih?,, pengen panas? Nihh,,,” jawab Mba Nanda sambil memantik korek gas Tokai.

“Iiihh,, pelit,, Ayo dong Ndaa,,”

“Busyet dah ni anak, manja banget sih,” Mba Nanda berdiri menghampiri Dida, lalu duduk didepannya, “Jangan lama-lama,” sambungnya sambil menarik bagian bawah sweater dan kaosnya kedepan.

“Gillaaa,,,” aku mengumpat dalam hati. Tanpa menunggu lama, dengan cepat tangan Dida menyelusup kebalik kaos Mba Nanda.

Meski tertutup sweater tebal, dari remang cahaya bulan, mataku bisa menangkap gerakan tangan Dida yang tepat berada dipayudara Mba Nanda.

“Sorry Sya,,, kebiasaan Dida emang aneh-aneh,, doyan banget ngangetin tangan di toket orang,” terang Mba Nanda, kembali mengisap rokoknya, santai, seakan tak terganggu dengan ulah Dida.

“Yeee,,, bukan cuma aku, Bona ama Gara kan juga suka ngangetin tangan disini,”

Dida terlihat cuek bebek dengan kata-katanya, berbanding terbalik dengan ku, yang tiba-tiba merasa begitu sesak untuk bernafas. Apa benar mas Bonna juga suka meremas-remas payudara Mba Nanda buat ngangetin tangan?

“Tapi Firman ngga,,”

“Dia terlalu alim, lagian dia juga takut kau perkosa, hahahaa,,,” tawa Dida.

“Sial,,, cuek banget sih mereka”. umpatku

“Asseeemm,, udah aahh,, toket ku jadi dingin banget nihh,,,” ucap Mba Nanda, berusaha mengeluarkan tangan Dida.

Aku membuang pandangan kedepan, tak ku dapati lagi sosok Oci dan Gara yang tadi masih ada didepan kami. Huupp,, aku mengangkat ransel kepundak. Mengiringi Mba Nanda yang mematikan putung rokoknya lalu memasukkan kedalam kantong plastik kecil yang terikat diransel, lalu kembali berjalan.

Sekitar jam 1.30 kami baru sampai disebuah dataran yang agak lapang. Beberapa tenda terlihat sudah berdiri, dengan api unggun yang dikelilingi beberapa pendaki lain.

“Biasanya kita rehat disebelah sana, tempat ini biasa disebut posko 2, posko terakhir sebelum puncak,” terang mba Nanda.

Sementara Dida memisahkan diri, menyapa beberapa pendaki lain, tampak begitu akrab dan bersahabat.

“Tumben sepi, biasanya posko dua ini penuh lho Sya,, Nahh, itu rombongan kita,” seru Mba Nanda, mataku menangkap wajah Oci dan Gara yang asik mengahangatkan tubuh didepan api unggun kecil.

“Mbaa Taysaaa,,” Oci melambaikan tangan, dengan gayanya yang centil. Tubuhnya rapat berselimut sleeping bag.

Mba Nanda melempar tasnya, lalu duduk disamping Gara, memeluk mesra cowok jangkung itu, “Cepet banget sih kalian,,,”

“Tau nih, kuda cilik kuat banget nafasnya, katanya ga mau ketinggalan sunset,” jawaban Gara membuat Oci tertawa.

“Syaa,, taruh aja tas mu didepan tenda, ga usah dimasukin, aman koq,,”

“Ok Bang,,,” aku meletakkan tasku disamping tas kecil Harvest milik Gara. “Kecil banget ni tas, cukup buat apa?” pikirku, tapi memang begitulah, mereka yang sudah terbiasa mendaki memang tak mau direpotkan dengan banyak barang.

Aku mengikuti ulah Oci yang menyorongkan tangannya mendekati api. Panas api unggun cukup mampu menghangatkan jari-jari ku yang terasa begitu beku.

“Hati-hati Ka,, kakinya jangan dilipat dulu, ntar keram, itu juga kata Ka Gara sih,” ucap Oci memberi wejangan yang segera kupatuhi.

“Uuugghhh,,, pegal bangeeet,,” kaki ku terbujur, meresapi peregangan otot yang beberapa jam dipaksa untuk mendaki jalan setapak mendaki.

Disebrang ku Gara dengan mesra membaringkan Mba Nanda dipangkuannya, memijet pundak gadis itu. Tawa kecil mewarnai obrolan keduanya.

“Uuugghhh mesra banget, coba Mas Bona nyampe duluan, kan bisa mijetin aku juga,” bisik ku pada Oci, “Eeeiittss,, tunggu dulu,, Mas Bona mijitin aku dulu baru Mba Tasya,” celetuknya ga mau kalah, membuatku tertawa.

Tapi obrolan ku dan Oci tiba-tiba terhenti saat Gara menyelusupkan tangannya kebalik sweater mba Nanda, diiringi kecupan singkat dibibir Mba Nanda.

Aku dan Oci saling pandang, bingung untuk berkata apa, akhirnya kami kembali menatap kedepan, mengikuti drama panas yang terhalang oleh lidah api yang menari-nari liar.

“Punya Ka Natasya, sama punya Mba Nanda gede mana?” bisik Oci tiba-tiba.

“Ga tau, mungkin gedean punya mba Nanda,” jawabku sekenanya, nafasku mulai berat.

“Tapi kayanya gedean Ka Tasya deh,,”

“Tau darimana?,,,” tanyaku asal.

“minggu kemarin, waktu aku ngintip Ka Tasya lagi main sama Mas Bona dirumah, aku liat punya Ka Tasya gede banget,”
Aku terlonjak kaget menatapnya yang terlihat cuek dengan kata-katanya.

“Ga perlu takut, aku ga bakal lapor ayah koq,,, Indra juga sering merengek pengen megang punyaku, tapi jarang kukasih, habisnya punyaku masih kecil, malu,,, hehehe,,” tutur Oci. Dari nafasnya yang kacau, aku sangat yakin, dibalik sleeping bag yang tebal, gadis mungil itu juga tengah meremasi miliknya sendiri

“Kaa,, tau ga?,, Indra itu demen banget melototin toket Ka Tasya, waktu awal-awal sering aku jewer kalo kepergok lagi melototin, tapi lama-lama cape juga,,, ya udah akhirnya aku cuekin aja,,,” beber Oci sambil berbisik, menyanderkan tubuhnya ketubuhku.

“Ahh,,, itu sih udah naluri cowok, ntar punya mu juga gede koq,,, asal rajin diremes,,hihihi,,,”

“Iiihh,, tu kan Ka Tasya,, Aku males ngasih Indra kalo dia lagi merengek gitu, masa, sambil megang nenenku yang dikomentarin malah punya Ka Tasya,, Huuuhh,, Sebel aku,,,” ucapnya merengut, seolah disitu ada Indra.

“Iya deh,, ntar Kaka kasih dia megang punya Kaka,,, biar dia ga penasaran lagi,, biar dia tau enak megang yang kecil ato yang gede,,,hihihi,,,”

“Aaaahh,,, Ka Tasyaaa,,, bikin Oci tambah sebeel deehh,,,”

“Hahahahaa,,, iya sayaaang,,ngga koq,, tapi banyak juga lho cowok yang malah senang ama cewek toket kecil kaya punya Oci,, kaya temen kaka si Upil,, demen banget ama yang tocil kaya gini,,,” ucapku sambil meremas payudara Oci dengan gemes.

Klik Tombol Dibawah Untuk Bonus Bokepnya



0 comments:

Post a Comment