Desire 4 [Petak Umpet]


“Semua udah beres?,,” tanya Gara, sambil mengamati tumpukan tas di atas truck.

Dida mengacungkan jempolnya, “Sip,,, bereees,,,”

“Tasya, barang-barang kalian udah masuk semua?” kali ini cowok itu bertanya pada ku yang berdiri dibawah pohon.

“Sudah bos, tas ochi dan tas Ka Tasya udah masuk,,,” jawab ochi cepat, menyerobot pertanyaan yang ditujukan kepadaku. Tampaknya gadis cantik ini bener-bener mengagumi sosok Gara.

“Kalo gitu nunggu apa lagi, ayo naik,, ntar keburu hujan,,, atau mau ditinggal disini?” Gara menggoda ochi sambil melotot galak.

“Bantuin Ochi naik dong, bak nya tinggi banget,,,”
Gara tertawa melihat tingkah manja gadis itu.

“Sini biar aku yang naikin,,,” ucap Dida tiba-tiba.

“Aahh,, ngga mau,, sama Ka Gara aja,,” Tapi Dida mengabaikan protes ochi, lalu membopong tubuh gadis itu, yang akhirnya berusaha meletakkan kaki mungilnya lebih dulu pada sebuah palang kayu dan,,, Sialan,,, sambil mendorong ochi naik, cowok itu masih sempat meremas kedua bongkahan pantat gadis itu.

Tapi gadis itu justru tertawa sambil memeletkan lidahnya, mengejek Dida yang coba-coba cari kesempatan pada tubuh mungilnya.

“Sya,, mau aku bantu juga?,,” tawarnya.

“Hahaha,,, Ogaaah,,,” aku menepis tangan Dida yang ingin merengkuh pinggulku. “Lho,, itu tas kecil punya siapa?,,,” seru ku saat melihat sebuah tas pinggang tergeletak dipinggir jalan.

“Itu punyaku Sya,,, ketinggalan,,” seru Firman dari atas bak truck.

Tanpa diminta aku mengambil tas itu, karena diriku yang berada paling dekat. Namun saat aku berbalik menuju truck, Upss,,, kembali terjadi peristiwa keisengan seperti tadi, tapi itu dilakukan oleh Mas Bona dan Askia.

Dengan nakalnya tangan Mas Bona membantu mendorong Askia naik, sekaligus meremas kedua bongkahan pantat gadis itu. Askia tampak berusaha menahan tawanya, seolah tak terjadi apa-apa.

“Kenapa sih, bukannya dibuka aja pintu baknya biar gampang naik,,” ucapku sewot pada Gara, yang baru kembali dari membayar uang minum diwarung saat kami menunggu datangnya jemputan darurat ini.

“udah dicoba tadi, tapi keras banget,,” ucap Gara. Memegang tanganku untuk membantu ku naik. Gara cukup pintar untuk tidak ikut berbuat iseng pada ku yang tengah emosi tingkat dewa.

“Awas Sya,,, ayo pelan-pelan,,” sambut Firman yang menyambut tanganku dari dalam.

Sialaaan,,, didalam lagi-lagi aku disuguhi pemandangan tak mengenakkan, dengan memasang wajah tanpa dosa Mas Bona sudah duduk manis selonjor kaki tepat disamping Askia. 

“Ugghhh,, bener-bener dah Mas Bona,,” umpat hatiku,,, “Oke elu jual gue beli,,,” sungutku, lalu duduk diantara Achong dan Dida.

“Jiaaahh,,, koq hujan sih,,,” Teriakku semakin kesal, diiringi celoteh anak-anak lain yang seketika menjadi gaduh.

“Tutupin tas nya,,”

“Tutupin pake apa? Pake sendal?,,,”

“Tas yang pake cover bag taruh diatas!,,”

“Mending cover bagnya dilepas aja, biar bisa dipake cewek,,”

“Terpaaal,,, Pake terpal,,,”

“Terpal nenek mu?,,mana ada kita bawa terpal,,”

Bluk,,,
Seketika semua terdiam, sebuah terpal biru dilempar dari bawah, tepat mengenai kepala Bona.

“Hahaha,,, Sokooooor,,,” teriakku dalam hati, entah kenapa aku justru girang dengan kesialan yang dialami Mas Bona.

Anak-anak yang lain ikut tertawa atas kemalangan pacar ku itu.

“Sorry,, tadi kena orang ya?,,,” seru Gara yang baru naik keatas bak.

“Ngga,,,cuma kena kebo,,,” sungut Mas Bona, tapi tetap membantu mengurai terpal agar dapat menutupi tas dan tubuh kami semua.

Sungguh suatu perjalanan yang penuh warna. Dibawah terpal yang dibentang seadanya aku mendekap lututku, berusaha mengeringkan baju yang sempat sedikit basah dengan hangat tubuh. 

Tapi kesialan terus berlanjut, tubuh kami memang terlindung dari guyuran hujan, tapi genangan air yang tak bisa langsung terbuang membuat celana basah.

“Tasnya dudukin aja,,, tapi keluarin dulu yang ada tabung gasnya,” seru Firman, menyadari kondisi genangan air yang sangat mengganggu posisi duduk kami. 

Dibawah gemuruh guyuran hujan yang menimpa terpal, masing-masing bergerak mencari posisi enak dan aman, tak peduli lagi tas siapa yang dipakai untuk duduk, dan entah ada di mana tabung gas yang dimaksud.

“Ayo,,, tangannya jangan nakal,,,hahaha,,” seru Achong tiba-tiba. Kondisi dibawah terpal memang cukup gelap ditambah dengan mendung yang menghitam. 

“Tangannya ngga boleh terminal sembarangan yaa,,, hahaa,,” timpal Dida segera disambut oleh tawa yang lainnya. Dan akhirnya suasana dibawah tenda biru mulai hangat oleh kelakar dan tawa.

“Syaa,, numpang terminal dong,,,” diantara hirup pikuk tawa, sebuah bisikan menyapa telingaku. Siapa lagi kalo bukan Dida. Dan tanpa menunggu persetujuan dariku tangannya sudah berusaha menyelusup kebalik jaket dan kaosku.

“Gila,,, ngajak ribut?,,” aku mencengkram pegelangan Dida.

“Tapi ditoket Nanda udah penuh,, ngga tau tuh tangan siapa aja yang nangkring,,,”

“Whuahahahahahaa,,,” mendengar bisikan Dida aku tak mampu menahan tawaku, dan itu pasti mengundang kebingungan yang lain.

“Woii,, pengumuman Dida kebelet pipis, ati-ati kalo ada air anget ngalir dikaki, pasti tu punya Dida,,,” teriakku asal, seiring dinginnya tangan Dida yang perlahan menyusup menyibak bra ku dan dengan pasti merengkuh bulatan besar payudaraku.

“Hahahaa,, angkat kakiii,,,” teriak Ochi yang kuperkirakan duduk disisi kanan.

“Hahahahha,,,”

“Hahahahasseeem,,,,” 
Dida mengumpat kesal, tapi tetap saja ikut tertawa. Dida tidak membalas kelakarku dengan guyonnya yang kerap menohok, tapi permainan jari-jarinya membuat bibirku hampir saja kebablasan melepaskan rintihan.

Tapi ada sesuatu yang aneh, sedikitpun aku tidak mendengar kelakar Mas Bona, yang biasanya juga vokal. Begitupun dengan suara Askia yang senyap. Kecurigaanku menyeruak. Pasti tangan tu mahluk gendut udah dari tadi terminal ditoketnya Askia. Ggrrrrrrrrhh,,,,

Tapi kekesalanku teralihkan oleh tingkah jari-jari Dida yang semakin agresif.
Aksi Dida membuat birahi ku tersulut, tapi tak ada yang dapat kulakukan selain menikmati remasan tangan nakal yang sesekali menjepit putingku. Sekuat tenaga aku berusaha menahan lenguhan yang bisa saja keluar dari mulutku.

“Gilaaa,, dingin banget,, wooyyy,, koq jadi pada diem sih,,,” teriak Achong mengagetkanku.

“Mungkin pada tidur, kecapean,,” jawab Aldo yang seingatku duduk disamping Mba Nanda.

Tiba-tiba otak miringku mencoba mereka-reka kenakalan yang tengah terjadi dibawah tenda yang cukup gelap ini. Pasti Mba Nanda tengah sibuk meladeni kenakalan Aldo dan Gara yang duduk dikedua sisinya. 

ochi pun sudah tak terdengar lagi suaranya, mungkin gadis itu tengah asik bersama Firman yang duduk disisinya, melanjutkan kenakalan mereka yang terganggu olehku, hihihi,,,

Dan Mas Bona, sudah dapat kupastikan tangan pacarku itu tengah tamasya dipayudara Askia, atau bahkan lebih dari itu.

“Chong,, dingin ya?,,,” aku mendekatkan kepalaku sambil berbisik. “Jangan berisik ya,,,” ucapku, lalu menarik tangan cowok itu kedalam kaosku, untuk menemani ulah tangan Dida yang begitu berkuasa dikedua payudaraku.

“Busyeeet,,, tangan siapa lagi ini,,,” seru Dida protes, merasa aksinya terganggu.

“Hihihi,,, Jangan berisik, bagi-bagi, ngga boleh kemaruk,” bisikku sambil berusaha meredam tawa. 

“Buueeghh,,, curang bener, koq ngga bilang dari tadi sih,,” giliran Achong yang protes, saat mendapati tangan lain sudah berada didalam kaosku.

“Uuuugghhh,,, eemmgghh,, ini benar-benar gilaaaa,,” aku mengumpat. Ditempat darurat seperti ini, aku justru melayani hasrat dua orang cowok yang menggerayangi tubuhku secara bersamaan. Berkali-kali aku kecolongan, eranganku begitu saja keluar saat salah satu dari mereka terlalu kuat menjepit putingku. 

Hanya bisa berharap pada guyuran hujan yang mengenai terpal, membungkam erangan dan bisikan-bisikan nakal antara kami bertiga. Suasana didalam tenda semakin gelap, hampir tak terlihat apapun, mungkin karena malam mulai mengganti hari. Hanya lampu jalanan yang sesekali mencoba menerawang dengan bias cahayanya yang membuat jantungku berdetak lebih kencang.

Tapi aku ingin lebih,, aku ingin lebih gila dari apa yang dilakukan Mas Bona pada Askia.

“Owwhh,,, Chong,,, isepin dong,,,” rengekku, setengah mendesah. Spontan, tanpa menunggu perintah kedua, bibir cowok itu pesiar diputing sebelah kananku.

Sementara Dida, dengan cuek aku menjambak rambut cowok itu, dan menyeret wajahnya kepayudara kiriku.

“Ooowwhh,,, gilaaaa,,, gilaaaaaa,,, emmppphhh,,,” 
Kepalaku sampai tertengadah untuk membungkam rasa nikmat yang menyapa, dua lidah yang panas tengah menyusu dengan rakus dipayudaraku. Aku mengejat-mengejat sekuat tenaga menahan gairah.

Achong dengan gayanya yang lembut, mempermainkan puting ku yang sensitif dengan lidahnya, sesekali bibirnya menyucup membuat aku hampir saja melenguh.

Sementara Dida sudah bisa ditebak, cowok urakan itu beberapakali menggigiti benda mungil ku. Memaksa ku menjambak rambutnya, berusaha mengontrol ulahnya yang membuat payudara ku ngilu sekaligus terasa begitu nikmat. 

“Eeeeeeeenngpphhh,,,,” secepat kilat aku menutup mulutku. “Didaaaaa,,, jangan gilaaaa emmpphh,,” sepertinya cowok itu sangat gemas dengan payudaraku, dengan hisapan yang kuat, bibir cowok itu seolah berusaha memasukkan seluruh payudaraku kedalam mulutnya.

“Mantap banget nenen mu Sya,,,” bisik Dida mendekati wajahku, berusaha melabuhkan bibirnya di bibirku.

“Iya,, tapi jangan digigit, dasar gemblung,,” aku berusaha mengelak. Tak ingin rugi cowok itu kembali memposisikan wajahnya kedepan dadaku.

Menyadari wajah Dida dan Achong yang hampir bertemu dilembah payudaraku, usilku muncul. “Guyss,,, kalian cipokan dong,,,”

“Ogaaaah,,,,”
“Sinting Lu,,,”

“Whuihihihihihi,,,” aku terkikik mendengar kedua cowok itu mengumpat, serentak menarik wajah mereka dari kedua payudaraku.

“Syaaa,,, bantuin dong,,, nanggung banget nih,,,” rengek Achong, menarik tanganku keselangkangannya.

“Aku juga dong,,,” timpal Dida, saat mendengar apa yang diinginkan Achong untuk kuperbuat.

Well,,, sekarang dua kejantanan cowok tergenggam dikedua tanganku. Sementara payudaraku kembali mendapatkan rangsangan dari kedua cowok itu. 

Dan tidak hanya itu, Dida seakan menjawab keinginanku, tangan cowok itu mengusap selangkanganku. Meski menggosoknya dari luar, bibir vaginaku yang sensitif dapat begitu jelas merasakan rangsangan-rangsangan yang tercipta.

Entah berapa lama kenakalan itu terjadi. Hingga akhirnya tubuh Achong mengejat-ngejat seiring sperma yang menghambur ditanganku, begitupun dengan Dida yang mulai kelimpungan saat aku mempercepat gerakan tanganku, 

“Owwhhh,,, aku keluar Syaaa,,, gilaaa,, ugghh,,,” erang Dida dengan suara tertahan, tangannya meremas payudaraku dengan kuat.

“Mampus Luu,,,hihihi,,,” bisikku, mencengkram kuat batang Dida yang sesekali masih mengejat.

Aku benar-benar merasa nakal, apa yang kulakukan melebihi apa yang kupikirkan sebelumnya. Mungkin melebihi kenakalan Mba Nanda, ochi dan Tasya dibawah terpal ini.

“Emang kalian tadi lagi mbayangin siapa?,,,” tanyaku iseng sekaligus penasaran.

“ya mbayangin ngentotin punya mu lah,,” jawab mereka serempak.

Aku terkikik sambil membersihkan sperma yanng melekat ditangan ke celana mereka. “Vaginaku ini sempit, ga bakal bisa dimasukin dua batang sekaligus,,,” sambungku semakin nakal.

“Ya udah,, Achong lubang yang depan, aku lubang yang belakang,,,” seru Dida yang tampakya masih peasaran dengan empuk payudaraku.

“Sialan,,, kalian yang enak aku yang modar,,,”
Kubaringkan kepalaku dipaha Dida, tubuhku terlalu lelah dan menagih untuk beristirahat, meski sebelumnya harus meladeni ajakan bibir Dida yang berlabuh dibibirku. Masih dpat kurasakan keusialan tangan Dida yang terus berplesir dipayudara, sementara Achong mengusapi paha dan selangkannganku seiring terpejamnya mata.
“Woooyy... banguun... banguuuun, dah sampai,” teriak Gara, membangunkanku yang tak sadar berapa lama terlelap dengan tubuh diapit oleh Achong dan Dida. Cukup memberi kehangatan hingga aku tertidur cukup nyaman.

Hujan menyisakan gerimis saat terpal disingkap. Langit pun sudah mulai gelap, meski di barat sana mentari yang kemerahan masih berusaha memberi cahaya yang tersisa untuk bumi. 

Baru kusadari bila kami sudah sampai dibase camp, rumah Dida. Aku meloncat turun, lagi-lagi dibantu oleh Gara dan Firman.

“Hayooo... ngapain aja tadi dibawah terpal,” goda ochi, menyikut lenganku.

Dibawah lampu jalanan yang hanya 25 watt, aku mengamati wajah gadis itu dengan mata yang masih agak mengantuk.

“Gila... Ini apa, Chi?” mataku melotot terang, telunjukku menyeka cairan putih lengket yang menempel didagunya. “Chi,Inikan?...”

“Ststsss... jangan kencang-kencang ngomongnya...” dengan panik gadis itu membersihkan wajahnya.

“Kamu pakai mulut buat...” aku tak sanggup menyelesaikan kata-kata, tanpa sadar mulutku membentuk huruf O. mataku beralih menatap sosok Firman yang sibuk menurunkan tas.

“Ststsss... iyaa... hihihi... abisnya kasian Ka Firman kalo ngga dikeluarin,” ochi tertawa tertahan.

Aku mengernyitkan kening, ternyata apa yang kulakukan tadi tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan ulah ochi dan Firman.

“Uuughh... pegel banget...” seru Mba Nanda yang berjalan kearah ku dan ochi, merenggangkan kedua tangannya keatas, coba melemaskan otot tubuh yang mengencang. 

“Udah kenyang mba?...” godaku, sekaligus mencari jawaban dari rasa penasaran.tentang apa saja yang terjadi padanya selama perjalanan tadi.

“Buangeeet... sialan tu si Aldo, stok jus nya masih banyak aja, ampe eneg aku tadi nelennya,” jawab Mba Nanda dengan cuek. Lalu melenggang masuk. 

Sialaaan....

Spontan, mataku bergerak memeriksa celana para cowok yang lain, kudapati beberapa tetes sperma masih melekat dicelana Aldo dan Gara. 

Ugghhh... emosiku kembali terlecut, aku tak perlu memeriksa celana Mas Bona, karena aku melihat dengan cukup jelas cairan putih kental dirambut Askia. 

Rupanya Askia tidak menyadari cairan kental yang masih melekat dirambutnya, yang mulai hilang terkena gerimis yang masih turun. Servis apa saja yang diminta Mas Bona pada gadis itu... Sialaaaan...



- - -
Semua tas sudah diturunkan. 
Jam didinding menunjukkan pukul tujuh petang.

“Syaa... gimana kakimu... udah enakan?” tanya Mas Bona yang duduk diruang tengah rumah Dida.

“Udah sembuh,” jawabku sewot, terus melangkah masuk keruang tengah. Rumah ini memang hanya ditinggali oleh Dida. Kedua orang tua dan adiknya memilih tinggal di Semarang.

“Syaa... Tasyaaa... tunggu Syaa...” panggil Mas Bona, coba mengikutiku.

“Aku mau pipis, dah kebelet nih,” jawab ku asal, lalu melangkah cepat menuju belakang rumah. Untunglah Mas Bona tidak mengejar.

“Ayo Syaa, bantuin aku bikin kopi jahe buat anak-anak,” seru mba Nanda menyambut ku didapur. Tanganya memegang pisau kecil, lalu menuju kebelakang rumah, menarik paksa rerumputan yang ternyata adalah tanaman jahe. Dengan cekatan gadis itu memotong dan membersihkan jahe yang dipanen secara darurat.

“Koq malah bengong, ayoo, kamu masakin air nya,” 

“ehh... Iyaa,” ucapku, sesekali mataku mengawasi mba Nanda yang membakar jahe. Sepertinya gadis itu cukup terampil melakukan pekerjaan dapur, tidak seperti diriku.

“Aku bisa bantu apa nih?” 
Tiba-tiba Askia sudah berdiri dibelakang, mengagetkanku yang tengah menjaga api yang membakar kayu dan ranting kering. 

Tasya duduk disampingku dengan kikuk, sepertinya gadis itu merasa tidak enak dengan ku. 

“Ass... apa tuh dirambutmu, selai ya?” sindirku, yang seketika membuat gadis cantik itu gelagapan.

“Bukan, ehh... ini.. inii... mungkin mayones dari roti,” dengan cepat tangannya berusaha meraba dan membersihkan. Wajahnya berubah pucat.

Ahh... Siaaal... kenapa aku justru tidak tega melihat wajah panik Askia. Sebesar apapun kesalahan gadis ini, telah dibayar oleh kekasihnya Aldo yang menunggangi tubuhku dilereng pegunungan itu, dan memberiku kepuasan dengan sensasi yang berbeda.

“Capek banget ya?” tanya Askia saat melihat aku memijet pangkal pahaku yang terasa begitu pegal. “Sini biar aku bantu pijitin.”

“Eeehh, ngga usah,” seruku ketika gadis itu menarik kakiku “Santai aja lagi As... ehh.. kalo kamu mau bantu, tolong ambilin gelas aja,” ucapku berusaha sedikit ramah.

Dengan perlahan keakraban mulai terjalin diantara kami, obrolan tentang kuliah yang sering terbengkalai ternyata cukup mampu menjalin chemistry antara aku dan Askia. Dan ternyata gadis ini bisa menjadi teman ngobrol yang cukup baik.

Mba Nanda yang ikut nimbrung setelah mengganti pakaiannya yang basah akibat berhujan ria mencari jahe, semakin manambah seru obrolan singkat itu.


- - -

“Ada yang mau kopi jahe?” tawar ku sambil membawa teko kecil yang masih mengeluarkan uap panas, kepada para cowok yang duduk diruang tamu.

“Sya, kalo malam ini nginap disini aja ngga apa-apakan?” tanya Dida. “Ntar kita bakar-bakar jagung sama ubi.”

“Aku sih ngikut aja, tergantung big boss,” jawabku sambil memonyongkan bibir kearah Mas Bona.

“Siiiip... berarti semua nginep disini,” seru Aldo penuh semangat seakan tak memerlukan jawaban dari Bona, memandangku dengan genit, entah apa maksud dari kerling matanya yang berusaha menggoda itu.

Sementara Mas Bona melempar senyum sumringah kepada Askia, tapi kini cewek itu tidak merespon, dan justru mengalihkan pandangannya. “Hihihi... rasain...” hatiku bersorak girang.

“Kalo gitu, kalian istirahat aja biar aku ambilin ubi sama jagungnya dibelakang,” ucap Dida tidak kalah bersemangat.

“Tapi aku ngga bawa pakaian ganti lho,” seru ku, merasa kurang nyaman dengan celana dan kaos yang sudah kupakai dari kemarin.

“Gampang, baju adiknya Dida ada koq, kalo cowok-cowok ganti sarung aja,” jawab Mba Nanda yang sedari tadi memang sudah menggunakan sarung dan kaos oblong. Dan akhirnya, aku, Ochi dan Tasya mengiringi Mba Nanda kekamar tengah.

“Yang bener aja dong mba, masa aku pakai baju kekecilan gini, kalo sama Ochi sih cukup, tapi kalo aku jelas kekecilan,” keluh ku, saat coba mem-pas sebuah baju tidur dengan gambar Winnie The Pooh. Apalagi celananya jelas kekecilan untuk pantat ku yang montok.

“Tapi cuma itu yang paling besar,” jawab Mba Nanda sambil terus mencari-cari ditumpukan pakaian yang ada dilemari. “Coba aku cari baju-baju ibu nya Dida,” sambungnya beralih kelemari yang ada disampingnya.

“Yaaah... kekecilan juga,” lagi-lagi aku mengeluh saat kami menemukan beberapa lembar baju dester yang juga kekecilan.

“Ya iyalah, ibu tiri nya Dida kan bodynya kecil, makanya aku lebih milih sarungan gini,” lanjut Mba Nanda. yang memang sudah mengenakan sarung dan baju kaos yang sangat kekecilan, hingga meng ekspos payudaranya yang besar.

Tapi Ibu tiri? baru tau aku kalo Dida memiliki ibu tiri.

“Aku pake ini aja,” seru Ochi tiba-tiba, yang tanpa kami sadari sudah berganti dengan daster dari bahan kaos bergambar hello kitty yang membuat tubuhnya terlihat semakin imut.

“Wuiiihh... seksi banget Chi, aku pake ini aja, kayanya cukup deh,” ucap Askia, lalu mengambil kaos Winnie the pooh yang kupegang tadi. Weew... aku sempat kaget dengan keputusan gadis itu mengambil satu stel pakaian seumuran anak SMP itu.

Aku kembali sibuk mencari, lebih tepatnya mengacak-acak tumpukan pakaian milik ibu Dida.

“Wooow, wow, wow... seksi abeeees...” kali ini giliran Ochi yang memuji pakaian Askia. 

Sialan... kaos itu benar-benar sukses mencetak payudara gadis itu. Apalagi celana yang dipakainya sangat ketat, membalut bulatan pantat Askia dengan begitu sempurna.

“Koq malah pada milih yang kekecilan sih,” sungutku, setelah Ochi dan Tasya keluar yang langsung disambut kicau kagum para cowok yang memang sudah mupeng.

“Hahaha... mau yang seksi juga ya? pakai ini aja nih, ini daster idola nya si Firman,” kali ini Mba Nanda menyerahkan daster pendek tanpa lengan.

“emang cukup buat aku?” 

“Udah pake aja, pasti cukup koq,” 
Mba Nanda berusaha membantu ku mengenakan daster itu setelah melepas kaos dan celanaku. Diiringi celoteh mulutnya mengomentari payudaraku.

“Sya... ngga usah pake bra berani ngga?”

“Hahahaa... ngga berani mba, emangnya mba ngga pake ya?” 
Mba Nanda menggeleng sambil menggoyangkan tubuhnya kekiri dan kekanan, membuat bongkahan daging didadanya bergerak liar. Siaaal... kenapa aku ngga merhatiin putingnya yang mencuat.

“Takut aku mba, pake bra aja banyak yang minta terminal, gimana kalo ngga pake, hahaha... ckckck... seksi juga ni daster batik,” ucapku sambil mematut pada cermin, memperhatikan payudaraku yang membusung akibat bagian atas yang ketat, mengekspos sebagian ketiakku, sementara bagian bawahnya cukup longgar dengan panjang beberapa senti diatas lutut.

“Mantap koq, tapi hati-hati ya Sya, gara-gara baju ini ibunya Dida di gangbang ama anak-anak,” 

“Weekkss!... Eemangnya kenapa? Inikan baju daster biasa, lagian tega bener mereka ngerjain ibunya Dida,”

“Ceritanya panjang, tapi gapapa koq, paling banter kamu bakal dikerjain habis-habisan sama Firman, hihihi...”

Swiiiiing....
Aku kaget sekaligus merinding mendengar kata-kata mba Nanda. 
“Koq bisa mba?”

Mba Nanda mengangkat kedua pundaknya. lalu ngeloyor keluar kamar dengan cuek.

Bohong, Mba Nanda pasti cuma bercanda, hatiku coba menepis.

Tapi ketika aku berjalan keluar kamar, cowok-cowok yang tengah duduk diruang tamu seketika terdiam saat melihatku, terlihat jelas perubahan diwajah mereka. 



- - -

Dida tampak sibuk mengangkat beberapa kayu kering dari dapur kebelakang rumah. Dengan cekatan cowok itu menyusun beberapa ubi kayu pada lekukan tanah yang kemudian ditutupi dengan kayu bakar, lalu menyalakan api untuk membakar jagung. 

Kali ini alam berubah menjadi cukup bersahabat, meski awan masih menyelimuti langit dan menyembunyikan para bintang. Menyisakan hawa dingin serta bau tanah dan rerumputan yang basah.

Ochi terlihat begitu bersemangat disamping api unggun. Tangannya mengoleskan bumbu pada jagung yang sudah siap untuk dibakar. Disampingnya terlihat Gara yang mulai usil dengan rayuan gombalnya. Tapi sepertinya tangan cowok itu tidak berani nakal ditengah teman-temannya yang sibuk dengan jagungnya masing-masing. Dinginnya angin malam seakan tak mampu menghalngi keceriaan mereka.

Aku hampir tertawa saat menyaksikan Askia yang tampak kerepotan dengan kaos dan celananya yang kekecilan, Mas Bona yang terus menguntit gadis itu beberapakali dibuat gemas dan sembunyi-sembunyi mencolek pantat Askia.

Firman yang duduk disebuah kursi kayu asik memainkan gitar ditangan, dan membiarkan mba Nanda yang dengan cuek menggelendot manja dilengannya. Haiss... bener-bener hubungan yang aneh, ataukah memang sebebas ini keakraban diantara mereka.

“Syaa gosong, jagungmu gosong,” seru Achong tiba-tiba. “Makanya jangan suka merhatiin orang, kalo ngiri ama yang lain sini biar aku pangku,”

“Hahahaa... Bener nih, kuat ga?” aku menjawab tawaran Achong dengan duduk dipangkuannya. 

“Busyeeet.. berat juga ternyata...” 

“Hahahaaa.. ya iyalah, gimana masih pengen mangku aku ga?” tanyaku sambil bergerak untuk kembali berdiri, tapi Achonk justru tertawa dan memegangi pinggangku agar tetap duduk dipangkuannya.

Tingkah ku langsung mendapat respon dari Mas Bona yang melotot galak, tapi aku sengaja menghindari tatapan matanya. Malah dengan usilnya aku membuka pahaku dan membiarkan pandangan Mas Bona beralih kesalangkanganku.

“Ternyata kamu berani nakal juga didepan Bona, Sya...” teriak hatiku yang tertawa. 


- - -

Perutku sudah cukup kenyang setelah menghabiskan dua biji jagung bakar. Firman pun sudah berhenti memainkan gitarnya, beberapa teman yang lain mulai disibukkan oleh kegiatan lain, seperti Mba Nanda yang kini mulai sibuk meladeni ulah Achong yang meremasi pantatnya tanpa diketahui oleh yang lain, tapi gerakan tangan Achong dibelakang tubuh Mba Nanda dapat kubaca dengan cukup jeli.

“Kaa, udah dapat berapa batang?” tanya ochi yang menghampiriku yang duduk sendiri beralaskan tikar kecil.

“Hehehe... aku udah habis dua batang,” ucapku terkekeh sambil mengusap-usap perutku.

“Bukan jagung, tapi batang yang itu,”

“Maksud kamu,” aku melotot, balik bertanya coba memastikan maksud Ochi yang sebenarnya.

“Aku baru aja dapat batangnya Ka Aldo, hihihi...” ucapnya terkikik sambil berbisik.

“Kamu... kamu baru aja ginian sama Aldo?” tanyaku berbisik kaget, sambil menyelipkan jempolku diantara telunjuk dan jari tengah.

Dengan bangga ochi mengangguk tapi itu justru membuaku keki. 

“Puas, tapi bener-bener bikin deg-degan, hihihi...” 

“Koq bisa?”

“Iya, aku em el nya tepat dibelakang mba Askia dan Mas Bona, hihihi...”

Mataku langsung terarah kebelakang Askia dan Mas Bona duduk. “Di gedek wc itu?” ucapku menunjuk wc yang hanya terbuat dari dinding anyaman bambu, berpintukan kain jarit usang.

“Keluar didalam?” tanyaku semakin penasaran.

Lagi-lagi Ochi mengangguk dengan bangga, “Tapi Ka Aldo nyemprotnya cuma sedikit,” jawabnya membuatku tertawa, karena cairan dikantong menyan Aldo sudah diembat habis olehku dan mba Nanda saat dilereng gunung dan diatas truk.


- - -
“Da... ada liat Mas Bona ngga?” tanyaku pada Dida yang yang tengah naik keatas kursi untuk mengambil bola lampu diruang tengah untuk dipindahkan kedapur. Sesaat cowok itu tampak bingung untuk menjawab. Tapi matanya tertuju pada pintu kamar disampingku.

Sepertinya aku tidak perlu lagi meminta jawaban lagi dari cowok itu. Perlahan aku memutar ganggang pintu, berusaha agar tidak menimbulkan suara. 

“Siaaal, dikunci..” umpatku, lalu membungkukkan tubuh untuk mengintip melalui celah kunci. 

“Uuuugghh... Kurang Ajaaaarrr...” umpatku seketika. Mataku menangkap tubuh tambun Mas Bona tengah bersimpuh diantara selangkangan Askia yang berdiri mengangkang dengan celana yang masih menggantung disalahsatu kakinya. Dengan rakus mulut Mas Bona mengecupi gundukan kemaluan gadis itu.

“Maaass.. udaaah Mass, aku ngga enak sama Tasya...” rintih gadis itu coba menghentikan aksi lidah Mas Bona. Tapi bagiku itu tidak lebih penolakan basa-basi, karena jari-jari lentiknya justru menjambak rambut Mas Bona, dengan pinggul yang bergerak liar mengejar lidah yang menari diselangkangannya.

“Udah labrak aja, atau jangan-jangan kamu emang seneng pacar mu ngentotin cewek lain,” bisik Dida sambil meremas-remas pantatku yang menungging.

“Aahhh... taik kau Da, cepet gih sana, lampunya ditungguin sama anak-anak,” jawabku ketika merasakan tangan Dida mulai meremas payudaraku yang menggantung di balik daster.

“Jangan-jangan kemana, I will be back,” bisik Dida yang berhasil menemukan letak putingku dan memberikan cubitan kecil.

“Owwhhh,” aku meringis seketika, gerakan jari cowok itu memberikan sengatan listrik keseluruh tubuhku. Siaaaal....

Aku kembali mengamati kegiatan didalam kamar yang terkunci itu. Menyaksikan bagaimana Mas Bona berusaha menjulurkan lidahnya untuk menjangkau lorong terdalam kemaluan Askia. 

“Oooowwhhh... Maaaass.... sudaaaah... ntar aku keluaaarr,” Askia merintih, pantatnya bergerak menggesek-gesekkan bibir kemaluan pada mulut Mas Bona yang tersenyum dengan lidah terjulur.

“Sini, biar aku bantuin,” tiba-tiba terdengar suara Dida yang ternyata telah kembali keruang tamu yang kini menjadi gelap gulita. Memeluk tubuhku yang membungkuk. Dan sudah dapat kuduga, sasaran pertama dari tangannya adalah payudaraku.

“Udah mulai ngentot belum? gantian dong ngintipnya,” tanya Dida berbisik, kepalanya menggeser kepalaku dari lubang kunci. “Wuuiiihhh... boleh juga bodynya si Askia, ngga kalah sama body mu, Sya,”

“Udah pernah nyicipin punya Askia belum?” tanyaku penasaran. 

“Belum,” jawabnya sambil menggeleng “tapi si Achonk udah pernah,”

“Koq bisa?”

“Waktu kami lagi minum-minum disin,i Aldo sama Askia datang ikut minum, tau-tau keduanya malah teler, mumpung Aldonya semaput ya udah digarap aja sama Achong,”

“Terus?... Terus?...” tanyaku semakin penasaran, membiarkan Dida yang masih mengintip tapi tangannya plesiran meremasi pantatku.

“Waktu aku pengen ikut nyicipin ibuku malah datang,” 

Aku terkaget mendengar penuturan Dida yang menyebut ibunya, teringat cerita Mba Nanda tentang Firman dan ibunya Dida, “Terus... Apa ibumu ikut minum?”

Tapi Dida tidak menjawab justru semakin fokus pada lubang kunci, “Gilaaa... si Askia udah siap dientot tuh,” 

Sial, dengan cepat aku mendorong kepala Dida, mengambil alih posisi mengintip. Dan benar saja, Mas Bona kini berdiri berhadapan dengan Askia yang tersenyum cengengesan yang sepertinya baru saja mendapatkan orgasme ringan

“Bener nih mas, ngga apa-apa kalo kita main disini, kan ada Natasya sama Mas Aldo, kalo kepergok bisa mati kita,” ucap Askia yang tengah membantu melepaskan celana dalam yang masih tersangkut di kakinya.

“Tenang aja, pintunya sudah aku kunci, lagian mati juga ngga apa-apa koq, asalkan aku bisa nyicipin meqi mu lagi,” Bona menciumi leher Askia sambil meremas kedua bongkahan payudara gadis itu.

“Hihihi, gombal, emangnya punya Tasya masih kurang?”

“Ststssss... jangan-jangan keras, ntar kedengaran yang lain,” cowok bertumbuh tambun itu mengingatkan Askia atas suaranya kelewat keras, “yang pasti punyamu lebih asik buat digenjot,” sambung Mas Bona, lalu menyumpal mulut gadis itu dengan bibirnya.

Sialan Mas Bona, pake ngebanding-bandingin punya ku sama punya Askia.

Aku masih membungkuk, mengintip aktifitas tabu didalam kamar. Sementara Dida menyingkap dasterku, semakin intens meremasi bongkahan pantatku yang masih tertutup celana dalam, tapi apalah arti dari kain tipis itu dibanding liarnya gerakan jari Dida yang perlahan mengusap celah vaginaku yang mulai basah.

“Ga bersyukur tuh Bona, punya cewek dengan body semlohay gini disiain, daripada mubazir biar aku yang pake, Sya?” bisik Dida, yang mulai menggesekkan batangnya yang menanduk dibalik sarung ke selangkanganku.

“Mubazir ndas, mu!...” dengus ku semakin kesal, lalu menepis tangan Dida. “tarik tangan mu, atau aku teriak,” seru ku, berusaha meredam volume suara, entah kenapa emosiku menjadi labil akibat ulah Mas Bona.

Dida menepok jidat, menyadari kesalahannya. Cewek yang tengah cemburu memang sulit ditebak. Dengan perlahan tangan Dida kembali mencoba peruntungannya menyusuri punggung ku, yang dengan perlahan kembali menuju bongkahan pantat dan selangkangan, dasar cowok...

“Sya, mereka lagi ngapain?” Dida berbisik sambil menciumi telingaku.

“masih cipokan,” ucapku tertahan, menyaksikan aksi Mas Bona yang tiba-tiba berpindah menyusu dengan lahapnya dipayudara Askia. Berkali-kali gadis itu menggigit bibirnya akibat ulah Mas Bona yang terlalu kuat mengisap puting kecilnya
Uuuuggghhhhh.... Aku juga pengeeen.. 


“Sya,”

“Apa sih?” Aku menoleh kesal, aktifitas mengintipku terganggu.

“cipokan juga yukk, masa cium juga ngga boleh sih,”

Aku terdiam, sesaat mengalihkan pandangan pada lubang kunci, lalu kembali menoleh kepada Dida. “Cuma ciuman aja kan?”

Dida mengangguk cepat. Tapi cowok itu terdiam seolah menunggu aba-aba dariku.

“Ayoo, katanya mau cium, ngga mau?”

“Ya mau, tapi gimana ciumnya kalo kamu nungging gini,”

Aku tak bisa menahan tawa, lalu berdiri tegak didepan Dida. 

“Emmpphhh, Uummmpph, eemmpphh,” Siaaal... Aku tak menyangka jika Dida akan langsung melakukan serangan yang ganas. Menjelajahi rongga mulutku dengan liar. Birahiku yang telah lama mengintip dengan cepat muncul ke permukaan.

“Ooommpphh,” Aku terkaget ketika Dida mendorong tubuhku kedinding. Mataku melotot saat merasakan remasan tangan Dida di payudara. Tapi cowok itu justru tertawa dengan lidah yang terus saling membelit.

“Ooowwhh, Didaaahh, cukuuuup,” diantara usahaku mencari nafas setelah Dida melepaskan bibirnya, tanganku berusaha mendorong kepala Dida yang dengan cepat berpindah mencucupi putingku dengan ganas. Gila.. Sejak kapan Dida berhasil melepasi kancing daster ini, karena bongkahan payudaraku kini telah berada didalam mulutnya yang melumat dengan ganas.

Aku sadar jika nafsuku pun tengah menggebu, tapi entah kenapa aku merasa enggan untuk membiarkan Dida menikmati tubuhku.

Dida melepaskan payudara ku yang begitu menggairahkan dimata mesumnya.

“Syaaa... pliiisss.. sudah ngga tahan nih,” mohon Dida, Menurunkan sedikit celananya lalu menarik batang nya keluar.

Aku tersentak dengan kenekatan cowok ini, tapi entah kenapa aku justru bingung, kurasakan liang vagina ku sudah sangat basah, sementara dibalik pintu itu kekasihku juga tengah mencicipi tubuh gadis yang lain. Tapi akhirnya aku menggeleng.

“Syaaa,” Dida nekat, dengan cepat mengangkat daster ku, menggesekkan batangnya dengan kuat kevagina yang masih tertutup kain.

“Ooowwkhh, Didaaa, jangaaan,” aku berusaha menggeleng. Tapi Dida tak menghentikan aksinya. Menarik turun celana dalamku tanpa dapat kucegah.

“Didaaa... Jaaaangan..” Pelan ku dorong tubuh Dida dengan setengah hati. 

Cowok itu mundur selangkah, tangannya memegang batang kemaluan yang sudah sangat keras. “Syaaa,” mohonnya dengan wajah penuh nafsu sekaligus memelas, tapi aku tetap menggeleng.

“Akuu, aku, aku mau melihat apa yang dilakukan Bona sekarang,” ucap ku kembali menunduk mengintip dari lubang pintu. Didalam sana kudapati tubuh Askia sudah terbaring dilantai, menggeliat pasrah menunggu aksi Bona yang tengah mengarahkan batangnya keliang senggama.

“Ooowwwhhh.. Kiaaaa... Jepitan memekmu memang lebih mantap dibanding milik Tasyaaaa,” lenguh Mas Bona terdengar samar seiring batangnya yang menerobos masuk, yang segera disambut Askia dengan pelukan manja.

“Siaaaaal.... Mas Bonaaaa....” Umpatku kesal 

“Daaaa... Cepat masukin batangngmu!” umpatku, menoleh kebelakang dengan wajah emosi membuat Dida terkaget.

“Ke.. Kemana?...”

“Ya ke sini lah.. Mau ga?” tanpa berpikir panjang aku menurunkan celana dalamku, seandainya disini tidak gelap Dida pasti dapat dengan jelas melihat lipatan vagina yang sudah sangat basah.


“Syaaaa,” ucapnya gemetar menahan nafsu yang memuncak, mengarahkan batang penis tepat dibibir vaginaku, dan dalam hentakan yang lembut batang itu menerobos masuk, membelah liang kemaluan yang sudah sangat basah.

“Ooowwhhh,” bibir Tasya melenguh, akhirnya liang vaginanya terisi oleh batang kejantanan Dida. Sesaat mata gadis itu terpejam menikmati, lalu menyorong bulatan pantatnya kebelakang melahap batang Dida sepenuhnya.

“Syaaa, memek mu Syaaa, aawwhhh, enak banget Syaaa,”

“Stssstss, jangan berisik, emmmphh” Gadis itu menegakkan tubuhnya, menggerakkan pinggul memberi perlawanan. “Ayooo cepaaat, genjot yang cepaaat Daaa,”

“Nungging lagi dong Sya,” pinta Dida yang sepertinya masih ingin menikmati bulatan pantatku dengan mata mesumnya.

Tak ada yang bisa ku lakukan selain menuruti keinginan Dida, bahkan kaki ku sampai berjinjit untuk memaksimalkan kenikmatan yang juga tengah ku kejar.

“Oooowwhh, Gilaaa, batangmu, Aaarrghhh, ayooo tusuk yang daaalaaaam,” kedua lenganku berpegangan kesisi pintu, berusaha menahan hentakan batang Dida yang semakin kuat.

“Gillaaaaa, nikmat banget memek pacar nya si Bonaaa, Oooowwhh, aku muncratin didalam ya, Syaa,” mulut Dida meracau sambil menikmati jepitan alat kawin ku yang terengah-engah memberikan perlawanan.

Belum sempat menjawab permintaan Dida, tiba-tiba telinga gadis itu mendengar suara berisik dari dalam kamar, dengan cepat matanya mengintip kedalam. Dan benar saja, Bona dan Azkia telah menyelesaikan pertarungannya.dan kini tengah berjalan menuju pintu!...

“Dida, cepat lepas, mereka udah selesai,”

“Sebentar lagi Syaaa,”

“Gila kamu, lepas,” bentak ku yang panik setengah berbisik. Mendorong tubuh Dida lalu berlari menuju belakang rumah. Meninggalkan Dida yang berdiri sambil memegang burungnya yang masih mengeras.



---
Dan benar saja tidak sampai hitungan menit, pintu kamar terbuka.

“Heh? kamu ngapain Da? kamuu, kamu tadi ngintipin aku sambil coli?” Bona kaget mendapati Dida berdiri didepan pintu dengan batang mengacung.

“Akuuu tadii.... akuu.. ahh, siaaal.. aku minjam Azkia sebentar, udah ga kuat nih Bon,”

“Weiitss, enak aja main sosor,” Bona berusaha menghalangi Dida yang berusaha masuk kekamar, tapi gagal akibat dorongan tubuh Dida yang terlalu kuat.

“Azz, aku juga minta dong, plisss, udaaah ga kuat nihh”

Azkia yang baru saja merapikan pakaiannya sontak kaget melihat Dida yang menyelonong masuk dengan batang kejantanan yang mengacung keras.

“Pliss, ntar aku izin deh sama Aldo,” Dida merengek setengah memaksa. “Aku ngga tahan liat cara kamu ngelayanin Bona,” bujuknya sambil merogoh selangkangan Azkia.

“Tapii, tapii,”

“Iyaaa, cuma sebentar aja koq,” tangan Dida berusaha menurunkan kembali celana Azkia lalu memepet gadis itu ketembok.

Azkia menatap Bona yang juga terlihat bingung untuk bersikap. Hingga akhirnya gadis itu pasrah saat Dida mengangkat salah satu kakinya dan berusaha menjejalkan penis yang mengacung keras.

“Oowwwhh, pelan-pelan,”

“Ueedaaann, banjir banget, Bona ngecrot didalam ya?” 

“I,iyaa, aawwhhh, pelan dikit dong, nafsu banget sih,” kedua tangan gadis itu memegang pundak Dida berusaha menyeimbangkan tubuhnya yang langsung dihajar Dida dengan kecepatan penuh.
---


Aku berdiri dengan wajah cemberut, hasrat ku menggantung dengan liang vagina yang masih berkedut menagih untuk dijejali. Siaaaaaaaal....

“Mba Tasya, kenapa?” suara Ochi terdengar dari arah samping.

“Asseeem, enak banget ni bocah malah main pangku-pangkuan sama Gara,” sungut ku sambil melangkah mendekat.

“Minta jagung mu dong Chi,” pinta ku, berusaha mengalihkan fokus otakku. Duduk diatas dipan bambu dekat Ochi yang duduk menyamping dipangkuan Gara, persis seperti emak-emak duduk diboncengan motor.

“Yeee, ambil disitu tuh, masih ada tiga yang udah mateng,”

“Males,” jawab Ku sewot, mengambil jagung dari tangan gadis itu.

“Kenapa sih mba, koq cemberut gitu?”

“Mas Bona tuh,”

“Kenapa Mas Bona? Main serong sama mba Azkia ya? Hihihi,”

“Koq tau sih?”

“Ya tau lah, hihihi,”

Mendengar jawaban Ochi yang asal-asalan wajah ku semakin cemberut. 

Didepan tumpukan arang yang masih membakar ubi, Firman dan Achong tampak asik ngobrol, keduanya tampak begitu kompak memegang rokok ditangan, ciri khas cowok kalo lagi ngobrol.

“Ubinya dibakar semua ngga nih?” tanya mba Nanda. Tangannya tampak berusaha mengeluarkan ubi kayu yang sudah gosong dari tumpukan arang.

“Ngga usah Nda, sepertinya yang lain udah pada kenyang,” jawab Gara. Sudut mata ku sempat melihat bagaimana tangan pemuda itu meremas pantat Ochi.

Sementara kaki Ochi tampak bergerak berayun, sesekali menendang-nendang kaki ku.

“Apa sih kamu Chi, kakinya ngga bisa diam ya,”

Tapi Ochi cuma cengengesan, sesekali menggigit bibirnya dengan wajah seperti menahan sesuatu.

“Chi, wajah kamu kenapa? Koq merem melek kaya orang nafsuan gitu, jangan-jangaaaan....” mata ku langsung menyelidik keselangkangan Ochi, menyingkap bagian bawah dasternya, tapi paha gadis itu terjepit rapat.

“Ihh, pasti Ka Tasya mikir macam-macam,”

“Habisnya wajah kamu seperti orang lagi gituan,”

“Huss, ngga boleh mikir begituan, inikan tempat umum,” ucap Gara, tapi tangannya justru meremas payudara mungil Ochi, “kalo dalam tenda baru boleh, hahaha,” .

Sontak wajah ku semakin keki, “Asseeem, tumben bener ceramah mu, tapi tangan mu ituu, bueeeghh,”

“Kalo cuma pegang-pegang kan boleh, tapi kalo nusuk yang dibawah ngga boleh,hihihi, Ka Siniin dong jagungnya, jangan dihabisin, Ochi masih mau,”

“sialan, kompak banget sih ni dua sejoli, ambil aja tuh jagung yang baru,” wajah Ku melengos kesal, merasa dikerjai dua mahluk disampingku.

“Koq bengong? udah ambil sana,” lanjut Tasya yang heran melihat Ochi yang tampak bingung, begitu berat untuk berdiri dari pangkuan Gara. “Tenang aja, ntar Gara nya kaka jagain, ga bakal kemana-mana koq,”

“Bener yaa jagain, jangan diambil,”

“Idiiih, ngapain juga Ka Tasya ngambil cowok ceking kaya dia,”

“Biar ceking tapi batangnya gede dan panjang lho ka, hihihi,” bisik ochi mendekatkan bibirnya ke telinga Tasya. Lalu perlahan berdiri dari pangkuan Gara.

Tiba-tiba mataku melotot menyaksikan pemandangan didepanku.
“Asseeeeem, gilaaa, jadi dari tadi kalian bedua lagi,” 
Mata ku tertumbuk pada batang penis Gara yang tegak mengacung penuh berlumur cairan kental berbusa yang tak lain adalah kalenjar milik vagina ochi.

Ochi tertawa nyengir menurunkan daster yang terangkat dan sempat memamerkan pantat mungilnya yang basah. “Hehehe, Baru dapat sekali doang koq kak,” ucap gadis itu sambil tertawa tertahan, lalu dengan cueknya mengambil jagung yang telah matang dan kembali memanaskannya diatas bara api.

“Mau ngga?” tawar Gara sambil meninggikan sebagian sarungnya, memposisikan agar batang yang masih tegak mengacung itu hanya dapat dilihat oleh ku.

“Ogaaah,” jawabku ketus, membuang pandangan dari tatapan Gara, tapi sudut mataku masih mengagumi keperkasaan batang Gara. Saat didalam tenda aku memang hanya bisa mengira-ngira seberapa besar dan panjang kejantanan yang sukses menghambur sperma kedalam rahimku itu, tapi sekarang batang itu dengan jelas, dalam kondisi yang mengeras sempurna.

“Bener nih ngga mau?” goda Gara, tangannya bergerak seolah ingin memasukkan batang itu kedalam sarung.

Uuuugghhh.... Tiba-tiba aku menjadi bingung. Masih kurasakan birahi yang menggantung saat Dida mencumbu alat kawin ku sesaat yang lalu.

Sesaat mata ku, memendar kebeberapa teman yang ada dihalaman belakang. Menatap punggung ochi dan Mba Nanda yang asik bermain dengan bara api. Menatap Achong dan Firman yang tampak tenggelam dalam obrolan yang seru.

Setelah menghembus nafas panjang aku berdiri dengan kaki gemetar, menyibak belakang daster lalu duduk dipangkuan Gara.

“Awww, kenapa malah didudukin neng, bisa patah ni batang,” Gara mengaduh saat batangnya justru terlipat diantara bongkahan pantatku.

Uuugghhh... Batang Gara benar-benar keras dan panjang.

“Ya udah, kalo ga mau patah cepet masukin,” sungutku berusaha tetap sombong meski vaginaku sudah sangat ingin ditusuk. Ku angkat sedikit pantatku dan membiarkan Gara menarik celana dalam yang menutupi liang vaginaku kesamping.

“Turunin pelan-pelan,” bisik Gara dengan suara tertahan. Tangan kirinya memegang batang yang tegak mengacung sementara tangan kanannya memegangi lipatan celana dalamku, memastikan kain tipis itu tidak menghalangi batangnya menerobos memasuki liang kawinku.

“Uuuuuuuwwhhsss...” aku tak mampu untuk tidak mendesah saat helm besarnya meluncur membelah tubuhku.

Begitupun dengan Gara... “Ooowwhhh, Syaaa, basah banget punyamu, Ooowwhh, terusss dudukin aja sekalian,”

“Ngga bisaa, udaahh mentok, pantes si Ochi tadi miring-miring duduknya, ternyata gara-gara inii, emmmpphhh...” aku berpegangan pada paha Gara, masih berusaha melahap seluruh batang lelaki itu.

“Uuugghhh gilaaa, berasa banget nonjoknya,” umpatku saat aku berhasil duduk dengan sempurna diatas tubuh Gara dan merasakan batangnya menyundul dinding rahimku dengan gagahnya.

“Ststssss, jangan gerak-gerak terus, ntar ketahuan aku lagi ngentotin punyamu,” bisik Gara. Tapi aku yakin itu tidak lebih dari usaha Gara untuk meredam kenikmatan yang tengah diterima batangnya. Aku menjepit batang itu dengan kuat.

Seakan tersadar dari ulah nakalku, Aku segera memperbaiki posisi duduk. Berusaha sensantai mungkin saat Ochi mendekat dengan wajah merengut.

“Tuu kaaan, beneran diambil,”

“Sorry Chi, darurat, punya mba lagi gatel banget, eemmpphh,” 

“Hihihi, tu kaaan, Ochi bilang juga apa, batang Ka Gara tu emang jempolan,” dengan usilnya gadis itu membuka daster bawah ku, sontak aku kalang kabut berusaha menutupi karena malu. “Masuk semua ya Ka?” tanya Ochi memandang ke arah Gara. Dan dengan senyum sumringah cowok itu mengangguk.

“Wiihhh, gilaaa, bisa masuk semuaa,hihihi,”

“Ststssss, udah doong, jangan berisik ntar ketahuan sama yang lain, Awwhhh, Gaaraaahh,” aku berusaha mengingatkan mereka.

Ochi tertawa, lagi-lagi berhasil mengerjaiku, lalu kembali ke api unggun dengan bibir terus tertawa. Meninggalkan ku yang kembali berpacu dengan gerakan yang tertahan.

Sesekali aku menjepit erat kedua pahanya, hingga membuat Gara melenguh menahan nikmat, adakalanya aku nekat bergerak naik turun untuk menggaruk dinding vaginaku yang semakin gatal.

“Syaa, nikmat bangeeeet, oowwhhh,”

“Punyamu tuh yang panjang banget, sampai mentok keujung, Awwhhh, Garaaa, kontolmuuu nonjok bangeeeet,”

Aku melenguh pelan, sambil berbisik-bisik menikmati kerasnya kejantanan Gara..

“Gar, Ada telpon dari Om Will,” seru Achong tiba-tiba, mengagetkan ku dan Gara yang tengah menikmati persenggamaan terselubung.

Aku seketika menjadi panik saat melihat Achong mendekat. Sesaat lelaki itu memandangiku dengan keheranan.

“Sya, koq kamu keringatan sih, aku aja kedinginan,” celetuk Achong setelah menyerahkan HP kepada Gara, berdiri tepat didepan ku, sambil memandangi bulir-bulir keringat yang terkena cahaya lampu..

“Ngga apa-apa,” jawab ku asal, setelah tidak menemukan jawaban yang tepat untuk dijadikan alasan atas keringat yang mengalir dikening dan leher jenjangku. 

Untungnya Achong tidak meneruskan pertanyaannya. Karena pemuda itu kini lebih tertarik memperhatikan tangan Gara yang bergerak nakal dibelakang tubuh ku. 

“Tanganmu itu ngapain Gar?” tanya Achong, kepo, seraya bergerak menengok kebelakang, 

“Whuaaseeem, enak banget tanganmu Gar?” serapah Achong yang mendapati tangan Gara yang menyelusup dibalik daster ku dan dengan bebas meremasi pantat yang mulus dan montok.

“Heheheheee, masih ada yang lebih nikmat lho, Mau tau?” ucap Gara sambil nyengir layaknya serigala Midas.

“Garaa, jangan Gara,” ucap ku dengan wajah pucat, berusaha menahan bagian depan daster yang tak mampu menyembunyikan paha mulusku. Tapi Gara menepis tangan ku lalu mengangkat kain itu keatas.

Aku berusaha merapatkan pahaku, tak ingin batang Gara yang sepenuhnya dilahap oleh vaginaku terlihat oleh Achong.

“Widiiihh, muluuus banget selangkangan mu Sya, masih ada lagi kejutan lainnya ngga nih?” tanya Achong yang tak tahan untuk meremas kemaluannya yang tersembunyi dibalik sarung.

Dengan cepat aku menggeleng sambil terus merapatkan lipatan kedua paha sekal ini.

“Ayoo syaa, ayooo,” bisik Gara lembut ditelinga ku. Tapi aku menggeleng dengan cepat, bahkan semakin erat menjepit kedua pahaku. Membuat batang Gara yang terbenam dilorong vagina semakin terjepit.

“Achong cuma mau liat koq, mau liat batangku yang lagi nyoblos meki mu,” lanjut Gara merayu seraya dengan perlahan menarik pahaku agar bersedia membuka

Entah kenapa aku menjadi goyah, apalagi saat melihat aksi Achong yang terus meremas batang didalam sarung yang ku yakin juga sudah mengeras. 

Setelah memastikan Ochi, Firman dan Mba Nanda tetap asik didekat api unggun, dengan wajah yang memerah akhirnya aku perlahan membuka kedua pahaku dan memamerkan batang Gara yang menusuk jauh kedalam lorong vaginaku.

“Oowwhhss shiit, gilaa, kalian gilaa, jadi dari tadi kalian ini lagi ngentot,” pekik Achong seketika.

“Stststsss, Choong, jangan berisik, ntar ketahuan” Aku menjadi panik melihat kehebohan Achong dengan suara berisiknya, dengan cepat aku kembali merapatkan kedua pahaku.

Dan benar saja, Mba Nanda dan Firman tampak menoleh dan memperhatikan kami bertiga. Aku diam tak berkutik, pastinya akan sangat memalukan bila Firman sampai tau jika saat ini aku tengah membiarkan batang Gara dengan menyenggamaiku ditempat terbuka seperti ini.

“Chong, geser kekanan dikit dong,” ucap Gara yang mengerti akan kondisi ku yang berusaha bersembunyi dari rasa malu.

“Udahan aja ya,” pintaku, merasa tak lagi nyaman dengan kondisi yang ada.

“Tunggu Syaa, punyaku sebentar lagi keluar,” cegah Gara yang langsung berusaha menggerakkan pinggul ku, posisi tubuh Achong yang melindungi skandal gila ini membuat aku lebih bebas menggerakkan pantatku.

“Cepet selesein, cepeeet,” Seru ku tertahan, berusaha membantu menggerakkan pinggul untuk memanjakan batang Gara yang mulai bergerak lincah diliang yang basah.

“Achong, jangan Chooong,” Aku semakin merintih saat Achong yang berdiri didepanku ikut meremasi payudaraku yang masih terbalut daster.

Aku mulai kelabakan meladeni tingkah kedua pemuda itu. Apalagi saat Achong ikut mengeluarkan batang kejantanan dan menyodorkannya kepada ku. Emmmpphh... koq jadi gini sih? Aku digangbaaaang!...

“Syaaaa, tolongin aku dong Syaaa,” suara Achong terdengar memelas, menarik kepala ku keselangkangannya.

Tak ada waktu untuk berdebat, akhirnya dengan terpaksa aku melahap batang Achong yang sudah mengeras. Tangan lentikku bergerak cepat memijat batang Achong yang cukup panjang.

“Uuugghhh, siaaalll,” rutuk hati ku yang tak mampu mengendalikan nafsuku. Begitu menikmati saat dua batang kejantanan mengisi vagina dan mulutku.

“Syaaa, aku ga kuat lagi Syaaa, Agghhh, Maaf Syaaaa, maaaaaf,” suara Achong bergetar, sementara kedua tangannya memegangi kepala ku dengan kuat, tak membiarkan mulut ku melepaskan batang kejantanan yang tengah menghambur sperma kental.

“Uhuukk, huuk,” 
Aku tersedak, tapi Achong tetap tak membiarkan mulutku melepaskan batang penisnya, dan terus mengejat menghabis pasokan sperma yang tersisa.

“Gilaa kamu Chong, sampai mau muntah aku,” aku mengumpat kesal setelah mengambil nafas panjang. Tapi pemuda itu cuma nyengir kuda sambil terus meremasi payudara ku yang masih terbungkus rapi didalam daster.

Kini tinggal Gara yang masih menagih untuk dipuaskan, memegangi pinggul ku agar bergerak sesuai dengan keinginannya. “Ayoo Syaaa, gerak yang bener, udah mau kelar nih,”

“Chong, diam disitu ya, jangan kemana-mana, ntar kelihatan yang lain,” perintah ku, lalu fokus menggerakkan tubuhku naik turun. Membiarkan tangan Gara yang semakin bergerak liar meremasi bongkahan pantat ini.

“Dahsyat banget jepitan memekmu Syaaa, Eggghh,” Gara menggeram bagai orang kesurupan, apalagi saat melihat wajah ku yang juga tengah berusaha mengejar orgasme.
“Eegghhh, aku mau nyemprot, aku mau nyemproot Syaaa,”

“Jangaaan didalaam Gaar, ntar ketahuan Mas Bonaaa,” tolak ku yang kemudian berusaha bangkit dari pangkuan.

Tapi tiba-tiba.
“Tasyaaaaa, Sayaaaang, kamu dimana?” terdengar suara Bona yang mencariku, diiringi langkah sendal jepit yang diseret dengan berat.

“Uuuugghh, Mas Bonaa, kenapa nongol sekarang sih, Gawaaaaaaaat” umpat hatiku dengan kesal sekaligus cemas saat mendapati sosoknya keluar dari balik pintu.

“Kamu kemana aja sih sayang, mana main pangku-pangkuan lagi,” ucap Bona dengan cuek, menghempaskan tubuh tambunnya tepat disamping Gara dan aku, untunglah batang Achong sudah melemah dan tersembunyi rapi dibalik sarungnya.

“Chong, koq kamu nyengir gitu sih, emang ada yang lucu?” tanya Bona dengan bingung melihat Achong yang sekuat tenaga menahan tawa.

“Ngga, ngga apa-apa, ngerokok dulu lah,” tawar Achong, berusaha mengalihkan perhatian.

“Kamu ngga liat rokok ditangan ku ini?” tanya Bona mengangkat tangan kanannya yang memegang sebatang rokok, lalu menghisapnya dalam-dalam. “Kalian ngapa jadi aneh gini sih?”

Aku semakin panik harus menjawab apa, sebuah gagasan yang gila bila dirinya berterus terang bahwa saat ini vaginanya tengah melumat kejantanan milik sahabat pacarnya itu.

“Ka, mau jagung ngga?” tawar Ochi menyelamatkan kondisi ku yang diujung tanduk.

“Hehehe, kebetulan banget laper nih,” ucap Bona menyambut tawaran dan menghampiri Ochi, lalu kembali duduk dan tanpa ba bi bu langsung melahapnya.

“Syaaaa, plisss,udah diujung nih,” bisik Gara dari balik punggungku.

“Dasarrr, bener-bener gila ni orang,” rutuk ku yang sedikitpun tak berani membuka bibir. Tubuhku mematung tak berani bergerak.

“Pliss Syaaa,” bisik Gara lagi lalu meremas pantat ku dengan lebih keras.

Sesaat aku memandangi wajah Gara yang memucat. Sepertinya pemuda itu tengah bersiap menghambur spermanya. 

Aku hampir tertawa melihat wajah konak Gara yang menggantung diujung, gilanya seketika kenakalan ku muncul, kaki ku bergerak berayun pelan layaknya gadis kecil yang bermain ayunan. Dudukku yang menyamping membuat tubuhku lebih bebas bergerak.

“Mas Bonaa, tadi ngapain aja sih didalam, koq lama banget,” Tanya ku sambil terus berayun diatas pangkuan Gara.

Gilaaaaaa... Aku em el tepat dihadapan pacarku, menggoyangkan tubuhku dengan nakal dan menikmati kerasnya otot kejantanan Gara divaginaku.

“Aku tadi tidur, kecapean,” jawab Bona dengan mulut penuh oleh jagung.

“Owwhh, tiduran sama Azkia ya?”

“Uhuuk,uhuukk, ngga koq, eeeng, iya, tadi Azkia ikut tidur disamping, tapi kita ngga ngapa-ngapain koq,” Bona tersedak mendengar pelesetan dari pertanyaan ku. Seandainya Bona tau saat inipun aku, pacarnya juga tengah menikmati batang lelaki lain tepat didepan matanya.

“Bon, bulan depan naik ke Lawu lagi yuk,” Achong berusaha mengalihkan perhatian Bona dengan ikut mengajak ngobrol.

Tanpa sadar ayunan tungkai kaki ku bergerak semakin cepat, membuat pinggul dan pantatku ikut bergerak ritmis meremas dan melumat batang Gara.

“Emmmgghh, Syaaaaa,” tangan Gara bergerak pelan dibelakang tubuhku, meremas dengan kuat pantat ku. Dilorong yang basah dan penuh kenikmatan aku merasakan batang kejantanannya terasa semakin mengeras dan membesar.

Begitupun dengan ku yang sekuat tenaga mengatup gigi, menahan orgasme yang bersiap melanda oleh ulahku sendiri.

“Kakimu ngga bisa diam ya Sya? goyang-goyang nih dipannya” ucap Bona yang merasa terganggu. 

Tapi saat ini kaki ku tak bisa berhenti untuk bergerak, vaginaku kuat mencengkram batang Gara yang terus mengobok-obok hingga kepangkal rahim. 

“Syaaa, eeemmpphh,” lirih suara Gara hampir tak terdengar, yang akhirnya disapa badai orgasme dalam kebisuan, hampir tak terdengar akibat bibirnya yang terkatup rapat. Tangannya kuat meremas pantat Tasya seiring sperma yang menghambur keliang rahim milik si cantik Tasya.

Derasnya semprotan sperma Gara bersambut dengan jepitan otot vaginaku yang frustasi akibat godaan birahi.

“Aku juga pengen ngecroot, aku ga mau ditinggal sendiri menggantung!...” teriak hatiku panik.

“Kamu kenapa Sya?” tanya Bona kebingungan.

“Ngga apa-apa mas, tolong ambilin minum dong,” pinta ku dengan wajah pucat berusaha mengejar orgasme didepan matanya.

Dengan enggan Bona beranjak kembali kedalam rumah. Yeesss...

Belum lagi hilang tubuh Bona dibalik pintu, Pantatku ku telah bergerak, menghentakan, melumat batang Gara dengan liar. Tak lagi peduli dengan apa yang akan terjadi nanti. Yang pasti saat ini aku ingin menikmati orgasme yang berkali-kali tertunda.

Kutarik tangan Gara dan Achong untuk meremasi kedua payudaraku, membantuku mendapatkan orgasme Dan...

“Oooowwwgghh.... Gilaaaa...” Akhirnya vaginaku berkedut kencang, “Akkuuuuu keluaaaar...” teriakku pelan dengan tubuh mengejang. 

Ini lebih nikmat dari apapun, kubiarkan batang Gara yang sesekali masih berkedut menyetor sperma yang tersisa kerahimku.

Aku tersenyum memandang wajah Gara dan Achong bergantian, dengan wajah pucat kelelahan. Masih merasakan remasan nakal tangan Achong dipayudaraku yang sesekali memberikan sengatan listrik orgasme yang masih tersisa.

Tapi Aku harus beranjak melepaskan batang perkasa itu sebelum Bona kembali duduk disamping ku.

“Hahaha, edaaan, kalian bener-bener gilaa,” ucap Achong yang menyempatkan menyibak daster bawah ku, meski tidak dapat melihat dengan jelas, Achong sangat yakin vaginaku pasti dipenuhi oleh sperma Gara yang perlahan mengalir keluar dari lorong sempitku. 

“Syaaa, inget yaa, kamu utang dengan ku,”

Dengan lemah aku mengangguk, orgasme yang baru saja ku dapat sungguh sangat menegangkan sekaligus menguras tenaga dan emosi.

 *** TAMAT ***

Klik Tombol Dibawah Untuk Bonus Bokepnya



0 comments:

Post a Comment