Desire 3 [Landskap Birahi]


Aku terbangun saat mendengar suara berisik, gulita masih menyelimuti pegunungan yang dikuasai oleh dingin yang menusuk hingga ketulang. Samar kudengar seruan dari luar tenda.
“Yang ingin kepuncak melihat sunrise silahkan bersiap-siap.” 

Segera kunyalakan senter disamping kepalaku, jam menunjukkan pukul 4 dini hari. Tiba-tiba kurasakan rasa pegal yang begitu nyata pada otot paha dan selangkanganku. Perlahan otakku merangkai peristiwa yang baru saja kualami. Pengalaman singkat yang begitu menguras tenaga.

Kuamati tubuh Bona yang masih meringkuk dalam lelap. Mataku beralih pada dua tubuh disampingku, dengan penasaran kusingkap selimut yang menutupi tubuh mereka, dan benar saja dugaanku, tangan Gara menyelusup kedalam kaos Oci, seakan melindungi bongkahan payudara gadis remaja itu dari dinginnya udara pegunungan.

Aku mengusap wajahku dengan telapak tangan, berusaha menghilangkan rasa kantuk yang masih mengganggu sadarku, aku hanya tertidur beberapa menit tapi aku juga tak ingin melewatkan sunrise dari atas gunung ini.

Aku sendiri heran, bagaimana bisa diriku yang biasanya cukup sulit untuk dibangunkan, kini justru bangun dengan sendirinya, apalagi dengan tubuh yang terasa sangat lelah ini.

Didepan api unggun yang telah kembali menyala tampak Firman dan beberapa anak lainnya, menyeduh kopi dalam misting kecil. “Setengah jam lagi kita jalan,” ucap Firman saat melihatku keluar dari tenda.

Tak jauh dari situ kulihat Askia tengah dipeluk oleh kekasihnya Aldo, dari belakang dengan sleeping bag yang menutupi tubuh mereka. Sementara disamping mereka, Mba Nanda dan Dida juga melakukan hal yang sama, tubuh mereka tertutupi kain bali yang tipis.

Aku yakin kain itu tidak akan mampu menahan hembusan angin yang membuat udara semakin dingin. Mereka melemparkan senyum saat aku mendekat, dan duduk tepat disamping mereka.

“Aku mau bikin kopi jahe, ada yang mau?,,” tawar Mba Nanda seraya melepaskan pelukan kain yang menutupi tubuhnya dan berdiri, aku heran, kenapa kaos mba Nanda terangkat hingga memperlihatkan udelnya.

Ketika menyadari arah mataku mba Nanda segera merapikan kaosnya tersenyum penuh arti kearahku. “Mau kopi jahe ga?” tawarnya sekali lagi tanpa melepaskan senyum yang menggoda.

“Boleh mba,” sahutku, mungkin kopi jahe memang dapat sedikit menghangat tubuhku yang menggigil, duduk disamping Dida dengan memeluk kaki yang tertekuk dengan erat.

“Dingin? Mau aku hangatin?,” ucap Dida yang tanpa kusadari sudah duduk dibelakangku, dan tanpa menunggu persetujuan langsung menutupi tubuhku dengan kain bali yang dikenakannya, tangannya memeluk bahuku. Meski agak risih aku merasakan hangat tubuhnya yang membantu tubuhku mengusir dingin.

Lamunanku terganggu oleh ulah Askia dan Aldo, sepertinya ada sedikit keributan dibalik kain tebal yang menutupi tubuh mereka. 

“Empuk-empuk anget” jawab Aldo yang membaca keherananku akan apa yang terjadi dibalik kain parasut berwarna biru tua itu. Aldo mengaduh, sepertinya Askia mencubit tangan atau bagian lain tubuhnya. Tapi tangannya justru semakin erat memeluk Askia yang tersipu malu kepadaku.

“Weitsss,,, tunggu,, aku cuma minta dihangatin bukan digerayangin,” aku memberi peringatan kepada Dida yang berusaha menyelusup kebalik sweaterku. 

“Tapi tanganku kedinginan,,” 

Aku tertawa mendengar alasannya. “Tadikan udah terminal di punyanya Mba Nanda,,” jawabku menyindir apa yang Dida lakukan bersama Mba Nanda sebelumnya.

“Udah dingin lagi, lagian yang ini lebih gede, pasti lebih anget,” 

Sialan, Dida memang terkenal pandai ngebanyol, dan kelebihannya itu juga dimanfaatkannya untuk mendapatkan wanita sepertiku. Telapak tangannya kembali berusaha menyelusup, tapi tertahan oleh tanganku yang mencengkram erat. 

“Tunggu,,,” sahutku, mataku mengawasi tenda dimana Bona terlelap.

“Aman koq mba, lagian ga langsung kelihatan dari situ,” ucap Askia yang kini bersandar ketubuh Aldo.

Wew,, baru aku tersadar meski cukup dekat dengan api unggun, tapi tempat kami duduk ini agak tersembunyi. Dikelilingi oleh ilalang dan pohon-pohon kecil. 

“Eeengghh,,,” benar saja, telapak tangan Dida yang sesaat menempel dikulit perutku terasa sangat dingin, kini kedua telapak tangan itu berusaha naik semakin keatas. 

Mata Askia dan Aldo yang mengawasi ulah tangan Dida pada tubuhku, membuatku agak rikuh. Kain tipis ini jelas tidak mampu menyembunyikan gerakan tangan Dida.

Aku menggigil, lebih tepatnya menggelinjang saat telapak tangan yang kasar itu berhasil merengkuh bongkahan payudaraku. “Oooohh,, mantap bener, punyamu bukan hanya lebih besar, tapi juga lebih kencang dari milik Nanda,” bisik Dida ditelingaku, Aku tersenyum, wanita mana yang tidak bangga bila miliknya dipuji.

Tapi yang membuat tubuhku merinding adalah, tangan yang tengah menggenggam bongkahan payudara ini bukanlah Mas Bona, tapi temannya. Ugghhh,, bagaimana bisa aku menjadi begitu ‘dermawan’ membiarkan tangan asing ini mendapatkan akses penuh menjamah kewanitaanku.

“Besar mana ama punya ceweku,” Seruan Aldo bernada tantangan mengagetkanku, sekaligus memancing hasrat liar dalam diri. Mataku menyelidik ketubuh Askia, tapi kain itu terlalu tebal untuk dapat kutaksir isinya.

“Tunjukin aja punyamu kalo emang gede,” tantang Dida sembari terus meremas payudaraku.

Tanpa meminta persetujuan Askia yang terlihat pasrah dengan semua perlakuan kekasihnya, Aldo menyingkap kain tebal yang menutupi tubuh mereka, lalu menarik kaos longgar yang dikenakan Askia. Gadis itu tersipu malu saat dua gundukan daging didadanya menyembul keluar. Cukup besar memang. Aldo melepaskan tangannya yang menjepit ujung payudara, memperlihatkan puting yang cukup besar. 

Tiba-tiba Askia terkaget , tangan Dida menggapai payudaranya dan meremas beberapa saat, semua perlakuan Dida hanya disambut senyuman Aldo, seakan sebuah pemberian izin atas perlakuan Dida pada payudara kekasihnya. Dan itu membuatku heran, bagaimana mungkin seorang cowok membiarkan kekasihnya digerayangi oleh lelaki lain.

“Buka ya Sya,” 
Eeeh,, giliran aku yang terkaget mendengar permintaan Aldo, rupanya ini tujuan dari keikhlasan Aldo, jelas Askia tidak akan bisa marah melihat cowoknya mencoba merayu untuk melihat bagian tubuhku, sementara miliknya masih diremas-remas oleh Dida.

Tapi gilanya lagi aku hanya terdiam saat Aldo membuka kain tipis yang menutupi tubuhku, dan menarik sweater sekaligus kaosku keatas. Aaahh,,, seketika udara dingin menyapa kulit mulusku. 

“Luar biasaaa,,” desis Aldo terkagum. Perlahan namun pasti telapak tangannya merengkuh payudaraku, tapi tangan itu hanya mampu menutupi sebagian.

Uuuhhh,,, Dengan gemas tangannya meremas. Sementara aku, bagaikan orang yang terhipnotis, hanya terdiam merasakan cengkraman tangan Aldo yang semakin lama semakin keras. Aku meringis, tapi aku tengah dimabuk pujian. 

Bibir Aldo dan Dida yang terus melontarkan kekagumannya membuat hatiku begitu bangga. Kedua cowok itu seakan bersaing untuk memilin putingku, sesekali tangan mereka berpindah kepayudara Askia.

Bahkan ketika Aldo memintaku untuk menunjukkan payudara kiriku yang masih tertutup, dengan sukarela tanganku menyingkap kain penutup tubuhku dan dengan berdebar menunggu kekaguman apalagi yang akan diucapkan oleh bibirnya.

“Tasya,,, cowok mu tuh,”
Aku terkaget, bagai tersadar dari hipnotis, secepat kilat sweater kuturunkan, Dida segera beringsut menjauh dari tubuhku. Tingginya ilalang sangat membantuku untuk berbenah.

Bona mendekati api unggun sambil mengucek matanya yang tampak masih sangat mengantuk, berusaha menghangatkan tubuhnya. Aku menghampirinya menawarkan segelas kopi jahe yang tadi diberikan Mba Nanda. 

Tak lama Gara keluar dari tenda diiringi Oci. Dengan santai Gara menggandeng tangan Oci untuk duduk disamping Bona.

“Kamu apain aja adikku, Ingat, aku ga mau Oci mblendung, selebihnya,, terserah Oci,,,” kata-kata yang keluar dari mulut Bona begitu santai, matanya tetap fokus pada kayu yang dimainkan diantara bara api unggun.

“Santai bro, safety koq,” jawab Gara, merampas gelas ditangan Mas Bona lalu menghirupnya pelan. 

Gila, ada apa sebenarnya diantara mereka, apakah Bona tau apa yang telah terjadi dibelakang tubuhnya beberapa jam yang lalu, bahasa yang mereka gunakan terlalu sulit untuk ku terjemahkan.

“Gimana tidurnya, nyenyak?” tanya Bona, terdengar berusaha mengurai kebekuanku, tangannya yang besar memeluk tubuhku, kurasakan kedamaian ditengah hati yang bingung. Apakah Bona tau bagaimana sahabatnya itu telah berhasil mengagahi tubuhku, dan menitipkan cairan sperma yang cukup banyak didalam alat senggamaku. Aaahhh,,, aku terlalu takut untuk membayangkan ujung sandiwara ini.


* * * 
Hangat mentari menyapa pipiku, bias sinarnya berusaha menguak kabut yang berkumpul disekitar puncak gunung. 

Kulepaskan sweaterku, meski tiupan angin masih menghantar kebekuan tapi aku sangat ingin udara segar ini mengisi paru dan merasakan sentuhan sejuknya dikulit dan seluruh bagian tubuhku. 

Layaknya film titanic, aku merentangkan kedua tanganku diatas sebuah batu yang cukup besar.

Aku tertawa saat menangkap ulah Firman berusaha mengabadikan ulahku dengan LSR D500. 

“Dapat, Siiipp,,,” teriaknya sambil mengacungkan jempol, cowok pendiam dengan janggut tipis itu memang sangat jarang berkomunikasi denganku.

Sementara Gara justru sibuk mengisi parunya dengan asap tembakau, sementara tangan kirinya merangkul pinggang Mba Nanda, kedua sejoli itu memang tidak dapat dikatakan serasi, karena Gara memiliki tubuh yang jangkung, sedangkan tubuh Mba Nanda cukup mungil, tapi memiliki kemontokan yang sempurna dimata para lelaki.

Jika Gara sedang bersama Mba Nanda, lalu kemana Oci?,, mataku memendar puncak gunung yang memanjang ini. Mencari sosok gadis cantik itu. Rupanya Oci tengah sibuk beraksi didepan camera pocket yang dimainkan Dida. Gadis itu berusaha menemukan anggel terbaik dengan memadukan tubuh mungilnya yang ramping dengan eksotisme puncak gunung.

Sesaat aku tertawa, Mba Nanda dan Oci ternyata memang memiliki kesamaan, sama-sama bertubuh mungil, apakah itu artinya Gara memang pencinta gadis bertubuh mungil. Tapi jika memang begitu, lalu kenapa cowok itu begitu bersemangat mengayuh tubuhku, bahkan lebih ganas dibanding persetubuhannya dengan Oci. 

Aaahh,,, ,, ada apa dengan otakku, kenapa aku justru meributkan sosok cowok itu, bukankah peristiwa tadi malam hanya sebatas intermezo liar dalam pendakian. 

Lagipula masih ada sosok Dida yang kuyakin lebih ganas dalam bercinta, itu dapat kubaca dari caranya meremas payudaraku. Atau sosok Firman yang memiliki paras lebih ganteng tapi kalem, permainan cinta seperti apa pula yang akan disuguhkan cowok itu bila aku menawarkan tubuhku padanya.

Aaaahh,,, Gilaaa,,, gilaa,, kenapa pikiranku menjadi begitu liar. Aku menepuk kedua pipiku untuk mengembalikan kewarasan yang terenggut imaji liar.

Disalah satu sisi puncak gunung, disamping sebuah kawah kecil yang telah mati, Bona terlihat begitu akrab bercanda dengan Askia, entah apa yang mereka obrolkan, dari atas batu ini aku dapat dengan jelas melihat raut wajah keduanya. 

Kenapa tiba-tiba aku menjadi begitu cemburu, apalagi saat Askia mencubit perut Bona, tangannya yang besar berusaha menahan serangan Askia, dan dengan cepat mengunci tubuh gadis tinggi semampai itu dengan memeluknya. 

Dengan gemas Bona meremas payudara Askia hingga membuat gadis dengan rambut sebahu itu menjerit kecil. Tapi wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda marah, hanya menepis sambil terus tertawa.

Aku benar-benar cemburu, tapi aku tersadar, apa yang telah kulakukan tadi malam justru lebih fatal, dengan kesadaran penuh aku membiarkan seorang cowok menghamburkan cairan cintanya kedalam tubuhku. Atau saat Dida dan Aldo dengan bebas berlomba meremas kedua payudaraku. Aaahh,,, aku mengutuki semua perbuatanku, mengusir pikiran liar yang sempat mendominasi otakku.


* * *
Perjalanan pulang menyusuri jalan setapak pegunungan terasa lebih ringan, Firman dan Gara berulangkali mengingatkan Oci agar berhati-hati, gadis kecil itu terus tertawa saat berlomba dengan Dida menuruni setapak yang terjal.

Jalan yang menurun dan terkadang curam semakin mengukuhkan kuatnya gravitasi bumi, sehingga sangat sulit untuk menghentikan laju tubuh yang meluncur turun, kaki kecil Oci terlihat kerepotan untuk mengimbangi dan memberikan keseimbangan pada tubuh.

Sementara Bona, kali ini sepertinya mampu mengimbangi langkah kami, dan justru aku yang agak tertinggal dibelakang rombongan, anak-anak yang lain bahkan sudah jauh, tak lagi terlihat oleh kami. 

Aku dan Mba Nanda terlalu sibuk meladeni rayuan Aldo. Sesekali tangannya berusaha mencuri payudara kami dengan colekan yang nakal. 

“Ayolah Sya, Nda,,, sebentar aja koq, dah pengen banget nih,” Aldo memelas, kakinya berusaha menjejeri langkah kami.

“Pokoknya Aku ga mau ngelayanin cowok, yang batangnya lebih kecil dari milik Gara, hahaha,,” tegas Mba Nanda sambil tertawa-tawa. Pernyataan itu jelas membuat Aldo bingung. 

“Mana tau aku sebesar apa milik cowokmu itu, punyaku dijamin besar juga koq,” rengeknya.

“Ya udah, sana pegang punyanya Gara, biar tau,” sahutku menyuruh Aldo, aku sendiri masih bingung, kejadian tadi malam begitu cepat terjadi, aku tidak sempat menilai sebesar apa batang milik Gara. 

“Ogaaahh,,,” sungut Aldo, membuat aku dan Mba Nanda tertawa terpingkal. 

“Nda,, ayo dong, udah ga tahan nih,” pinta Aldo, tangan kirinya melingkar dileher Nanda yang bertubuh lebih mungil, sementara tangan kanannya meremas payudara Nanda.

“Edan ni anak, ga takut keliatan ama pendaki yang lain,” Mba Nanda menepis tangan Aldo. Bukannya berhenti, Aldo justru memasukkan tangannya lewat kerah kaos Nanda yang tidak terlalu besar. 

“Tenang aja, hari Rabu gini jarang ada yang ndaki, lagian anak-anak yang lain udah pada turun semua,” Aldo tidak mengendurkan usahanya.

Mba Nanda tertawa, memang percuma mencegah cowok yang sudah diamuk nafsu birahi. 

“Ok,,ok,, tapi kalo sampai omongan kamu salah, dan ternyata ada pendaki yang lain, bakal aku patahin ni batang,” ancam Nanda seraya meraba batang milik Aldo. Aku tertawa, itu tidak lebih sekedar alasan Mba Nanda untuk mengetahui kondisi batang Aldo yang memang sudah mengeras. 

Sesaat keadaan menjadi sedikit hening, alunan lagu R&B yang dipasok oleh earphone ditelinga kananku tak dapat mengalihkan mataku dari kenakalan Aldo dan Mba Nanda. 

Kini Aldo dapat lebih bebas meremas dan memilin payudara Mba Nanda, meski tas carier dengan matras yang tergulung diatasnya membuat Aldo sedikit repot.

Jalan yang menurun dengan undakan-undakan yang tak beraturan membuat kedua remaja itu cukup sulit untuk mengeksploitasi tubuh lawannya. Langkah kakiku semakin pelan mengikuti Mba Nanda dan Aldo.

Remasan tangan Mba Nanda pada selangkangan Aldo seakan mengikuti gerakan jemari Aldo yang membelai, meremas dan memilin puting Mba Nanda.

“Nda,,, Aku ga tahan lagi nih,,,” tangan Aldo menahan tubuh Mba Nanda agar berhenti. Kali ini Mba Nanda menuruti keinginan Aldo, tampak wajahnya sedikit pucat menahan gairah. 

“Pojok sana aja, Do,,,” seru Mba Nanda setelah matanya menyisir beberapa semak yang cukup rimbun. Dan sepertinya pilihan Mba Nanda cukup tepat, semak itu terlalu rimbun, hingga tubuhnya yang kecil cukup kesulitan untuk menyusup masuk.

“Sya,,, Ayo,,, temenin aku, aku takut diperkosa Aldo,” seru Mba Nanda hingga membuatku tertawa. tapi jika aku ngotot berdiri dijalan setapak ini sendiri tentu akan membuat curiga jika ada orang yang lewat. Bisa-bisa aku dikira pendaki yang tengah tersesat.

Setelah beberapa meter memasuki semak aku mendapati Mba Nanda dan Aldo tengah berlomba membuka celana masing-masing. Tangan Nanda segera mencari pegangan, sebuah pohon besar menjadi pilihannya. Tubuhnya membungkuk menanti Aldo yang meremasi pantatnya, wajar jika cowok seperti Aldo terpesona dengan pantat seputih dan semulus milik Mba Nanda, dan akupun harus mengakui itu.

Semak didepan kami tidak terlalu lebat, dan sepertinya terdapat jurang yang cukup dalam, hanya beberapa meter dari pohon yang menjadi pegangan Mba Nanda.

“Aaaggghhh,,,”
“Eeeeeeeenghhh,,,” 
Lenguhan mereka serempak terlontar saat sama-sama merasakan kelamin lawan, menjepit dan dijepit. 

Posisi Mba Nanda dan Aldo yang membelakangiku, membuatku cukup sulit menyaksikan batang Aldo beraksi menghajar selangkangan Mba Nanda, dari lenguhan yang terus terdengar dari bibir seksi Mba Nanda aku dapat memperkirakan seperti apa kenikmatan yang tengah mendera tubuhnya.

“Syaaa,, Aaahh,, kamuu harusss cobaa iniii,,, Aaahh,,” Mba Nanda berusaha menolehkan kepalanya kearahku, dengan tangan tetap berpegang erat pada pohon. Aku merinding, hasratku untuk turut merasakan kenikmatan yang tengah dialami Mba Nanda terlecut.

“Dooo,,, cepaaat doo,, cepaaattt,,,” 
Erangan Mba Nanda menjadi smengat tersendiri bagi Aldo untuk menghajar alat senggama wanita manis yang dipercayakan kepadanya untuk dipuaskan.
“Aaagghhh,,,”
“Sampeee,,, aaahhhh,,, Gila kamu Doo,,,”
“Aaaggghh,,,”
Mba Nanda mengejang, dan mendorong mundur pantatnya berharap batang Aldo masuk semakin dalam.

Setelah kehebohan dari mulut Mba Nanda agak mereda Aldo kembali menggenjot pantat putih itu, tapi gadis itu menegakkan tubuhnya, membuat penis Aldo terlepas. 

“Yeee,, Nda,, jangan curang dong, punya ku belum nih,” rengek Aldo berusaha menarik pantat Mba Nanda agar kembali menungging.

“Kamu ga pengen nyobain punya nya Natasya,” ucap Mba Nanda seakan mengingatkan Aldo akan keberadaan diriku dibelakang mereka.

“Syaa,, bantuin aku yaa,, please,” ucap Aldo dengan wajah super memelas. Mataku menatap penisnya yang berlumur cairan putih kental milik Mba Nanda. Cukup besar memang. 

Seperti orang bego aku menganggukkan kepala, layaknya anak kecil yang mengangguk dengan cepat saat ditawari permen.

Aldo segera melepas celanaku sekaligus celana dalamku, menurunkannya hingga kelutut, rasa maluku telah terbang saat Mba Nanda dan Aldo melototi vaginaku. Rambut kemaluanku yang botak membuat vaginaku yang tertutup rapat dapat dengan jelas mereka lihat.

Tanpa diminta oleh Aldo, aku segera mendekati pohon dimana Mba Nanda melepas oragasmenya. Aku sungguh tidak peduli dengan polahku, aku hanya ingin liang kemaluanku merasakan kenikmatan seperti yang dirasakan Mba Nanda.

Aldo dapat memahami keinginanku, pantatku dikuak nya untuk melihat liang vaginaku, dan dengan tergesa-gesa dijejalkannya batang kebanggaannya. 

Aaaahh,, aku merasakan kepala penis itu menguak pintu vaginaku dengan kasar. Tetapi kemudian tertahan, padahal ku yakin vaginaku sudah cukup basah. Aku teringat usaha Gara yang begitu sulit memasuki liang kemaluanku.

Meski terhalang celana yang tersangkut dilutut, Ku coba merenggangkan kaki lebih lebar, pantatku semakin menungging untuk memudahkannya menjejalkan batangnya. Aaahh,, cukup berhasil memang, meski belum sepenuhnya. Tapi setidaknya aku bisa mendengar lenguhan Aldo, menikmati jepitan vaginaku yang perlahan melumat batang kejantanannya.

Hentakannya yang semakin keras membuat penisnya tenggelam semakin dalam. Aaahhh,, ini sungguh nikmat. Setelah memastikan batang itu dapat dengan mudah mengobok kemaluanku, aku perlahan menegakkan tubuhku.

Ooohhh,,, ini sungguh eksotis, barulah mengerti apa yang dimaksud oleh Mba Nanda mengapa aku harus mencoba persetubuhan kilat ini. Tepat didepanku, dibawah jurang yang terjal aku melihat persawahan dengan beberapa atap rumah warga. Pohon-pohon besar yang tumbuh secara acak menjadikan pemandangan semakin indah.

Artinya perjalanan kami tidak jauh lagi dari rumah penduduk yang menjadi base camp pertama. 

Mataku nanar menatap kedepan, keseberang bukit kecil yang menjadi untaian dari Gunung ini. Sungguh-sungguh luar biasa. Seorang lelaki yang bukan kekasihku tengah mengayuh tubuhku dengan sangat bernafsu dialam bebas. 

Gairahku semakin menggelegak, otakku tak mampu berpikir dengan rasional, aku mendesah tak karuan. Kujambak rambut Aldo untuk mendapatkan bibirnya, kulumat, kuhisap lidahnya untuk masuk kemulutku.

Hentakan Aldo semakin kuat, tapi aku tak ingin terburu-buru, dengan kakiku kuturunkan celanaku hingga kebawah, meski masih terhalang oleh sepatu tapi kini aku lebih mudah untuk menggerakkan pahaku, memainkan penis Aldo didalam vaginaku.

Tak cukup sampai disitu, aku segera menaikkan kaosku, Aldo membantu melolosi semua kain yang ada ditubuhku, aku ingin menikmati keindahan ini dalam kepolosan yang nyata. Tangan Aldo yang kasar menyapu seluruh kulitku. 

Aaaahhh,,, aku menjerit tertahan pertahananku jebol, otot vaginaku mencengkram batang itu dengan kuat. Aaahhh,,, remasan Aldo yang begitu kuat dipayudaraku semakin menambah kenikmatan.

“Do,,, punyamu jaaangann dikeluaariiinn,,, akuu masiiihhh pengeeen,” mohonku, terdengar begitu rakus memang, aku meminta Aldo menikmati tubuhku lebih lama disaat aku mendapatkan orgasmeku.

Dengan cepat Aldo menarik batangnya, aku tau cowok itu hampir mendapatkan orgasmenya. Setelah terlepas dari rengkuhan Aldo aku menghampiri Mba Nanda yang duduk diatas rerumputan, dan mendorong tubuhnya hingga berbaring.

“Sya,,, mau apa lagi kamu sya?,,,” tanya Mba Nanda, tapi dirinya tidak memberikan perlawanan saat jemariku berusaha melucuti celananya yang telah rapi. 

“Kamu ga bisex kan?” Selidik Mba Nanda saat tanganku menyelusup kedalam kaosnya dan meremas payudaranya dengan kuat.

“Ngga Mba, aku cuma pengen sedikit petualangan dan kegilaan,” sahutku dengan bibir menyeringai. Mba Nanda tertawa sambil mengangkat pantatnya untuk membantu Aldo menurunkan celananya. 

Dan sempurnalah penawaran surga dunia bagi seorang cowok bernama Aldo. Aku yang menindih tubuh Mba Nanda diatas rumput yang lembab, mempercayakan vagina kami kepada Aldo untuk dipuaskan.

“Wow,,, ada dua meqi cantik, mana yang harus aku hajar lebih dulu,” 
“Punya Tasya aja, yang masih banjir,” Seru mba Nanda, tangannya terulur menggapai batang Aldo dan mengarahkan keselangkanganku. 

Aaahhhh,,, siaal,,, Aldo langsung mengayuh tubuhku dengan hentakan-hentakan yang keras. 

Terus dan terus,,, tanpa mengurangi tenaganya, pantatnya terus menghentak, tampaknya cowok bertubuh kerempeng ini memiliki stamina yang cukup kuat.

Sial,,, tusukan Aldo semakin cepat dan keras, ditambah Mba Nanda yang meremasi payudaraku, membuatku tak mampu menghindari orgasme yang bersiap menyapa. Tapi tiba-tiba Aldo mencabut batangnya, membuatku begitu gusar.

“Aaaahhh,,, Syaaa,,” Mba Nanda menjerit keras, rupanya ini giliran buat Mba Nanda, begitu cepat penis itu berpindah tempat. Wajah Mba Nanda yang cantik semakin menggairahkan saat merintih dan mengaduh penuh kenikmatan. 

“Eeemmmpphhh,,,,”
“Uuufhhmmmhhh,,,” 
Kini giliranku untuk mengerjai mba Nanda, jaketnya kubuka dan kaosnya segera kutarik keatas, Sial,, ternyata Mba Nanda sudah tidak memakai bra. 

“Mba putingnya gede banget,” ucapku yang terkaget, “Siapa aja yang udah ngisep ni puting Mba?,,” sambungku nakal, mengganggu konsentrasinya yang tengah menikmati tusukan Aldo.

“Uuuuggghhh,,,, Doo,,, yang dalaaaamm,,, Aaahhhh,,,” rupanya badai orgasme begitu cepat menyapa tubuhnya.

“Udaaahhh,, baanyaaak yang Nyobbaaaiinn,,Syaaa,,,” aku tertawa mendengar jawaban Mba Nanda yang terengah-engah, dan aku percaya itu karena berulangkali aku mendapati Dida dan Aldo meremas payudaranya.

Aaaahhh,,, aku terpekik, sialan ni cowok, mentang-mentang vaginaku terbuka lebar, langsung main tusuk aja. Kepalaku menoleh kebelakang, dan mendapati Aldo yang tersenyum lebar dan langsung menghajar kemaluanku dengan gencar. Lubangku yang masih basah berusaha mencengkram batang itu. Aku ingin menunjukkan jika lubang senggamaku lebih hebat dari milik Mba Nanda.

“Firman dan Pak Najib juga udah pernah nyusu disini, Sya,,,” jawab Mba Nanda dengan bangga, setelah nafasnya perlahan kembali normal.

“Firman? Pak Najib?” pertanyaanku yang penuh kekagetan hanya dijawab Mba Nanda dengan anggukan kepala. Konsentrasiku melayani Aldo buyar mendengar kedua nama itu. 

Firman cowok pendiam yang bagiku masih sangat misterius, sedangkan Pak Najib adalah dosenku yang terkenal galak dan sangat disiplin.

“Pernah nyobain yang ini juga ga?” tanyaku sambil mengusap vaginanya yang banjir. Mba Nanda tertawa. “Kalo Firman sih belum, tapi kalo Pak Najib udah 3 kali, langsung diruang Dekan lho,” jawab Mba Nanda penuh rasa bangga.

“Dasar... ternyata Mba bener-bener nakal ya,,,” sungutku sambil menggigit hidung mancungnya.

Mba Nanda tertawa, memperlihatkan senyum manis nakal menggoda, mengingatkanku pada astis cantik Putri Patricia, wajar saja banyak cowok yang berlomba mendapatkan tubuhnya yang juga terbilang mungil namun padat berisi.

“Pasti kamu ga pernah cipokan sesama cewek kan?,,” ucap Mba Nanda langsung melumat bibirku, emmpphh,,, tak memberi kesempatan untuk menjawab. 

Sial,,, ni cewek mahir bener bersilat lidah, lebih mahir daripada cowok-cowok yang pernah mengembat bibirku. 

Lidahnya bermain-main didalam mulutku, membelit lidahku, lalu menarik lidahku untuk masuk kedalam mulutnya. Aaahhhh,,, permainan lidah Mba Nanda yang panas semakin menyempurnakan kenikmatan yang tengah diterima selangkanganku.

Tiba-tiba kurasakan telapak tangan yang kasar mengusap lubang pantatku, dan kuyakin itu adalah tangan Aldo, mau apalagi tu cowok. “Aaagghhh,,” salah satu jarinya memaksa masuk, terasa sakit tapi terkalahkan oleh nikmat yang tengah melanda vaginaku.

“Syaa,,, aku nyobain yang ini ya,,,”

“Jangan ngeeelunjaaak yaa, udah dikasih dua lubang masih nyari yang lain,” ucapku kesal, ulah Aldo lagi-lagi merusak moodku yang tengah berusaha mendapatkan kembali orgasme yang kedua.

“Punyaku aja Do,,, udah lama nih ga dipake ama Gara,” sahut Mba Nanda, yang lagi-lagi membuatku terkaget. Mendapat penawaran dari Mba Nanda, Aldo segera melepas batangnya, dan itu benar-benar membuatku jengkel.

Aku turun dari tubuh Mba Nanda, disamping gairahku menghilang, aku juga merasa penasaran bagaimana interaksi kenikmatan pada liang anus itu terjadi.

Ketika aku ingin berdiri Mba Nanda menarik tubuhku dan menyuruhku untuk berbaring, dan kini giliran Mba Nanda yang menindih tubuhku.

“Pelan-pelan ya, Do, ni lubang dah lama ga dipake,” Mba Nanda mengingatkan Aldo, kulihat pantatnya menungging bersiap menerima batang milik Aldo. Iseng-iseng aku meremas pantat Mba Nanda yang lebih besar dari pantatku, lalu menariknya hingga semakin terbuka lebar. Aldo meludahi penisnya.

“Akkhh,,,Emmppggg,,,” Mba Nanda memejamkan matanya, menggigit bibir bawah, meringis tertahan. Anal seks, aku merinding, membayangkan untuk melakukan itupun diriku tak pernah.

“Ooppss,, Stop,,,” Mba Nanda memberi intruksi, tapi sesaat kemudian kepalanya mengangguk mempersilahkan Aldo meneruskan penetrasi kelubang matahari itu. Aku mengintip Aldo yang begitu tegang menghujamkan batangnya dengan perlahan.

“Eghh,,, Maklum, dah lama ga dipake,” Ucap Mba Nanda dengan wajah meringis. Sepertinya Aldo telah berhasil melesakkan seluruh penisnya. Mba Nanda bergerak mengatur tubuh dan mengangkat pantatnya lebih tinggi menyesuaikan penis yang bersemayam didalam lubang analnya.

Perlahan kedua tubuh itu bergerak, wajah Mba Nanda yang awalnya meringis mulai berubah, bibirnya mendesis, terkadang mengerang nikmat dengan mata terpejam. 

Sesekali wajahnya menoleh kebelakang, tersenyum mengamati wajah Aldo yang begitu menghayati kenikmatan yang diberikan oleh Mba Nanda.

Hentakan-hentakan Aldo semakin lama semakin keras, diimbangi Mba Nanda dengan goyangan-goyangan yang tak kalah liar. “Syaaa,,, enaaak banget Syaaa,,, Syyaaaa,,, Aaaahhh,,, “ Tubuh Mba Nanda terangkat, berdiri diatas lututnya, vaginanya yang menganga disumpal oleh jari-jari Aldo. Dan akhirnya tibalah puncak kenikmatan yang dinantinya.

“Aaaahh,,, Gghhhh,,,” giginya gemeretak menahan kenikmatan yang tidak pernah kurasakan, benarkah anal seks senikmat itu. Jika melihat kepuasan yang diterimanya ingin sekali aku turut mencoba gaya seks ini, tapi,,,

Kini giliran Aldo yang berubah menjadi liar, tangannya memeluk meremasi tubuh Mba Nanda. 
“Ndaaa,,, buang didalam yaaa,,,” rintih Aldo. Aaahhh,,, aku sungguh iri dengan Mba Nanda yang sudah mendapatkan 3kali orgasme, dan kini Aldo akan menyiramkan spermanya kedalam lubang Mba Nanda. 

“Tunggu Do,, tahaaann,,” seru Mba Nanda yang mencabut batang Aldo. Lalu turun dari tubuhku. Aku heran apalagi yang akan dilakukan gadis cantik ini.

“Siram disini aja Do,,,”
Aaahh,,, tiba-tiba Mba Nanda menguak liang kemaluanku, dan memposisikan batang Aldo tepat didepan gerbang vaginaku. 

Aaahhhggghh,,, begitu cepat batang itu menghujam masuk, tanpa menunggu aku bersiap, pantatnya langsung menghentak cepat. Bibirnya melumat bibirku dengan ganas. 

Tak ada pilihan lain bagiku selain membuka paha selebar mungkin agar batang itu bebas bergerak didalam tubuhku dan bersiap menerima siraman cairan orgasme Aldo.

Segera saja kupeluk tubuhnya, dengan kaki menjepit pinggulnya erat, pantatku terangkat, Aaahhh begitu cepat aku bergairah, semoga saja Aldo dapat menahan semburannya hingga aku mendapatkan orgasme kilatku kembali.

Aaaaggghh,,, keraaas sekali batang Aldo, bagaikan batang pohon yang menjajal daging lunak kemaluanku, kini justru aku yang bergerak liar, berusaha mendahului Aldo menuju puncak.

“Aaakkhhh,, masukin yang dalaam Doo,,,”mohonku sambil memegangi wajah cowok itu, aku semakin bergairah ketika membayangkan cowok yang tengah menindih tubuhku ini sebentar lagi akan menghamburkan spermanya kedalam tubuhku, vaginaku berkedut keras, semakin meremas batang Aldo dengan kuat.

“Oooowwwhhhgggg,,,, oogghhww,,,” Aku tersentak, Tanpa kuduga tubuhku mengejang begitu cepat, beberapa detik lebih cepat dari yang kubayangkan. Menggeliat dalam dekapan Aldo yang menghentak tubuhku dengan kasar.

Uuughh,,, aku yang masih menikmati orgasme terkaget, belum selesai merasakan nikmat, pinggul Aldo yang mengayuh tubuhku bergerak semakin cepat.

“Mampus kau Syaa,,, rasain nih kontol kuu,,,,” bibir Aldo menggeram saat menghentak keras pinggulku yang terangkat. 

Entah apa yang ada dipikiranku, bibirku tersenyum menyeringai, “Bukan aku,,, tapi kamu yang bakal mampus,,,” tantangku. 

Liang senggamaku berkontraksi, menyelimuti batang Aldo dengan rengkuhan otot kemaluan yang kuat. Pantatku bergerak menyambut setiap hentakannya, membuat Aldo semakin menggila.

Batangnya kurasakan semakin besar, berkedut, dan akhirnya penis itu menghamburkan sperma yang seketika memenuhi lorong rahimku. 

“Aaaaaggghh,,, Gilaaa,, memekmuuuhh Ooowwhh,,,”

kujambak rambut Aldo dan menatap wajahnya yang tengah meregang orgasme, entah kenapa aku menikmati jeritan dan lenguhan seorang cowok yang meregang kenikmatan didalam kemaluanku yang menjepit erat. 

Penis itu terus berkedut seiring usahaku memompa penisnya untuk mengosongkan sperma yang berebut masuk kedalam rahimku. Begitu indah, begitu nikmat.

Aku teringat bagaimana Gara dengan begitu liar mengerang, menyiramkan spermanya kedalam tubuhku. Artinya aku sudah mengoleksi tiga konsumen yang menggelepar tak berdaya diselangkanganku yang banjir oleh genangan sperma mereka.

“Ayo cepat, sebelum anak-anak mencari kita.” Mba Nanda menyadarkan aku yang masih terengah-engah menikmati pesona seorang cowok yang tengah melepas orgasme diatas tubuhku.

“Jangan dikeluarin, ntar mau aku tambahin lagi,” bisik Aldo sebelum bangkit dari tubuhku. Kalimat yang tidak asing kudengar. Segera kukenakan kembali pakaian yang tergeletak direrumputan.

Gila,,, tubuhku bener-bener lemas, padahal kami harus kembali menuruni lembah pegunungan ini, menuju rumah penduduk yang biasa dijadikan basecamp.

Dengan bergegas kami menuruni bukit, dan benar saja ditengah jalan kami bertemu dengan Firman yang kembali naik untuk mencari kami. Firman bernafas lega saat berhasil menemukan kami, tapi sesaat kemudian mendengus kesal karena keterlambatan kami.

“Sorry Fir, tadi kaki Natasya keseleo, jadi terpaksa kami berjalan perlahan,” ucap Mba Nanda, alasan kuno yang dipaksakan, Firman memandang wajahku lalu beralih kekakiku. 

“Tidak apa-apa koq Fir, mereka aja yang terlalu khawatir,” aku berusaha mengelak, mengikuti sandiwara dengan hati dongkol, kenapa harus aku yang dijadikan alasan. 

Firman mendekatiku, Sial,,,mungkinkah cowok ini ingin memeriksa kakiku untuk membuktikan ucapan Mba Nanda. “Sini, biar aku bawa tasmu,” serunya. 

Aku tergagap, lalu menyerahkan tas. Dengan sigap tas itu sudah berada dipundaknya, lalu kembali mengulurkan tangannya untuk membantuku berjalan.

Aldo dan Mba Nanda berusaha menahan tawa. Sialan,, ini semua gara-gara alasan yang dibuat-buat Mba Nanda, akhirnya aku pura-pura berjalan dengan sedikit terpincang-pincang.


- - -

“Pak Darmo, aku pinjam kamar mandinya ya, kebelet nih,,” teriak Mba Nanda setelah meletakkan tas didalam rumah Pak Darmo yang menjadi tempat peristirahatan kami. Aku mengiringi Mba Nanda kebelakang, tapi bukan untuk buang air kecil, aku ingin memesan segelas kopi jahe kepada mbok Ningsih. Tapi dibelakang tak kudapati wanita paruh baya itu.

Dari jendela kecil, tempat pembuangan asap dapur yang masih menggunakan kayu, aku bisa melihat Mba Nanda yang ribut menggedor pintu kamar mandi yang memiliki bangunan terpisah, sebagaimana umumnya MCK warga setempat.

Tiba-tiba aku terhenyak, saat melihat Bona keluar kamar mandi dengan wajah cengengesan diiringi sosok Askia yang tersipu malu. Mba Nanda hanya geleng-geleng kepala. Lalu bergegas masuk.

Oh,,, apa yang telah terjadi. Hatiku berdebar tak terkontrol. Ada perih yang menyusup. Ada amarah yang menggelegak. Seperti inikah sakitnya dikhianati. Meski aku menyadari apa yang telah kulakukan lebih dari pengkhianatan yang dilakukan Bona. Ataukah Bona mengetahui perbuatanku? 

Aku menggeser tubuhku kebalik jendela, agar terlindung dari mereka. Mengintip dari celah dinding dari anyaman rotan, yang sudah menghitam akibat asap dapur.

“Mas, jangan sampai Mas Aldo tau ya,” pinta Askia saat melewati jendela tempatku berdiri. Dengan pasti Bona mengangguk tapi tangannya masih meremasi pantat Askia yang terbalut jeans ketat. 

Aku harus mengakui, jika Askia memiliki wajah yang menarik. Pantatnya pun tak kalah montok dengan pantatku. Tapi aku masih bisa sedikit berbangga, yaa,,, payudaraku jelas lebih besar dibanding milik Askia.

Saat mendekati pintu Askia segera menepis tangan Bona. 
“Udah dong,,, seneng banget sih ngeremes punya Askia,” protes gadis itu. Gayanya yang manja membuat api cemburuku berkobar.

“Habisnya pantatmu mantap banget,, bener-bener bikin ketagihan,,” rayu Mas Bona. Dasar cowok gombal, umpatku dalam hati.

“Ststsss,,, jangan kenceng-kenceng dong,,” Askia mengacungkan telunjuknya kedepan mulut sebagai tanda untuk memelankan suara Mas Bona yang terlalu keras. 

“Tau ngga?,, Ternyata mas lebih jago dari Aldo, kalo Mas Aldo selalu pengen buru-buru, abis ngecrot aku langsung ditinggal,” bisiknya, membuat Bona tersenyum bangga.

Aku tertegun, apa yang diucapkan Askia tentang Aldo, sama persis dengan apa yang kurasakan pada persetubuhanku bersama Mas Bona. Aku terpekur, apa yang membuat gadis itu berpikiran seperti itu, karena tadi aku merasakan langsung bagaimana cara Aldo saat menikmati tubuhku dan Nanda, dan cukup memuaskan.

“Kapan lagi?,,,” seru Bona, tangannya menahan tubuh Askia yang akan berbalik. 

Sejenak gadis itu berpikir sambil mengerutkan keningnya. “Malam jumat ini dikost ku, kebetulan Mas Aldo mau pulang kekotanya, Awas kalo ga datang, hihihi,,,” Askia tertawa setelah menjanjikan tubuhnya pada Mas Bona. Lalu berbalik untuk masuk.

“As,,, tunggu dulu,,” cegah Mas Bona.

Sialan,, Sialan,, Sialan!!!,,, umpatku geram. Ternyata Mas Bona menahan Askia hanya untuk meremas pantat dan payudara gadis itu. Askia tertawa sambil memeletkan lidahnya, lalu menepis tangan Mas Bona dengan gaya yang sangat manja.

“Hahaha,, udah sana masuk, ntar punyaku malah ngaceng lagi,,”

Askia lagi-lagi tertawa sambil memeletkan lidahnya. Dan itu benar-benar membuatku kesal.

“ingat ya,As,, punyaku jangan dikeluarin, biarin aja didalam,,” ucapnya, menyempatkan menepuk pantat Askia sebelum memasuki pintu, dimana aku berdiri tepat dibaliknya.

Ugghhh,,, siaaal,,, tadinya aku sangat bangga saat Gara dan Aldo mengucapkan kata itu kepadaku, yang kuartikan sebagai tanda kepuasan mereka atas tubuhku. Tapi kini kalimat itu justru keluar dari mulut Mas Bona yang ditujukan kepada wanita lain. Artinya,, mereka sudah,,, Aaarrgghhh,,,,


- - - 
Mas Bona mendekat saat aku menyeruput kopi jahe yang masih panas, aku bingung bagaimana harus bersikap, haruskah aku menunjukkan perasaan marahku, sementara aku juga melakukan hal yang sama, ataukah bersikap biasa seakan tidak pernah ada kejadian apapun. 

Tapi harus sampai kapan, tentu akan terasa aneh bila menjalin suatu hubungan dengan cara yang janggal seperti ini.

“Bagaimana keadaanmu, Aku dengar kakimu terkilir,” Bona berdiri didepanku, jemarinya mengelus rambutku dengan lembut. Ada kasih sayang yang kurasakan dari usapannya. Kutatap matanya untuk mendapatkan kepastian itu, masihkah hatinya kumiliki?... 

Dan kudapati segurat senyum dengan rasa khawatir atas diriku yang tidak dibuat-buat. 

“Tidak apa-apa, tadi Aldo sudah memijat kakiku, walau masih terasa sakit aku masih bisa berjalan,” sahutku, menggeser tubuhku untuk memberinya tempat duduk diatas amben, tepat disampingku.

“Maaf, aku tadi duluan turun, jadi tidak tau dengan apa yang terjadi padamu,” Bona memeluk pundakku, tubuh nya yang sedikit berlemak membuatku nyaman untuk bersandar. 

“Heh,,, badanmu asem banget, beda dari biasanya,” ucapnya saat ingin mencium leherku.

Aku nyengir, berharap dia tidak mengenali bau ludah laki-laki yang mengering dileher, telinga dan disekujur tubuhku, yaa,, semua karena ulah Aldo.

“Koq tiba-tiba aku merasa kangen banget ya,” bisiknya, dan semakin memeluk tubuhku dengan erat.

“Jelas saja, kamu terlalu asik dengan teman-temanmu,” rengekku, berusaha memojokkan dirinya sebelum semua mengarah padaku.

Tiba-tiba aku merasakan ada cairan kental yang mengalir keluar dari liang kemaluanku, sial,, ini pasti milik Aldo. Gawatnya lagi Bona justru mengelus pahaku dan terus naik hingga keselangkanganku.

“Mandi yuk, masih ada waktu dua jam lagi sebelum kita turun,” 

“Aahh,, yang bener aja, masa ditempat seperti ini,” elakku, aku tau kalimat itu adalah ajakan bagiku untuk bercinta. “Lagipula kakiku masih tarasa sakit dan pegal, aku capek,”

“Yup, tapi aku yakin itu tidak akan mengurangi kehebatanmu,” bisiknya dengan wajah penuh harap.

Busyet, yang bener aja, bukannya tadi Mas Bona baru saja melakukannya dengan Askia. Kuat juga Mas Bona, ucapku dalam hati, melihat semangatnya untuk menikmati tubuhku ditempat umum seperti ini.

“Sayang,,, sabar yaa,,, Tasya masih cape banget, lagian kaki ku masih sakit, tunggulah hingga nanti malam, aku akan menginap dirumahmu dan akan melayanimu sampai puas, kalo perlu sampai besok lusa,”

Tiba-tiba wajah Bona berubah menjadi bingung, aku hampir saja tergelak tertawa, tapi untung masih bisa ku tahan. Besok lusa adalah malam yang dijanjikan oleh Askia, dan sepertinya Bona masih sangat berhasrat untuk menikmati tubuh pacar Aldo itu.

“Baiklah sayang, malam ini nginep ditempatku ya, tapi malam besok aku sibuk ada yang harus kuselesaikan,” 

Sialan,, untuk pertama kalinya kudengar Mas Bona coba membohongiku.

“Kalau kamu ingin berkumpul dengan teman-teman, tadi kulihat mereka kerumah sebelah, aku ingin beli rokok dan ngobrol sebentar dengan Aldo,” ucap Bona sambil menunjuk rumah yang ada disamping rumah sederhana ini.

Menurut Mba Nanda, biasanya pada saat libur dua buah rumah milik Pak Darmo ini penuh sesak oleh para pendaki. 

Aku melangkah dengan berpura-pura sedikit pincang, cukup merepotkan.
Di ruang tamu aku hanya menemui Askia dan Dida yang tengah mengobrol santai. Tapi dimana yang lain. Aku melemparkan senyum lalu memasuki kamar depan.

“Asseeem,, malah pada molor,” ucapku saat mendapati tubuh Mba Nanda sudah tergeletak diatas sofa lusuh. Sementara dilantai diatas tikar anyaman, berjejer Achonk, Gara dan tiga orang pendaki lain, yang kami temui saat diatas.

Aku kembali melangkah menuju kamar berikutnya yang lebih kecil.

Deg,,,
Aku terkaget, didalam kamar itu kudapati Oci yang tengah berpegangan kedinding, menunggingkan pantat mungilnya kebelakang, membiarkan penis seorang cowok bermain-main di selangkangannya yang terbuka.

“Ayo,, Ka Fiirmaaan,,, masukin lagiii,, Aaawwhh,,,”

Yaa,, cowok itu adalah Firman. Cowok yang bagiku sendiri cukup sulit untuk mendekatinya.

Harus kuakui kelebihan dari sifat Oci, gayanya yang supel, cerewet dan cuek membuatnya cepat akrab dengan siapapun. 

Tapi yang aku heran, bagaimana caranya tu bocah sampai bisa menggoda Firman yang terlihat alim, untuk menikmati tubuh mungilnya.

“Kaaa,, tusuk keatas dikiiittt,,, yaaa disituuu,, aduuuhh,,, sedikiiit lagi,,,” erangan Oci menyadarkan lamunanku.

Kulihat Firman semakin menekuk kaki, merendahkan tubuhnya, mengarahkan batang penisnya sesuai dengan permintaan Oci.

“Deee,, koq jadi tambah sempiit,,” Firman melenguh, wajahnya terbenam dileher Oci. Tubuh Oci yang mungil membuat cowok itu cukup kesulitan untuk menikmati liang kemaluan di selangkangan yang jauh lebih rendah darinya.

“Makanya masukin yang dalam, punya Oci masih bisa ditusuk lebih dalam lagi koq,,, jangan cuma kepalanya aja,, hihihi,,, ” 

Aku jadi penasaran, baru kepala jamurnya aja yang masuk?,,, si Oci udah merem melek seperti itu, segede apa sih punya Firman. Sialan,, kenapa aku jadi penasaran gini.

Tiba-tiba Firman memegangi pinggul Oci, lalu perlahan menggerakkan pinggulnya, berusaha menusukkan batang kejantanannya lebih dalam.

“Aaahh,, tuu kaaan,, tu kaaan,, masih bisa ditusuk ya dalaaam kan,,” 

Pinggul Oci yang sebelumnya diam kini ikut disorong kebelakang, dengan kaki yang semakin mengangkang. Bibirnya terbuka, melenguh. Matanya terpejam, menikmati penetrasi kejantanan seorang cowok, jauh kedalam lorong kemaluannya.

“Duhh,,, batangnya Firman nikmat banget ya Ci?,,” tanya hatiku, saat melihat sisi wajah Oci yang mengekspresikan kenikmatan tak terlukis. Apa yang dialami gadis mungil itu selalu saja membuatku iri. Sementara aku cuma bisa mengintip dari celah pintu dengan nafsu memburu.

“Stoopp,, kaaa, udaahh sampai ujuuung,, mentook,,” tangan Oci terhulur turun keselengkangan, “Koq,, masih sisa setengah ka?,,”

What???,,, apa yang dimaksud Oci dengan sisa setengah? Apa batang Firman yang sudah mentok divagina Oci masih tersisa setengah diluar?,,, Owwhh,, aku meremas selangkangan yang tiba-tiba terasa sangat gatal dan basah.

“Uuuwwhh,,, Hebat punya kamu Ci,, sempit banget,, kaka aja takut-takut waktu masukin, takut kamu kesakitan,”

“Punya kaka aja yang kegedean,, lubang Oci ampe penuh banget,,”

Sialan, aku jadi semakin penasaran, segede apa sih punya Firman. Seandainya urat malu ku sudah putus, aku pasti sudah menghampiri mereka berdua buat sekedar mengecek segede apa barangnya si Firman.

“bener-bener sempit banget punya mu Ci,, ngalahin punya nya Bu Risna,,,” ucap Firman, tapi gadis itu tak lagi peduli dengan ucapan cowok itu karena tengah menikmati batang yang mulai bergerak keluar masuk dikemaluannya.

Tapi tidak denganku, kata-kata Firman membuat jantungku hampir terhenti. Ada skandal apa antara cowok bernama Firman itu dengan Bu Risna, dosen sekaligus pembantu dekan difakultasku.

Ngga mungkin,, ngga mungkin Bu Risna yang cantik dengan pakaiannya yang selalu tertutup itu memiliki skandal dengan Firman. Aku coba menepis dugaanku. Tapi kata-kata Firman cukup jelas terdengar oleh telingaku.

“Sya,, kamu ngapain Sya?,,,” 
Itu suara Mas Bona. Dengan cepat aku menoleh kearah Mas Bona yang masih berdiri diruang tamu. Langkahnya terhenti, meladeni obrolan Dida dan Askia.

aku panik, aku harus bagaimana, sementara didalam kamar didepanku seorang cowok tengah menikmati tubuh mungil Oci, adik kandung Mas Bona.

Tok,,, tok,, tok,,,
Dengan segera aku mengetuk pintu yang tidak terkunci itu, coba memberi peringatan kepada Oci.

“Ci,, Oci,, kamu didalam,, aku sama Mas Bona dari tadi nyariin kamu,, buka dong pintunya,,” 

OMG,, semoga sandiwaraku bisa dimengerti oleh Oci, semoga bocah itu menghentikan kegilaannya.

“Iyaaa kaa,, bentaaar,,, sedikiit lagiii,,,”

Sialan,,, Oci masih nekat menyelesaikan permainannya. Aku semakin panik. Aku kembali mengintip kedalam.

Benar saja, Pinggul Firman bergerak semakin cepat menumbukkan kejantanan di vagina Oci yang menungging semakin tinggi. Keduanya tampak tak rela kenikmatan yang mereka kejar terhenti begitu saja.

Aku semakin panik saat melihat Mas Bona kembali melangkah mendekat, meski bibirnya masih meladeni obrolan Dida. 

Plisss,, Dida,, tahan Bona sebentar lagi,,,

Panik,, aku sangat panik!!!
Tak terbayang olehku seandainya Mas Bona melihat tubuh adik kesayangannya tengah dinikmati oleh temannya sendiri.

Took,,Took,,,Took,,
“Ci,, ni ada Mas Bona lho,,” aku mengetuk semakin keras.

“Iya Ka,,”
Gedubrak, bruaak, braak,,

Waduh,, aku mendengar ada sesuatu yang terjatuh dari arah kamar. Dengan cepat aku membuka pintu, dan sempat kutangkap bayangan kaki cowok nyangsang dibibir jendela yang terbuka, tapi mana orangnya?,,,

Opss,,, aku menutup mulutku, berusaha mati-matian untuk tidak tertawa. 

Kraaak,,, 
Kaki celana yang ternyata tersangkut pada paku yang ada dijendela ditarik paksa hingga robek. Lalu kudengar langkah kaki yang tergopoh-gopoh, menjauh.

Sementara Oci dengan wajah cemberut dengan rasa kesal yang begitu kentara, sibuk merapikan celananya.

“Hihihi,,, sorry banget Ci,,, lagi nanggung ya, De?,,,”

“NANGGUNG BUAAANGEEEEEET,,,” jawab Oci dengan mata melotot super galak. 
Bersambung....

KLIK TOMBOL DIBAWAH UNTUK BONUS BOKEP



0 comments:

Post a Comment